Friday, February 27, 2009

Kebenaran: Diciptakan?

Dalam suasana gundah, cemas dan merasa penuh dosa, Leo (Lev) Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) melalui toko utamanya dalam novel Kebangkitan, Nekhlyudov, mengecam sekaligus menitahkan dirinya sendiri: “Akan kurobek-robek kebohongan yang menjerat diriku berapapun susahnya, dan akan kuakui segalanya, dan kepada semua orang akan kunyatakan kebenaran dan akan kuciptakan kebenaran itu.”

Aku risau dengan pernyataan itu, terutama pada anak kalimta terakhir “akan kuciptakan kebenaran itu.” Seorang bisa saja membongkar kedok kebohongan dan menyampaikannya. Tapi menciptakan kebenaran? Adakah kebenaran itu ciptaan? Atau, kebenaran adalah sesuatu yang sudah ada, ada, dan akan ada sebagaimana ia adanya? Saat Copernicus mengatakan bumi bulat, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebelumnya bumi tidak bulat. Bumi tidak pernah tidak bulat sebelum Copernicus mengatakannya bulat. Jadi, bisa dikatakan Copernicus tidak bisa menciptakan bumi menjadi bulat, ia hanya sekadar mengungkapkan.


Dengan kata lain, kebenaran itu mewaktu yang merambat menjalar melalui saluran-saluran sejarah, peristiwa penemuan ilmiah, atau semacam kejadian keterbukaan (ketersingkapan) yang mengejutkan.

Yang aku maksud dengan saluran-saluran sejarah adalah “keberanran” yang pemegang pembenarannya adalah para penguasa. Oleh karena itu bisa salah-dan-benar, atau juga, dengan kata lain, yang-dibenarkan atas suatu wewenang (otoritas) baik melalui lembaga atau suatu otoritas keilmuan (meski monopilistik) tertentu yang melekat pada seseorang tapi masih di bawah kekuasaan.

Sedangkan persistwa penemuan ilmiah adalah kejadian berualang-ulang yang diformulasikan pertama kali, yang biasanya menghinggapi seorang pada saat memikirkan sesuatu (ilmu) fenomena tertentu, seperti yang dialami oleh Galileo, Einstein, dan sebagainya.

Sedangkan yang terakhir, kejadian ketersingkapan, adalah kejadian yang mengejutkan dan mendadak yang menimpa seseorang , bisa nabi atau orang biasa, semacam mukjizat.

Pembenaran ketiga kebenaran ini berbeda. Yang pertama melalui kekuasaan; yang kedua melalui percobaan dan metodologi; dan yang terakhir melalui kejadian.

Dari tiga hal ini, kita mau tidak mau membicarakan pembenaran. Kebenaran tidak bisa tampil sendiri tanpa adanya pembenaran. Dari tiga pandangan ini, aku kira tidak ada satupun yang hendak menciptakan kebenaran. Yang pertama lebih menghendaki dampak dari pembenaran, yang kedua memfokuskan pada mencari dan menelusuri kebenaran dan yang ketiga bersifat menerima atau membuka diri pada kebenaran.

Sampai di sini, aku tidak tahu apa itu kebenaran. Yang sedikit banyak aku tahu adalah cara-cara menerima dan menuju ke sana, seperti berbagai metodologi atau epistemology. Maka menjadi menarik untuk menanyakan ini: bisakah aku sampai pada kebenaran melalui jalan-jalannya tanpa mengetahu lebih dahulu apa itu kebenaran.

Dengan mengatakan demikian, sebenarnya aku sudah masuk dalam pemikiran yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak diciptakan tapi sudah ada, ada, dan akan ada, yang akan dicari. Lalu bisakah menciptakan kebenaran? Entahlah. Menurut G.M. dalam bukunya Tuhan Dan Hal-hal Yang Tak Selesai, kebenaran adalah momen ketersingkapan, yang bukan sebuah percobaan atas sebuah pengulangan fenomena seperti dalm ilmu pengetahuan. Apakah memang demikian adanya? Aku juga tidak bisa tahu apalagi yakin.

Apa itu kebenaran, cara-cara mencari kebenaran dan penemuan kebenaran atau penerimaan-kesiapan terhadap kebenaran, tidak begitu merisaukan aku, barangkali (meski terkadang menghantui). Tapi yang satu ini: Adakah kita belajar sejak TK sampai kuliah S1, S2, S3 dan belajar seterusnya untuk kebenaran dan mencari kebenaran, atau bahkan untuk mencipatakan kebenaran? Sekali lagi, benarkah kita mencari (dan mempelajari) kebenaran, meski untuk diri sendiri (tidak sebagaimana Galileo yang harus dihukum mati)? Sungguh sulit untuk mengatakan iya, pada zaman kita sekarang ini.

Toh, kalau kita berani dan nekat menjalaninya, maka kita harus terlebih dulu berhadapan dengan berikut ini: perlukah kebenaran? Ya, apa boleh buat, zaman manusia, sejak manusia berpikir, berkuasa, dan bermimpi, di luar Tuhan, adalah zaman pencarian pembenaran-pembenaran sehingga lupa pada kebenaran itu sendiri, dan efeknya begitu besar di tangan kekuasaan manapun.

Dan kita, yang di kampus dan lupa kebenaran, terkadang menikmatinya. Begitu juga aku.

Surakarta, 18 February 2009

Monday, February 23, 2009

Catatan “The Secret”





Jika semuanya berdasarkan hukum tarik menarik dengan bantuan (alat) pemikiran yang distimulus oleh perasaan, lalu dimana posisi atau peran Tuhan beserta takdirnya? Atau, memakai alternative penalaran, Tuhan “bekerja” dengan instrument pemikiran sebagaimana dikatakan oleh Rhonda Byrne? Jika semuanya adalah kepastian lalu di mana ketidakpastian, di mana misteri juga rahasia, dimana hukum negativitas alam (hitam-putih, juga abu-abu)?

Pelangi Rasa, Hati, Cinta Dan Badai


Entah apa maksudnya, Nidji pada ulang tahunnya yang entah ke berapa (ke-7?) mengusung tema “Pelangi Cinta”. Barangkali sederhana alasannya, sebagaimana banyak dipahami orang: “cinta berjuta rasanya”. Benarkah?


Aku punya sedikit pengalaman yang berarti tentang pelangi. Pernahkah kamu benar-benar melihat pelangi yang melengkung dengan pendaran warna-warnanya, dengan kedua kornea matamu? Orang yang tinggal di kota, juga kamu, jarang melihat pelangi secara langsung. Paling-paling melalui gambar, yang diperlihatkan oleh guru TK-nya dulu atau melihat gambar pelangi entah di mana.

Dan aku cukup beruntung tentang hal ini, aku dulu sering melihat pelangi pada waktu kecil, karena aku anak yang pernah tinggal di desa. Desa dengan pohon-pohon dan sawah yang luas membentang adalah tempat dimana setiap kali hujan datang dan matahari menyusul butir-butir hujan yang bening nan jernih, yang kebanyakan sudah menyentuh tanah-tanah dan menjadikan tanah memiliki kekuatan ajaib Tuhan untuk menghidupkan rerumputan, mengairi tanaman para petani, juga pada akhirnya memberi makan sapi-sapi, kerbau, dan kambing…

Pelangi, bagi aku pada waktu itu, tidak ubahnya sebuah keajaiban dunia yang belum tercipta oleh manusia. Sesuatu yang tidak akan manusia gapai meski manusia pernah menginjak bulan. Pelangi ada untuk menghibur anak-anak desa setelah mereka berhujan-hujanan menantang butir-butir bening sampai menggigil kedinginan. Di depan beranda rumah, setelah hujan mereda, datanglah pelangi ciptaan alam di atas langit untuk menghibur mereka.

Imajinasiku pada waktu itu terbatas, juga penafsiranku tentang pelangi. Orang-orang di kota barangkali bisa lebih fasih menguraikan hal ini dengan tafsir-tafsir ilmiahnya.

Tapi sejak aku sedikit berani berpikir dan berkhayal, juga dibantu oleh Isaac Newton dengan teori Cincin Newton tentang pelangi dan warna, walau sudah dipatahkan oleh sang jenius abad ke-20 Albert Einstein, yang sampai sekarang otaknya masih ada —karena dia menghibahkan pada sebuah lab di Amerika—, diteliti, dan jadi mitos, ada perihal lain pada pelangi.

Aku agak lupa tentang kedua teori dua orang itu. Mereka menurutku adalah makhluk yang penuh dengan daya imajinasi, yang bekerja mendahului otak kiri mereka. Tapi satu hal yang aku tahu tentang pelangi: ia datang setelah badai. Ya, pelangi datang setelah badai hujan (mungkin juga salju) dan matahari menyentuh butir-butir air bening yang beterbangan di langit yang masih diselimuti awan kelabu. Pada pertemuan antara matahari dan butir-butir air bening tercipta pelangi yang memantulkan beraneka spectrum warna matahari. Dan, kita menyebutnya pelangi dengan perasaan bahagia, yang melekat di hati.

Dalam melihat pelangi di alam raya kita sering melupakan badai, sang pembawa butir-butir air, yang menjadi medium pengejawantahan spectrum warna matahari. Kita terfokus melihat warna-warni pelangi. Dalam kehidupan, terutama cinta, kita juga hanya melihat warna-warna tapi sebagai sebentuk badai:

“akh...hidup...lima menit yang lalu biru, sekarang abu, dan sedetik kemudian mungkin hitam...kelam...sekelam malam....
begitu pula gejolak perasaan ku....sepuluh menit lalu haru biru, setelah itu kuning tanda perasaan mulai kering, lalu hijau kacau, merah marah, ungu nafsu...”(D.A.)

Dan sering, penglihatan kita berakhir dengan dikotomis: sedih dan bahagia. Adakah yang salah dengan cara kita melihat pelangi yang berpendaran di alam hati? Manusia, sepanjang yang aku ketahui sejak aku lahir sampai sekarang, adalah makhluk yang tahu —tapi tak hendak mau berpenyadaran— tentang pelangi rasa di hatinya, yang berpendar melengkung seperti pelangi alam. Tapi sering-sering mereka pada akhirnya buta warna: yang mereka temui adalah sering hitam dan putih, sedih dan bahagia, benar dan salah…

Adakah yang keliru dengan semua ini? Entahlah. Orang arab barangkali sudah tahu dari dulu, maka dari itu, untuk medium perpendaran cahaya jiwa, layaknya butir-butir air di langit yang menjadi medium spectrum warna matahari, mereka menyebutnya qolbu, yang-berubah-ubah warna. Dan kita menyebutnya hati, yang jika diucapkan atau ditulis berulang, akan berbentuk peringatan, kewaspadaan, dan penunjuk kesehatan: hati-hati!

Surakarta, Hotel Fortuna, February 22, 2009

Tuesday, February 17, 2009

Einstein Dan Dua Malaikat


“Menurut catatan dua teman saya, Rokib pencatat segala kebaikan manusia and Atib pencatat segala keburukan manusia, kamu sudah ditasbihkan sebagai manusia paling jenius. Terjenius. Terpintar di antara yang pintar. Emhm…” Malakait Munkar dan Nakir nampak bimbang terhadap pertanyaan yang hendak diajaukan, pada manusia terjenius itu.
Einstein tampak lugu di hadapan makhluk aneh ini.
Munkar dan Nakir, penegak keadilan dan penghukum di alam kubur, agak trauma berhadapan dengan manusia jenius. Pernah, entah suatu siang atau malam, mereka berhadapan dengan sang jenius pemberontak-ahli bahasa Imam Sibaweh. Mereka kewalahan saat menanyakan beberapa pertanyaan. Belum apa-apa mereka berdua malah diinterogasi balik tentang tata bahasa yang mereka gunakan dalam bertanya. Maka bingunglah kedua malaikat itu dan balik ke langit, bertanya kepada Allah: siapa sebenarnya manusia yang satu itu. Allah malah menyuruh membiarkan sang Imam.
“Pertanyaan apa yang sebaiknya kita tanyakan pada manusia jenius itu?” Munkar dan Nakir berembuk. Munkar mengusulkan untuk menanyakan pertanyaan seperti biasa: masalah tuhan, kitab suci, Nabi, dan seterusnya. Nakir agak keberatan dengan pertanyaan biasa itu. Orang jenius sudah hampir pasti bisa menjawab semua pertanyaan itu. Jangan-jangan malah kita yang diinterogasi seperti dulu, kata Nakir.
“Bagaimana kalau kita tanyai aja masalah-masalah ilmiah, kayak hitung-hitungan? Itukan masalah yang sulit?” usul Munkar. “Jangan. Jangan. Dia ahli fisika kawakan di abad ke-20,” jawab Nakir sambil membolak-balik buku catatan Rokib dan Atib tentang Einstein.
Einstein bingung di depan dua makhluk udik itu, dengan dua pentongan besar di pundak.
“Bagaimana kalau kita tanyakan saja tentang masalah-masalah kemanusiaan. Bukankah dari dulu, berdasarkan catatan Rokib dan Atib, masalah kemanusiaan menjadi masalah semua bibir manusia dengan bahasa yang berbeda? Pasti membingungkan dan menyulitkan si jenius ini,” usul Munkar, sekali lagi. “Oke,” jawab Nakir.
Einstein masih diam. Dan tidak tampak berpikir.
“Hei, si jenius!” dengan nada keras dan menggelegar, Munkar menggertak Eistein. “Apa yang kamu lakukan dan apa yang kamu pikrikan pada waktu Perang Dunia II? Apa yang ada dalam perasaanmu saat membuat bom nuklir? Apa yang ada dalam pikiranmu saat melihat ribuan korban mati seketika dan mati perlahan-lahan? Apakah ada setitik penyesalan dalam hatimu?” Tanya Munkar hampir tanpa jeda.
Einstein diam, dan tak tampak hendak menjawab.
“Cepat jawab semua pertanyaan kami, sebelum kami menghancur-leburkan seluruh ragamu itu. Menghancurkan. Menghancur. Menghancurkan,” tampak nada geram, “Lagi. Lagi dan lagi. Menghancurkan otakmu! Ayo cepat!” Nakir mulai tidak sabar setelah Munkar mengulang-mengulang pertanyaannya dan tak tambak akan ada jawaban dari sang jenius.
Diam. Einstein hanya diam.
“Mungkin kita salah orang. Bukan ini orang yang dijuluki si jenius abad ke-20. Masak tidak bisa menjawab pertanyaan kita sama sekali,” Munkar tampak gelisah. Nakir tidak menjawab, dia membuka buku catatan Rokib dan Atib, “Tidak mungkin salah! Malah si Rokib dan Atib juga mencatatan salah satu gambarnya dengan pose tersenyum sambil menjulurkan lidah. Iya, dia orangnya.”
Mereka membentak dan mengancam Einstein. Sekali lagi. Dan berulangkali. Tak ada jawaban dari si jenius.
Akhirnya mereka menghadap Allah, hendak mengadukan manusia yang bernama Einstein, yang terkenal sebagai si jenius abad ke-20, otak di balik pembuatan bom nuklir dan pencetus toeri relativitas mengalahkan sang jenius abad ke-19 Isaac Newton. Dalam perjalanan mereka bingung sekaligus takut menghadap Allah, jangan-jangan malah mereka yang dimarahi seperti yang terjadi pada Imam Sibaweh, sang linguis. Mereka tidak akan menyiksa Einstein tanpa ada interogasi terlebih dulu. Mereka mau tidak mau harus menghadap Allah.
Sesampai di haribaan Allah, mereka memasang muka takut, takjub sekaligus takdim. Allah sudah tahu kenapa gerangan mereka menghadap. “Aku tahu apa yang kalian hendak tanyakan. Dia memang makhluk yang jenius. Tapi dia belum mengggunakan seluruh otaknya seperti yang pernah dikatakan beberapa ahki otak di bumi. Dia baru menggunakan 5% kekuatan otaknya. Kalian tidak usah menanyakannnya lagi. Dia tidak punya otak sekarang. Otaknya tertinggal di Bumi. Lebih tepatnya dia hibahkan pada sebuah lap penelitian. Sebagai Tuhan dan pencipta otak, barang tercanggir teruntuk manusia, Aku sangat menghargainya, karena dia mau dan berani menggunakan otaknya. Itu lebih baik dari pada sebuah negeri yang tidak pernah mendapatkan hadiah nobel dari Manusia apalagi dari Aku.” Ada jeda beberapa detik, dan nampak nada menyesal. “Kalian kerjakan saja urusan berikutnya.”
“Kami mendengar dan patuh,” sembah kedua malaikat itu. Mereka memeriksa orang mati berikutnya dan membiarkan Einstein.

Thursday, February 12, 2009

Gerakan Mahasiswa: Kasihan Deh Lu!!

P
engesahan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) bisa dikatakan sebagai potret kegagalan gerakan mahasiswa pascareformasi. Hampir tidak terdengar gerakan mahasiswa yang mendukung RUU BHP, yang berarti gerakan mahasiswa sebenarnya bisa menggalang solidaritas yang solid dan kuat antar entitas gerakan.
Maka menjadi pertanyan yang menarik: kenapa gerakan mahasiswa seperti “kecolongan “ saat RUU BHP disahkan oleh pemerintah yang didukung penuh oleh DPR? Pertanyaan ini penting karena gerakan mahasiswa yang mengemuka di arena publik saat ini adalah demonstrasi sporadis, reaktif dan tawuran yang sedikit banyak mencoreng gerakan mahasiswa. Sekaligus, sebagai momentum membentuk platform perjuangan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.

Reposisi “Musuh Bersama”
Banyak kalangan (bagaimana dengan sikap mahasiswa?) yang mengamini bahwa kegamangan dan kemunduran gerakan mahasiswa pascareformasi disebabkan oleh tidak adanya “musuh bersama” yang represif (seperti Soeharto) sebagaimana dikemukakan oleh Agus Suwignyo (Kompas, 22/11/2008). Hal ini juga saya rasakan saat memasuki masa perkuliahan. Banyak gerakan mahasiswa yang kehilangan orientasi perjuangannya.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah “khittah” gerakan mahasiswa hanya sekadar menumbangkan rezim totaliter yang represif, katakanlah sebagai “visi-misi” bersamanya? Saya pikir tidak ada gerakan mahasiswa yang akan mengiyakan secara serempak. Selama ini gerakan mahasiswa terjebak dalam retorika “musuh bersama” yang secara tidak langsung sebenarnya mengarahkan sekaligus mengharuskan gerakan mahasiswa sebagai gerakan berbasis aksi. Hal ini mendapatkan momentum pengesahannya pada saat mahasiswa secara massif berdemonstrasi di gedung DPR untuk menggulingkan Soeharto.
Gerakan yang berbasis aksi sebenarnya sudah tidak efektif lagi dalam demokrasi (liberal/konstitusional) sekarang. Dalam demokrasi liberal, yang paling penting untuk dilakukan gerakan mahasiswa adalah berdasarkan rentetan berikut: memenangkan opini publik, mengusulkan atau mengawal proses legislasi, dan memastikan berjalannya semua ini untuk kepentingan rakyat.
Opini publik, dalam kasus RUU BHP, adalah bagaimana memberikan pemahaman terhadap publik bahwa UU BHP sejatinya adalah menjual pendidikan kepada publik (rakyat) yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara. Pemahaman publik akan menjadi modal kerangka berpikir publik dalam merespon kebijakan-kebijakan pemerintah. Sayangnya hal ini sepertinya tidak digarap oleh gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa selama ini cenderung menggunakan gerakan berbasis aksi seperti demonstrasi sebagai ciri khasnya. Model gerakan ini tidak akan memenangkan opini publik. Publik tidak mendaptkan pemahaman yang memadai untuk memberikan respon dan mengambil sikap. Akibatnya gerakan mahasiswa dalam mengawal RUU BHP tidak banyak mendapat dukungan baik dari civitas akademika ataupun masyarakat. Buntutnya sudah bisa kita lihat, pengesahan RUU BHP.
Maka di sini perlunya mereposisi “musuh bersama” dan membentuk platform gerakan yang berbasis ide atau pemikiran. Musuh bersama yang berbentuk rezim seharusnya direposisi menjadi cita-cita bersama, katakanlah seperti “Indonesia yang Kita Cita-citakan” yang pernah dilakukan oleh Kelompok Cipayung pada 19-22 Januari 1972 (Kompas, 10/12/2008).

Opini Publik dan Daoed Yoesoef
Memenangkan opini publik mengharuskan adanya pemikiran yang solid secara intern dan kuat secara ekstern. Solid secara intern dan kuat secara ekstern berarti pemikiran itu komprehensif dan tahan terhadap gempuran kritik dari luar. Dalam hal ini kita ingat kembali alasan menteri pendidikan dan kebudayaan yang pernah “membredel” gerakan mahasiswa, Daoed Yoesoef, dengan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Daoed Yoesoef memberikan definisi mahasiswa, yang sekaligus sebagai alasan kebijakannya, “Mahasiswa pada hakikatnya, bukanlah “manusia rapat umum” (man of public meeting), tetapi manusia penganalisa bukan semata pemburu ijazah, tetapi seharusnya penghasil gagasan (ide) yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur, yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan yaitu goerdend denken… hakikat kemahasiswaannya, adalah kekuatan penalaran dan pikiran individual.”
Dalam konteks masa itu (70-an), ide seperti ini memang tampak tidak relevan dengan tuntutan zaman dan cenderung mengebiri. Gerakan mahasiswa (organsisasi ekstra kampus) dikeluarkan dari kampus yang berbuntut kurang solidnya gerakan mahasiswa dan mahasiswa cenderun “study oriented” tanpa mengenal dan peka terhadap lingkungan masyarakatnya.
Namun pada saat ini, ide seperti ini menjadi sesuatu yang banyak ditunggu oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh dengan gerakan berbasis aksi yang cenderung negatif (dengan tidak bermaksud mengeneralkan). Maka inilah celah bagi gerakan mahasiswa untuk mengedepankan gagasan dan pemikiran, menjadi gerakan berbasis pemikiran.
Dengan gerakan yang berbasis ide atau pemikiran, gerakan mahasiswa sangat mungkin akan menghasilkan pemikir-pemikir yang kuat. Dan pemikiran orang-orang inilah yang harus dikemukakan pada publik sebagai sebuah cita-cita, solusi dan respon. Kalau kita melihat sejarah pergerakan bangsa ini sejak, kita melihat semua pergerakan berasal dari sebuah gagasan (cita-cita) yang solid secara intern dan kuat secara ekstern, bukan sekadar respon. Dan gagasan ini menjadi arus utama dalam kesadaran masyarakat atau menjadi opini publik, sehingga publik menyambut dan mendukung.
Jika proses pembentukan pemikir ini tidak terlaksana, bisa dipastikan kita akan melihat gerakan mahasiswa jalanan namun yang bukan parlemen jalanan. Aksi-aksi demonstrasi yang reaktif dan sporadis yang sangat mungkin akan tidak terhindari aksi anarkisme. Jika hal yang pertama ini tidak terlaksana kemungkinan besar proses pengawalan pembentukan undang-undang (bukan proses pengusulan draf undang-undang) akan menjadi agenda yang sia-sia karena tanpa dukungan publik.
Melihat realita gerakan mahasiswa sekarang, nampaknya semua itu akan tetap terjadi dan pengabaian-pengabaian akan terus berlanjut. Yang sering mengemuka dalam berbagai pertemuan antar gerakan mahasiswa dan berbagai forum dialog, kita menemukan sebuah realita yang jauh dari definisi yang dikemukakan oleh Daoed Yoesoef tersebut. Kita sering membaca berita yang mengatakan sekarang mahasiswa malas berpikir dan, seperti biasa, akan mendapatkan momentum kritisnya saat perayaan Sumpah Pemuda.
Dan beberapa kegagalan ini akan dirasakan oleh generasi mahasiswa pada periode berikutnya, seperti dikatakan dalam tulisan “Bercermin BHMN, Menolak BHP” oleh Ali Khomsan (KOMPAS, 27/12).
So, siapa yang harus mengatakan kasiannn: Lhoe, Bapak lhoe, atau elhoe-elhoe? Atau, pertanyaannya kita balik: Kasihankah gerakan mahasiswa sekarang atau mahasiwa berikutnya?

Catatan:
Kutipan dari perkataan Daoed Yoeseof di atas penulis ambil dari bukunya Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis, halaman 30, terbitan PT.Remaja Rosdakarya, BAndung (cetakan ke-8, tahun 2002).

*****
Surakarta, 7 January 2009
©M.FZ

Uang, Uang, Uang..

Bagaimana uang diproduksi, didistribusikan, dan dinilai?

Kalau uang, yang Cuma kertas, bisa dibuat oleh sebuah Negara, kenapa juga mereka harus meminjam keluar negeri?

Asal-muasal uang, bagaimana kita menentukan sebuah barang dengan uang? Kok bisa sepotong roti berharga demikian (Rp. 500)? Pada mulanya tidak ada uang, tapi ada barang, yang dalam keadaan darurat katkanlah perang, tentu saja lebih berharga dari pada uang sekalipun uang emas, lalu bagaimana uang bisa dibuat oleh Negara?

Pada muala tidak ada uang, lalu dalam perdagangan, orang membutuhkan uang, dan semakin banyak perdagangan semakin banyak uang yang diperluka dan tentunya harus dicetak, bagaimana pemerintah mengukur berapa banyak uang yang harus dicetak?

Kebohongan, Tontonan, dan Diri

SAAT kita menonton film dan seorang aktris atau actor berakting dengan baik bahkan nyaris sempurna, yang membuat kita terkadang tertawa, kecut, menahan nafas beberapa menit, haru, tawa, tangis, dan sebagainya, betapa kita, manusia, sungguh pandai memerankan hidup, menjadi orang lain, dan tentu saja semua itu adalah pura-pura (bisakah dikatakan sebagai kebohongan?). Kita sadar dan menyadarinya: Cuma sekadar acting.

Namun, kita yang dibuat menangis, haru, dan sebagaianya, tidak pernah menyangkal bahwa itu semua hanya kebohongan, meski ia timbul dari proses kepura-puraan dari sang pemeran. Di sini, ada semacam pemisahan antara keduanya: kebohongan dan kepura-puraan. Kita, meski demikian, bahkan sama-sama menikmatinya.

Ya, kita berada di zaman yang menghargai kepura-puraan. Kita memeberi penghargaan pada mereka yang bisa berakting (perpura-pura?) dengan mewah dan meriah. Namun kita tidak akan pernah menghargai orang yang pandai berbohong.

Memang ada beda antara berakting dan berbohong. Keduanya seakan saling menjauh meski tidak saling bertolak belakang, dalam sebuah jarak yang jauh. Kita tahu semua itu.

Namun kita sering alpa bahwa manusia adalah makhluk yang peling pandai-cerdik berbohong. Terkadang saya berpikir bahwa berbohong itu butuh, dan kita bisa bahkan mampu menjalaninya dengan sempurna dan setelah itu menikmatinya.

Ada yang bilang antara berakting (berpura-pura), berbohong, dan jujur hanya dibatasi oleh niat dalam hati. Dan kita tidak pernah tahu siapa yang berakting, berbohong, dan berlaku jujur saat semua itu dijalankan dengan sepenuh hati dan penjiwaan yang totol. Dan sering, akulah pembohong itu, salah satunya.

Awas, Jangan Demo!

(Mengkritisi Kegagalan Gerakan Mahasiswa)

Awas, jangan demo: bayangkanlah bahwa apa yang kamu teriakkan di tengah jalan tidak memekakkan telingan orang yang kau demo. Jalanan menjadi tempat sunyi, meski setiap detik kamu mendengarkan bunyi mobil lalu lalang. Tidak ada yang perlu lagi kamu teriakkan di tengah jalan. Suaramu bahkan telah serak, lalu sedikit demi sedikit menghilang. Sedang kata-katamu , setalah keluar dari megafon, menguap ditelan bising mobil.

Kau duduk di pinggir trotoar jalan, minum es teh yang sudah tidak dingin lagi. Kamu kelelahan. Dan baru pertama kalinya kamu merasakan sesuatu yang telah lama kamu abaikan: ternyata udara kota di pinggir trotoar tidak sejuk bahkan berbau bensin, got, dan berbagai sampah manusia kota. Broooookk. Prakkkk. Kepalamu tiba-tiba berada di bawah tanah. Copot? Kamu melihat sepatu lars petugas.

Praaaakkkk. Terdengar suara sengau nyeri yang aneh lagi. Kali ini seorang petugas roboh terkena batu bogem besar dari seorang mahasiswa. Heehhhh, ada apa semua ini. Praaak. Toosss. Broookkk. Praaakk. Toooossss. Braaakkk. Berkali-kali. Bertubi-tubi.

Siapa yang menang? Kalaupun ada yang menang. Pentingkah menang?

Ini tulisan sebenarnya mau nulis apa? Baiklah kita fokus pada kegagalan gerakan mahasiswa p terkait engesahan UU BHP yang hampir semua elemen gerakan mahasiswa menentangnya. Ada satu hal yang paling mendasar dari kegagalana ini. Yakni, penekanan yang terlalu fokus pada demontrasi sudah tidak lagi efektif dan tidak memberikan opini public yang menyadarkan. Bahkan sebaliknya, persitiwa di atas sering dilakukan oleh mahasiswa yang merugikan bagi citra gerakan mahasiswa. Mahasiswa harus menyudahi bentuk gerakan berbasis pada aksi (demontrasi).

Mahasiswa harus menyudahi bentuk gerakan berbasis pada aksi (demontrasi). Dan beralih pada gerakan yang mengedepankan pembentukan opini public yang berkerakyatan. Sampai di sini, gerakan mahasiswa mau tidak mau harus menjadi sebuah gerakan yang mengarah pada gerakan berbasis pemikiran. Pemikiran-pemikiran ini harus menyebar dalam berbagai media, atau gerakan mahasiswa harus memiliki corong (media) yang kuat dan sering dikutip oleh berbagai media nasional dan local.

Advokasi atau perjuangan untuk melawan RUU BHP adalah contoh nyata kegagalan kerakan berbasis aksi. Mahasiswa berteriak lantang di boulevard kampus, trotoar, bahkan di gedung-gedung DPR/D tapi tak seorangpun mendengarkan semua ini. Demontrasi yang dilakukan secara sporadic di berbagai kampus meski secara kuantias banyak tapi secara kualitas tidak berarti apa-apa. Demo-demo itu bahkan tidak mendapat dukungan dari mahasiswa dalam kampus sendiri. Hal ini bisa dipahami karma gerakan mahasiswa tidak menang dalam opini public bahkan di tingkat bawah yang menjadi korban dari RUU BHP.

Di sini, gerakan mahasiswa harus kembali pada bentuk gerakan berbasis pemikiran untuk membentuk opini public yang kuat dan merakyat sekaligus merata. Awas, jangan demo.

Mungkinkah, semua ini dilakukan oleh gerakan mahasiswa di tengah menjamurnya berbagai media dan LSM? Memang berat. Tapi bukankah mahasiswa pernah memiliki media yang cukup kuat katakanlah seperti Mingguan KAMMI? Yang menjadi pertanyaan genting adalah merumuskan platform gerakan pemikiran yang kuat dan membentuk jaringan antar gerakan yang berbasis di kampus-kampus. Teknologi sudah menyiapkan semuanya, tinggal kesungguhan dan momentum yang tepat. Kita tidak akan lagi menghadirkan gerakan berbasis aksi tanpa adanya dukungan public yang kuat. Kita tetap memerlukan aksi untuk saat momentum mengharsukan, seperti pada gerakan ’65 dan 98.

Surakarta, December 18, 2008

Perihal Semangatnya “Semangat”

“Semangat!”, “Tetap semangat”, atau sesekali aku mendengarkannya dalam bahasa Inggris, “Keep spirit!” dan sejak saat itu ada yang melonjak dalam dada kita. Andrenalin naik sekian drajat dan dengan itu terkikis rasa malas yang terus menghantui kita, yang selalu memberati gerak kita. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Kita membutuhkan penyemangat dalam kehidupan kita.

Tapi ada yang kurang setiap kali memompa diri kita, mensugesti diri dengan selalu bersemangat. Ada kalanya kita perlu semangat bersedih, dan murung. Mungkin ini adalah ide murahan dan sangat absurd dalam kehidupan kita yang selalu terdoktrinasi untuk selalu berbahagia, bersuka ria dalam menghadapi kehidupan ini. Ia ide yang tidak dapat diterima dalam komunitas manusia yang selalu menginginkan keriangan dan tawa. Tidak mausk di akal.

Tapi apa boleh buat, “semangatisme”, kalau boleh dikatakan demikian, adalah sikap dan wadah dimana kita bisa memasukkan hampir setiap ide ke dalam diri kita, ke dalam otak kita, tanpa perlu merespon dengan cara yang tidak bersemangat. Dalam setiap respon yang diberikan oleh semangatisme adalah sebuah afrimasi. Hal ini akan sangat terlihat dalam aku mencerna berbagai pertarungan ide yang masuk dalam system otak kita.

Semangatisme adalah semacam sugesti diri untuk selalu antusias dalam melakukan berbagai hal. Dan ini tentu saja perlu sikap positif dan membuang jauh sentiment atau sikap-sikap negative. Tapi apa itu sikap negative?

Sekap negative bagiku adalah terkadang inspiratif dan sugestif. Hal ini akan semakin jelas dalam diri….(sebelum selesai!)

Yang Kecil dan Sedikit

Kebenaran kecil dan kesalahan sedikit…, itulah, barAngkali, CINTA, yang manusia menikmati, sekaligus, yang mereka sesali. Bersamaan.

Teks, Takdir, Puisi Liris

Bunyi: itu kesimpulan terpendek tentang puisi dalam perdebatan puisi liris. Menurut pembicara NgudirasaSastra (7/2/09), Triyanto Triwikromo, liris adalah takdirnya puisi. Teks menyatu pada bunyi, penyebabnya.

Menurut pembicara, hal ini disebabkan oleh, semua hal yang berkaitan dengan bahasa (lisan atau tulis) mengandung bunyi (yang berteks). Jika demikian, mungkinkah sebuah post-liris? Bisa iya, bisa tidak. Untuk jawaban tidak, sudah banyak dibahas oleh pembicara dan sulit untuk menyanggah bahkan sekadar memberikan alternative apalagi mendekonstruksinya.

Kalau iya? Inilah jawaban saya: hlangkan semua teks, pikiran, berikut bunyi, meski yang menggema dalam hati!

Pertanyaan Murid Mbolosan

Bu Rini (bolehkah aku memanggil demikian?), yang saya hormati. Entah karena apa, dalam beberapa minggu ini saya menemui banyak masalah dan terutama dalam bentuk psikologis, dan.saya minta maaf untuk itu jika sampai membuat Bu Rini kerepotan dan menyusahkan. Sekali saya minta maaf.

Bagiku, maaf mungkin lebih besar artinya dari pada sebuah “nilai”. Karena secara akademis juga secara social-kultural hal ini mungkin saja laik mendapatkan nilai yang jauh lebih jelek. Ya, saya akui itu. Dan untuk itu, saya minta maaf.

***
Sejak beberapa semester yang lalu, memang banyak hal yang terjadi dalam diri ini. Tapi untuk semester ini, ada beberapa pertayaan yang sedikit membuatku bertanya-tanya (sesuatu yang biasanya saya sendiri mencarinya di buku-buku dan tidak menanyakannya langsung pada dosen).

Untuk beberapa pertanyaan ini saya belum bisa menemukannya dalam beberapa literature. Pertanyaan pertamaku: apa sebenarnya metode Kajian Amerika? Dalam beberapa kali pertemuan mata kuliah Kajian Amerika, saya sering mendapatkan kebingungan. Sebenarnya kita itu mau diajari apa: semiologikah, budaya popkah, cultural studieskah, atau sebuah, seperti, kajian sosiologi pada umumnya.

Kalau melihat dari pertama kali saya masuk kuliah Metode Kajian Amerika, saya langsung teringat bukunya Roland Barthes yang pernah saya baca (terjemahan) terutama sub tema Myth (Mitos Dewasa Ini). Dalam kajian budaya popular, metode ini memang banyak dipakai meski sanggahan terhadap mitologi Barthes ada lobang kekurangan filosofis terutama dalam menarik penafsirannya yang, menurut beberapa pemikir, terlalu arbitrer.

Kajian Amerika, seperti dalam kuliah Bu Fitria, adalah kajian yang memakai berbagai metode. Tapi yang saya sayangkan adalah kenapa tidak dibahas secara mendalam konprehensif dalam mata kuliah tersendiri?

Belum selesai membahas semiologi Roland Barthes, perkuliahan beranjak pada pembahasan mitodologis dalam beberapa bahasan, terutama yang berkaitan dengan sifat-sifat budaya popular yang kehilangan estetika dan rasionalitasnya. Ya, sesuatu yang menurut sepengetahuan saya hampir sama dengan yang banyak dibahas dalam posmodenisme. Juga hampir sama dengan pembahasan dalam cultural studies. (Ahmad Sahal pernah menulisnya dalam Rubrik Bentara di Harian KOMPAS, dengan judul : Cultural Studies Yang Menyingkirkan Esttetika).

Pertanyaan yang kedua: sebenarnya kita belajar Orientalisme atau Oksidentalisme? Terus terang saya belum tahu kemana arah dari “jurusan” Kajian Amerika di sastra Inggris ini.
Fotokopi yang kita terima pada masa kuliah Metode Kajian Amerika, adalah pengantar bukunya Said Edward, dengan judul Orientalism. Sebuah buku yang banyak membongkar maksud-maksud tersembunyi dalam kajian orientalisme. Buku ini memang saya belum membacanya, karena masih dalam pencarian buku itu sendiri yang diperpus sepertinya memang tidak ada. Sedangkan yang kedua, Oksisdentalisme, adalah kajian yang membahas peradaban barat. Ada juga buku yang berjudul sama yang ditulis oleh Hasan Hanafi. Hal ini pernah dibahas dalam jurnal Universitas Paramadina yang berusaha menengahi pertentangan Orientalisme dan Oksidentalisme.

Dalam perkuliahan, saya bingung kemana arah yang hendak dijejakan: menkaji pemikiran barat dengan demikian menjadi oksidentalis; atau menkaji barat tanpa ada rasa atau tujuan “akademis”, bukan orientalis atau oksidentalis?

****
Berikut ini sekadar usul: bagaimana kalau penjurusan Kajian Amerika ditetapkan pada semester lima?

Ada beberapa alasan untuk usul ini. Pertama, secara personal saya merasa bahwa saat saya masuk Kajian Amerika, saya seperti dimasukkan dalam lorong waktu yang memiliki system waktu yang berbeda dalam kecepatan. Kita harus berpacu dan melaju terus. Kita harus menguasai, atau paling tidak bisa ngomong dalam presentasi, beberapa permasalahan ekonomi, politik, sosiologi, budaya, berikut pemikiran dibaliknya atau asumsi-asumi yang mendasarinya, secara serempak tanpa ada “pengantar” yang bisa dijadikan peta atau arah. Kita tiba-tiba saja sudah ada di medan perdebatan, sejenak sebelumnya tanpa kita punya persiapan yang memadai.

Kedua, terus terang Kajian Amerika adalah kajian yang sangat luas dan komples. Saya yakin para dosen menyadari hal ini. Tidak seperti major study lainnya, kajian Amerika adalah kajian yang “belum” siap secara akademis jika dibandingkan dengan kajian lainnya. Kajian sastra dan lingiuistik merupkan kajian yang sudah cukup matang dan dewasa dibandngkan dengan kajian lainnya. Berikutnya adalah penerjemahan yang lumayan siap secara akademis dan dan teknis. Kajian Amerika? Entahlah.

Ketiga, dengan menetapkan penjurusan Kajian Amerika pada semester lebih awal (lima), paling tidak hal ini akan memberikan nafas yang lebih lega dan lama pada mahasiswa untuk memikirkan proposal dan mendalami Kajian Amerika dengan lebih komprehensif. Kenapa kita tidak melakukan ini seperti halnya Komunikasi FISIP?

***
Terima kasih atas segalanya. Bukan bermaskud menyinggung atau apa. Tapi sekadar rasa gelisah saya terhadap diri ini, barangkali. Terakhir, mohon maaf atas kelancangan tulisan ini. Sekali lagi terima kasih dan mohon maaf.[]

Surakarta, 15 January 2009

Obsesi Karya Klasik

SABTU, 31 January 2009

Hari ini, aku sudah memprin dua karya klasik. Yang pertama karyanya Isaac Newton yang sangat terkenal itu, The Principia. Tapi aku tidak tahu apakah yang aku print ini karya lengkapnya atau tidak. Masalahnya The Principia hanya lima belas (15) halaman. Sungguh sebuah karya yang agung, karena bisa menereangkan beberapa teori mendasar masalah fisika, yang berabad-abad tidak terbantahkan, kecuali oleh sang jenius abada yang lalu, Albert Einstein dengan teori Relativitasnya.

Aku berharap segera selesai membacanya. Aku berencana untuk menerjemehaknnya dalam bahasa Indonesia. Dan aku akan menegecek apakah karya yang aku prin itu sebuah karya lengkap atau belum di situs guttenberg project. Mungkin ini akan sulit bagiku saat membaca apalagi sampai menerjemahkannya. Aku belum pernah membaca buku fisika sebagai sebuah pengantar keilmuan dalam bidang ini. Tapi itu tantangan untuk membaca.

Yang kedua, adalah karya Nicholas Barbon (1690): A discourse of Trade. Berdasarkan keterangan yang ditulis pada pengantarnya, buku ini hendak mengulas bagaimana membuat sebuah Negara menajdi kaya. Ya, mungkin sebuah karya yang juga mengilhami Adam Smith, sang bapak ekonomi.

Bebrapa bulan ini, akau tertarik membaca buku-buku ekonomi. Minggu kemaren aku meminjam buku ke temen, Rizwan, anak ekonomi pembangunan UNS. Sebuah buku, Ekspose Ekonomika, yang ditulis oleh Sri-Edi Swasono, guru besar ilmu ekonomi UGM dan UI.

Kenapa aku harus membaca buku-buku itu? Entahlah. Aku hanya tertarik untuk membaca, menambah wawasan. Aku berencana untuk menerjemahkan karya-karya klasik yang menjadi tonggak-tonggak pemikiran dunia, baik dari Yunani, Barat, juga dari Timur Tengah. Aku merasa buku-buku di perpustakaan kurang mendukung untuk hal ini, alias tidak ada. Dan kalaupun ada biasanya tidak boleh dibawa pulang. Semuga terlaksana.

Kampus dan Masyarakat: Learning Society

Pertanyaan awalnya: adakah kampus yang memasyarakat? Di sini kampus, lalu kemana dan di mana masyarakat (bukan civitas akademika)? Baiklah, aku kasih gambaran kampus yang memasyarakat: pernahkah seorang warga yang tinggal di dekat kampus ‘kesasar’ masuk kampus, lalu bertanya pada seorang dosen tentang, katakanlah, cara menjual dagangan dengan ilmu periklanan, atau apa itu opini public, bisa juga mahasiswa itu sebenarnya makluk apaan. Atau, bolehkah seorang warga membaca (kalau memang tidak boleh meminjam) buku-buku perpustakaan (siapa yang tidak butuh ilmu?)?

Sepanjang aku kuliah, aku tidak pernah mendengar seorang dosen diminta tolong untuk memberikan solusi praktis terhadap pertanyaan-kebutuhan masyarakat. Aku juga belum pernah melihat masyarakat berkunjung ke perpustakaan (apalagi ke lab!). Maka menjadi pertanyaan ganjil: kemana masyarakat di dekat kampus, atau kita balik arah pertanyaannya, kemana dan di mana kampus juga segenap warga civitas kita?

Selama ini aku melihat bahwa semua ini lebih banyak disebabkan oleh anggapan tentang kampus itu sendiri. Masyarakat menganggap bahwa kampus adalah tempat untuk belajar khusus para mahasiswa. Anggapan ini tentu saja datang dari orang yang lebih dihormati karena keilmuannya (atau dianggap lebih tahu, lebih pintar) yakni para mahasiswa, dosen, professor, dan karyawan kampus. Dengan kata lain, kampus bersikap eksklusif terhadap masyarakat di luar kampus. Kampus lebih sebagai tempat tertutup dari pada sebagai sebuah model tatanan masyarakat pembelajar (learning society) bagi seluruh masyarakat.

Di sini terlihat tidak ada keterkaitan antara kampus dengan masyarakat dalam mewadahi masyarakat sebagai learning society. Masih segar dalam ingatan kita tentang KKN (Kuliah, Kerja, Nyata) di mana kampus mengirim mahasiswanya untuk “mengabdi” pada masyarakat dalam jangka waktu tiga bulan. Kita tahu, kebijakan ini tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Kebijakan ini tidak mendidik masyarakat untuk menjadi masyarakat pembelajar.

Kebijakan ini, untuk daerah yang terpencil di mana anak-anaknya tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, Cuma sebuah pamer pangkat keilmuan (meskipun belum tentu yang dikirim adalah orang yang benar-benar pintar). Sekadar memamerkan dan menguatkan kesenjangan social antara si miskin dan si kaya.

Maka menjadi pertanyaan logis dan irasional: Kapan kita bisa menyaksikan sebuah simbiosis-mutualistis antara kampus dan masyarakat, sebagai masyarakat pembelajar? Sungguh sulit! Kita, juga kampus ini, sudah terkotak-kotak dalam sebuah struktur yang semakin menjauh dari masyarakat. Dan yang lebih parah lagi ini dianggap benar dan dianggap sudah budaya. Masyarakat sekitar kampus hanya penyedia tempat tidur, makan, dan beberapa keperluan mahasiswa…

Sedihkah kita? Bersalahkah kita? Ataukah masyarakatnya? Entahlah!!



Solo, Tuesday, February 03, 2009, 2:36:11 PM

Guru (lebih tepatnya pengajar)

Dia yang mengajarimu sesuatu yang baik. Dia yang bertepuk hati saat dia terkalahkan oleh muridnya dengan sesuatu yang lebih baik. Dan dia pergi dengan tanpa pesan. Yang ada dalam dirinya: kebanggaan, pada muridnya yang telah menjadi manusia yang lebih baik.

Solo, Friday, October 24, 2008, 6:57:27 AM

Catatan Pembacaan Ekspose Ekonomika

(Buku yang ditulis oleh Sri-Edi Swasono)

Apakah kesejahteraan social sama dengan dan mengharuskan bentuk pemerintahan Negara persemakmuran dan untuk itu disusun system ekonomi pancasila sebagai dasar moralnya (meski ada beberapa dasar religiusnya)? Kalau saya lihat system ekonomi pancasila pada tataran praktis, system ekonomi pancasila lebih mengarah pada system ekonomi Negara persemakmuran, dan dalam hal ini tidak banyak bukti bahwa system Negara persemakmuran berhasil menyejahterakan rakyat sebagaraimana banyak kita temui pada Negara-negara Eropa Timur, dan sebaliknya kita menyaksikan sebuah masyarakat berkelimpahan pada Negara dengan system ekonomi pasar bebas yang kapitalistik (meski sudah tidak murni lagi).

Apakah system ekonomi pancasila murni kesadaran bentuk kesadaran intelektual atau ada pengaruh dari politik hegemonic Orde Baru Soeharto yang menjadikan pancasila sebagai satu-satunya dasar kehidupan social-politik (ekonomi)?

Kenapa ekonomi pancasila tidak digunakan pada masa Soeharto, yang sangat “mengagungkan” pancasila, tapi malah memilih menggunakan system pasar bebas yang kapitalistik (kroniisme)?

Kalau kita membaca lebih teliti lagi dasar-dasar argumentasi pembentukan system ekonomi pancasila kita tidak menemukan hal-hal yang signifikan dari para pemikir ekonom pancasilais kecuali pencocokan pemikiran mereka pada alam pemikiran barat yang menentang system ekonomi klasik (kecuali pada Hatta meski pada saat dia menulis belum dikenal paham strukturalisme), atau, dengan kata lain, hanya sekadar perbedaan artikulasi? Di sini saya menyangsikan, pada perahgraf kedua di atas, apakah ini murni sebuah bentuk kesadaran intelektual atau sekadar siasat untuk bisa diterima oleh sang penguasa (Orde Baru).

Saya bukan hendak menyangsikan tentang system ekonomi pancasila yang dicetus oleh para ekonom kita. Tapi sebagai sebuah pembalajaran berkritis. Saya juga akan berkata: kita hidup pada sebuah masyarakat yang sungguh sangat abai pada para pemikir-pemikirnya sendiiri untuk mengapresiasi ide-ide mereka; kita memproduksi lumayan banyak pemikir, meski kita sering menghitungnya dari awal kebangkitan nasional, tapi kita lebih banya memproduksi sikap-mental inlander pada pemikiran anak bangsa kita. Kita seakan berkata: ‘kita cukup mengapresiasi pemikrian para pemikir sendiri, tapi kita ogah memakainya. Kita lebih menyukai pemikiran luar negeri, pemikiran impor sebagaimana kaos, sepatu, topi, (semua kebutuhan hidup sejak kita bangun sampai kita banyn lagi)…’

Monday, February 02, 2009

kekerasan penis

Kekerasan Penis
Catatan film “Perempuan Punya Cerita”

1/
Anda, dengan membaca judul di atas, barangkali akan menuduh saya sebagai seorang pejuang feminis radikal ekstrimis yang menitik beratkan akar ketertindasan perempuan pada perbedaan kelamin antara pria-wanita, pada patriarki penis atas vagina-rahim. Hanya, masalah kelamin, penentuan laki-laki dan perempuan, adalah masalah yang sekarang sedang mendapatkan tempat sendiri dalam wacana pemikiran dewasa ini. Penentuan tersebut, sebagaimana dikatakan oleh Anthony Synnott dalam bukunya Tubuh Sosial, Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, “bukan sekadar karena keduanya berbeda secara biologis, melaikan lebih lagi: kelamian yang “berlawanan”; kita bahkan dapat menyebut peristiwa ini sebagai “peperangan antarkelamin”.” (Synnot: 2007. hal. 61).

Synnott berpendapat bahwa tubuh adalah sebuah konstruksi social, dengan berbagai cara, oleh berbagai populasi yang berbeda, atas berbagai organ, proses, dan atribut tubuh. (Synnot. Hal. 2). Dalam sebuah konstruksi inilah, tubuh perempuan mengalami ketertindasan dan kekalahan dalam peperangan —saya ragu mengatakan “peperangan” karena selama ini perempuan diwajibkan menyerah sebelum berperang—melawan tubuh laki-laki. Hal ini memiliki akar sejarah yang sangat panjang, sejak Hawa diciptakan untuk Adam; hal ini menyebabkan Adam unggul secara social dan moral dimana Hawa sebagai penyebab kejatuhan Adam-Hawa dari Eden (surga).

Dari geneologi Hawa ke perempuan yang tertindas inilah kita bisa melihat dan menilai film “Perempuan Punya Cerita”, sebagai sebuah kisah klasik yang terus menggerogoti tubuh perempuan dalam konstruksi patriarki baik secara fisik, moral, ataupun structural. Tidak ada yang baru dalam film ini, bahkan kita bisa menebak dari awal seperi apa alur cerita, bentuk-bentuk atau modus oeprandi kekerasannya, sampai pada ending film ini.

Lalu apa yang hendak ditawarkan oleh kumpulan cerita perempuan dalam film ini? Film yang mengetengahkan berbagai bentuk ketertindasan perempuan ini