Monday, April 28, 2008

Kota Budaya: Mencipta Budaya-budaya

Membangun kota adalah obsesi besar komunitas manusia. Sejarah kota adalah bukti obsesi itu, dan belum selesai. Saat ini kita tengah memasuk sejarah kota metropolitan dan akan beranjak menuju kota megapolitan yang baru-baru ini sering kita dengar.

Sekilas, membangun kota sebagai kota budaya tampak janggal dibandingkan dengan membangun kota metropolitan apalagi megapolitan. Lalu apa yang kita harapkan dari pembentukan Solo (untuk tidak mengatakan atau mengklaim, “sebagai”) kota budaya? Menjadi manusia berbudaya dan membangun tempat, kota, yang berbudaya.

Kota budaya secara sederhana, saya kira, merupakan sebentuk wadah untuk proses penciptaan-penciptaan. Hal ini bisa dipahami, kalau kita memakai definisi kebudayaan yang pernah dipopulerkan oleh bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro: “cipta, rasa, karsa.”

Dalam definisi yang sangat padat-singkat ini, kita akan menemukan sebuah kausalitas (penyebab-ke-akibat) yang berujung pada penciptaan. Cipta adalah olah pikir dari manusia. Hal ini adalah usaha pertama yang akan dilalui oleh manuisa untuk mencipta. Sedang yang kedua adalah rasa, bentuk batinah dari hasil pemikiran yang termanisfestasi dalam bentuk sikap budaya. Dan pada ujung prosesnya adalah ketarampilan mencipta, karsa.

Disinilah, dari tiga bagian proses berbudaya, bentuk-bentuk budaya diproyeksikan dalam kehidupan sehari-hari dalam tiga hal: mantifek, sosifek, dan artefak. Mantifek adalah produk budaya yang berbentuk ide atau pemikiran yang masih abstrak. Sosifek adalah hasil dari pemikiran dalam bentuk perilaku, sikap budaya. Sedang artefak adalah produk konkrit berbudaya yang bisa berupa batik, wayang, gamelan, candi dan sebagainya. Pada yang terakhir ini berbudaya menjadi kegiatan yang konkrit, kasat mata, yang bisa dirasakan oleh seluruh komunitas.

Namun selama ini sering kali kita terjebak pada satu bentuk pengejawantahan berbudaya yang khusus pada seni saja. Maka yang berkembang dalam kehidupan komunitas kota kita cenderung berorientasi pada seni saja.

Kerancuan ini disebabkan oleh pendangkalan penghayatan kita terhadap budaya itu sendiri dan sikap berbudaya kita. Hal ini, barangkali, muncul dari istilah budaya itu sendiri yang dipersempit dalam arti bahwa, setiap sesuatu yang bernilai tinggi dan eksotik (nyeni) maka dengan sendirinya kita menganggapnya sebagai budaya. Atau, bisa juga karena kegiatan berbudaya kita selama ini kebanyakan berbentuk seni saja tanpa melihat cakupan budaya itu sendiri.

Maka, disinilah tantangannya, saat kita memproyeksikan wadah komunitas kita sebagai kota budaya. Kota budaya secara harfiah tentu adalah sekadar wadah. Tidak lebih. Pada akhirnya, dengan sikap kebudayaan yang eksklusif (seni saja), kita akan terjebak pada hal-hal yang bersifat seni yang nampak antik dan eksotik.

Kita menganggap kota budaya adalah sebentuk kota yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan kuno, peningggalan-penggalan kuno, barang-barang antik. Kita lupa bahwa kebudayaan itu harus dimulai dari pemikiran, membentuk sikap budaya, dan pada akhrinya adalah sebuah penciptaan budaya-budaya.

Proses berbudaya harus melalui tiga tahapan tersebut yang sekaligus mencipta produk-produk budaya pada tiap jenjangnya. Bahkan jika salah satunya tidak ada maka bisa dipastikan produk budaya yang tercipta sudah tidak berbudaya lagi. Kita akan terjebak pada budaya jiplak-menjiplak yang tidak kreatif-inovatif dan bahkan rendahan. Kalau hal ini terjadi maka kita sebenarnya telah beranjak dari fitrah kota yang berbudaya: mencipta budaya-budaya sebagaimana nenek moyang kita.

Kalau kita bisa menggunakan tiga kemampuan berbudaya tersebut, maka kita sangat laik untuk menyebut diri kita, komunitas kita, pada akhirnya kota kita, sebagai kota budaya. Disini kita akan menemukan berbagai aktivitas berbudaya yang terus menerus terjadi dalam ranah penciptaan-penciptaan. Kita akan menyaksikan tidak hanya Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music, dan sebagainya, kita bisa menyaksikan hik festival, parade seni wayang yang ditampilkan di jalan-jalan utama, kita bisa menyaksikan berbagai perhelatan budaya personal atau komunal yang lainnya. Dan hal ini jika dilakukan terus-menerus akan menjadi sikap berbudaya kita, tradisi berbudaya.

Kita tidak akan terus menerus mengandalkan sisa-sisa kejayaan nenek moyang kita pada dunia bahwa kita adalah komunitas (kota) berbudaya. Kita akan membuat budaya kita sendiri yang akan kita wariskan (world heritage) pada dunia sebagaimana nenek moyang kita mewariskannya pada kita dan dunia.

Yang perlu kita lakukan adalah menyelami keberbudayaan kita. Memulai dari cipta; cipta menghasilkan rasa; rasa pada akhirnya akan membuahkan karsa. Dan itu kita lakukan dalam kota ini yang akan menjadikannya kota budaya.

Tentu, semua ini harus sesuai dengan proporsi posisi kita masing-masing mulai dari pemerintah sampai ibu-ibu yang di pinggir desa.Terakhir saya ingin mengutip pemantik polemik kebudayaan, Sutan Takhir Alisjahbana:

Jangan tanggung, jangan kepalang

Bercita mencipta

Bekerja memuja,

Berangan mengawan,

Berperang berjuang

Solo, 25 April 2008

Labels:

Monday, April 21, 2008

Fauzi: Siapa (Apalah) Dia Itu…

Catatan Balasan Untuk Q.Q.

(Terima kasih atas surat kepeduliannya)

/1/

H

al yang paling susah untuk aku tulis selama ini: Aku, Fauzi. Namun aku harus memberanikan diri untuk menggerakan syaraf-syaraf jari yang sudah seakan lumpuh untuk bergerak. Teman aku pernah bilang bahwa aku itu hampir punya pendapat untuk segala hal, kecuali satu: Fauzi, aku sendiri. Tentu, teman aku itu terlalu membesar-besarkan.

Aku yang sekarang memang bukan aku yang dulu. Aku sudah bermetamorfosis menjadi “dia” yang jauh nan asing. Dia, karena aku harus juga mencarinya untuk memahaminya. Dan untuk itu aku harus bertanya. Apakah dia berada di antara sel-sel otaknya, dalam arti dia sudah menjadi manusia rasionalis? Dia sekarang agak lebih suka berpikir hampir hal-hal yang menurut orang filosofis-ontologis. Dia, sudah mulai menjelajah yang hal-hal di luar dunianya yang dulu yang sederhana dan mudah. “Mencoba untuk peka terhadap keadaan yang terjadi pada orang-orang di sekelilingnya, masyarakatnya, negaranya, dunianya,” katanya.

Apakah dia berada di sel-sel hatinya yang mulai membeku, menjadi manusia perasa namun tidak bisa merasakan akan dirinya sendiri? Dia, dalam perjalannan yang sedang singgah di halte kehidupan kampus ini, sedang mencoba membangun Dunia Es yang sunyi dan dingin. Dia sudah mulai membeku sejak entah kapan. Tapi aku tidak tahu kapan musim kemarau ataupun musim semi akan menghampiri dia. Aku asing akan dia dan dunianya.

Dia, Fauzi, memang bukan Chairil yang lantang mendeklarasikan dirinya:

AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Aku memang tidak serta merta menjadi “aku” yang “sudah sampai waktuku”. Aku masih tersesat di antara menit-menit, dan detik-detik kehidupan yang sesaat ini. Aku sering kali bingung terhadap diri ini yang men-dia, yang lain lagi bukan aku. Aku sering berpikir aku sudah menjadi “binatang jalang yang terbuang dari kumpulannya”. Betapa tidak, untuk menyapa teman-temanya saja dia begitu merasa asing terhadap mereka.tentu bukan karena teman-temannya yang berrubah tapi Karen aku telah menjadi seorang “dia” yang jauh dan asing. Dia pernah menceritakannya masalah ini pada beberapa teman, dan sayangnya hanya pada satu orang teman saja dari satu kelas kuliahnya.

Tapi sering kali, dan berkali-kali, dia begitu merindukan canda tawa teman-temannya. Dia merasa betapa susah hidup tanpa teman-temanya. Dunia memang terkadang terasa begitu luas, saat-saat dia berada di pingggir halaman-halaman buku. Dia seorang bibliofilisme—paling tidak itulah obesesinya, yang jika dosennya mengajarkan hal-hal yang menurut dia sebenarnya mudah saja dibaca di halaman-halaman buku dan tentu saja lebih lengkap, maka dia sering kali memboloskan diri untuk mencari yang “lain”. Tapi dia ingin sekali menjadi mahasiswa yang benar, sekali lagi dengan kata “maha”, dan benar-benar mahasiswa.

Tapi, pernah suatu ketika dia terjebak di perpustakaan. Saat itu hujan deras dan dia sudah begitu lama memelototi halaman-halaman buku, dia ternyata merindukan teman juga. Padahal menurut sebuah petuah yang terdapat dalam sebuah buku dikatakan bahwa teman terbaik adalah buku. Karena jika seorang berteman dengan yang lainnya maka bisa jadi temannya itu lebih bodoh dari dia dan itu berbahaya; atau bisa jadi temannya itu lebih pintar tapi hal ini akan menghalanginya untuk lebih baik dan pintar karena orang itu akan terus berada di bawah baying-bayang pemikiran temannya itu, kalau dia tidak bisa memamnfaatkan temannya itu; dan bisa juga dia berteman namun si teman itu Cuma akan menjerumuskannya terhadap situasi yang tidak kondusif (maaf aku lupa kata-katanya yang tepat, seingat aku buku itu berjudul Humor, Petuah, Sufi).

Dan sayangnya dia menghendaki seorang teman yang bisa membuat tertawa, menangis, resah, gelisah, gundah, tidak menentu, akan tafsiran-tafsiran dan pemikiran-pemikiran tentang makna, arti, perjuangan kehidupan bahkan hal-hal yang tidak masuk akal dan tidak mungkin dirasa. Dia menyebutnya sebagai seorang “Teman Sepembelajaran”. Dan dia tidak peduli apalah temannya seorang pengangguran, pengemis, si gila, hedonis…Anehnya belum ada orang yang mau memperkenalkan dirinya sebagai seorang teman sepembelajaran! Tidak juga dosen-doesnnya (dia pernah menulis tentang masalah ini).

Ah, barang kali ini cara lain untuk memahami dan mengerti tentang apa itu teman, sahabat, kawan dan entah apa lagi bahasanya. Tapi sering dia merasa harus menjadi “peng-abadi” dari ekspresi persahabatan, terutama saat dia membawa kamera. Sering dia ditegur sama orang, “Kok fotonya teman-teman kamu semua! Mana foto mu?” Dia cuma bergumam bahwa suatu saat dia mungkin berkesempatan untuk menuliskan kenapa harus seperti itu (dan dia sudah menuliskannya dengan judul “Potret-potret Imajiner”. Agak jelek sih tulisannya. Maklum baru belajar menulis).

/2/

D

ia tidak sampai begitu tega untuk tidak menerima “rayuan” yang menghinggapi setiap sel otaknya, seperti yang dialamai oleh Chairil. Dan ini sering kali memosisikannya pada hal-hal yang paradoks: menerima rayuan dan menghujat rayuan kuliah. Inilah salah satu penyebab kenapa dia sering kali tidak masuk kuliah walau setiap hari ke kampus, dan sering terjerat di perpus, kakus, dan akhinya pupus di ujung penyesalan.

Dalam persepsi dia, orang tidak akan pernah menjadi “pintar” (kalau harus memakain kata ini. Aku lebih suka kalau pintar diartikan sebagai pembelajar) kalau terlalu banyak kuliah dengan system yang diterapkan pada dia, sekali lagi system yang diterapkan pada dia. Dalam sejarah belajar dia, adalah suatu yang ironis sekali bahwa dia tidak bisa membaca sampai hendak menginjak kelas enam SD, untuk ikut ujian akhir nasionl.

Kejadian ini memberi warna trauma pada dia dan memberikan stimulasi untuk terus berpikir, ada apa dengan dirinya sampai sebegitu bodohnya. Pada akhirnya dia membuat suatu kesimpulan yang lumayan aneh untuk anak yang lulus SD: “Jangan pernah mengandalkan gurumu; sekali-kali jangan mengandalkan gurumu; cukup dihormati saja. Tidak pernah ada seorang penemu teori, penemu(an) ilmiah, yang disebabakan oleh pelajaran gurunya. Einstein menemukan teori E=MC2 tidak karena belajar pada seorang guru, atau diajari seorang guru. Tidak dia belajar sendiri. Inilah yang terjadi pada semua ilmuan di dunia ini.”

Kesimpulan ini sempat membawanya menjadi orang yang sedikit lebih “pintar” dari beberapa orang temannya saat dia menginjak bangku SMP dan mondok di pesantren (pernah juga dia menjadi ‘santri teladan” gara-gara kegilaan belajar sampai lupa untuk tidur. Dia tidur Cuma tiga jam dan selebihnya kebanyakan untuk membaca dan berdiskusi). Lebih baik dari pada dirinya yang menjadi orang paling bodoh di antara teman-temannya waktu SD.

Saat berada di pondok, dia seakan menemukan tempat yang enak untuk menjadi orang “aneh”: orang memegang kunci perpustakaan, orang yang awal dalam memulai berdiskusi, orang yang paling awal menghafal rumus-rumus yang tertera dalam ratusan lembar halaman buku, orang yang terdepan dalam mencuri Koran dan buku-buku, entah punya siapa, untuk dibaca dan dikembalikan lagi, tanpa sepengetahuan pemiliknya…Dia menemukan tempat yang pas untuk mempraktikkan “kesimpulan-kesimpulan”-nya waktu SD.

Pada posisi ini, dia sudah tidak peduli lagi akan sebuah nilai angka-angka. Yang dia butuhkan adalah secuil ilmu yang matang dalam proses penalarannya sendiri. Jadi dia tidak begitu senang saat dinobatkan sebagai santri teladan, bahkan dia merasa tercemooh.

Pada waktu itu ada sesuatu yang membuat dia merasa sungguh “Fauzi” (artinya, “beruntung; kemenangan”, dari bahasa Arab). Dia bisa menghitung seberapa bodoh dan seberapa pintar dirinya dibandingkan dengan dirinya yang lalu dan dibandingkan dengan teman-temannya. Dia bahkan, kalau pulang ke Madura, merasa punya sesuatu untuk dilaporkan pada almarhum ayahnya saat berziarah dan berdoa. Dia sering menangis lega dan bangga bahwa dia sudah mengerjakan perintah ayahnya yang tidak sempat dia ingat seperti apa rupanya. Ayahnya meninggal sebelum dia masuk Taman Kanak-kanak (TK).

Dia akan bercerita pada roh ayahnya bahwa dia sudah menghafal buku A, dia sudah menyelesaikan kitab B, dia sudah memahami masalah C…Dia senang karena sudah menjalankan perintah ayahnya yang dia ingat sampai sekarang, walau tidak dikatakan padanya secara langsung: “Semua anakku harus pernah mondok; yang penting kamu belajar, mengaji, dan ibadah.”

Namun dia “dipaksa” keluar dari pondok setelah sekitar empat tahun. Kondisi pondok saat itu akan membuat dia tidak akan kondusif lagi. Cuma akan membuatnya membangkang pada situasi dan kondisi pondok dan pengampunya. Dia tidak begitu memahaminya dan entah kenapa dia juga mengikutinya. Setelah itu, pergi ke Solo. Di sini dia diberi dua pilihan: mondok lagi di Sarang Jawa Tengah, atau kuliah. Dia memutuskan untuk mencoba hal yang baru, kuliah.

/3/

K

ondisi di atas sedikit berbeda dengan yang dia hadapi di kampus. Pada awalanya dia mengira bahwa kondisi akademis kampus dan mahasiswa pastilah sesuatu yang sangat menarik seperti yang dia baca dalam beberapa literature, terutama karena kampus mengikuti system pendidikan sekuler Barat. Dalam tradisi pendidikan sekuler Barat, orang diajarkan untuk berperilaku skeptis, dinamis, yang penuh dengan kuriusitas akan ilmu pengetahuan. Dia ingat Rene Descartes, John Locke, Derrida...Sebenarnya hal ini sama dengan tradisi ilmiah Islam pada masa Harun Ar-Rosyid.

Maka, dengan landasan tradisi Barat itu, adalah sebuah kewajaran bahkan keharusan untuk menciptakan sebuah forum-forum terbuka untuk saling bertukar pikiran bahkan saling mempertentangkan pikiran, ide-ide, yang dikemas dalam diskusi umum, polemics, protes pemikiran dan sebagainya. Mahasiswa dan dosen sama dalam mengajukan, mengiyakan, mendukung, menolak, memprotes sebuah pemikiran atau ide. Dan yang terjadi dalam kelas kuliah adalah sebuah pertukaran ide-ide, pemikiran, konsep-konsep, bahkan teori-teori.

Kenapa harus perdebatan, pertentangan, diskusi, protes dalam forum-forum terbuka? Jawabannya sederhana: tidak ada ilmu yang pasti, absolute benar seratus persen, bahkan matematika da fisika. Kita mungkin masih ingat film Beautiful Mind yang menceritakan seorang matematikawan, John Forbes Nash (diperankan oleh Russell Crowe). Yang menarik baginya adalah sebuah lingkungan akademis yang begitu sempurna untuk mengembangkan basis pemikiran dan mencari, meneliti, bahkan, ini yang penting, menolak pemikiran yang sudah berumur 150 tahun dan dianggap benar oleh hampir seluruh pemikir yang ada kala itu.

Kita mungkin juga masih ingat peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus. Dialah orang Banglades pertama dan di dunia yang meraih hadiah noble perdamaian yang bukan dari sebuah konflik fisik, namun sebuah konflik batin-akademis atas rakyat Bangladesh yang miskin. Gumam dan protesnya: “pasti ada yang salah dengan apa saya pelajari dari buku-buku tentang teori-teori ekonomi....Aku harus belajar lagi pada para pengemis jalanan...” Inilah protes, bukan sekadar otokritik, yang dilakukan oleh seorang professor ekonomi lulusan Amerika. Dia tidak percaya dan protes atas dirinya dan memang dia berhasil belajar dari para kaum miskin perempuan Bangladesh dengan Bank Kaum Miskinnya (Grameen Bank). Gumammnya dalam buku yang mencerikana keberhasilan dan jerihpayah belajarnya, “Ilmu tentang Grameen Bank tidak pernah ada dalam buku-buku.”

Dalam kondisi akademis seperti itu, dosen bukan seorang penceramah-penghotbah yang setiap ucapannya pasti benar. Pada perkembangannya dia mulai melakukan hal-hal yang lain di luar kuliah reguler. Dia, yang pada awalnya merasa bosan dan ingin tertantang, akhirnya terjebak juga tagihan.

Candu memang selalu enak dan manis pada awalnya. Namun, jika itu tidak dilakukan dengan baik, maka sebuah kecelakaan akan menimpa. Memang dia sadar akan resiko yang akan menderanya. Setiap pulang dari kampus (untuk tidak mengatakan kuliah) dia selalu ditagih oleh nurani otaknya, “ Apa yang telah kau dapatkan hari ini? Ilmu apa yang kau pelajari sepanjang waktu hari ini?” Ditanya dan ditanyakan, setiap hari. Jawaban memang tidak selalu ada. Namun yang paling menyedihkan dan menyiksanya adalah saat dia masuk kuliah namun tidak mendapatkan apa-apa.

Terkadang dia kembali pada kesimpulan-kesimpulan waktu dia masih SD dulu. Dan pada akhirnya dia akan lebih senang kalau Cuma ke kampus dan ikut seminar, pergi ke perpsus…Ada penawar dari dera pertanyaan itu, terkadang. Namun, adakalanya dua-duanya memberikan angka nol.

Pada ke sempatan lain, nurani batinnya sering kali menagih dan menginterogasinya, “Apa yang telah kau lakukan? Apakah kau mau menjadi makhluk yang tidak bertanggung jawab, terutama terhadap orang tuamu, orang yang membiayaimu—daftar disini bisa diperpanjang? Untuk pertanyaan yang menyangkut moral ini, dia selalu kalah dan tidak mempunyai jawaban yang tegas. Dia merasa kecil dan hina. Tidak ada apa-apanya.

Interogani ini akan mencapai puncaknya saat dia pulang ke Madura. Di depan sebuah batu nisan yang tanpa nama, tapi dia tahu itu adalah ayahnya yang penuh kasih, dia tidak bersuara. Tanpa punya argumen untuk membantah, mengiyakan, menyanggah dan entah apalagi, sebagaimana biasa dia lakukan terhadap pemikir dan terhadapa pendapatnya sendiri. Dia seakan kelu, bahkan tak berlidah. Diam. Hatinya bercucuran...Padahal, kau tahu, tidak ada seorang bersuarapun di sana. Sepi sunyi. Hanya sesekali beberapa angin bertiup menerpa beberapa dahan pohon dan kicauan burung-burung sedang bermain dan mencari makan.

Beberapa waktu yang lalu (bulan Maret lalu), saat dia berada di atas batu nisan itu, dia cuam sesenggukan sendiri. Menangis lirih. Pedih. Hujan yang mengguyur dirinya seperti tidak pernah menyentuh kulitnya. Tidak terasa ada deras titik-titik putih menghujam sekujur tubuhnya. Dia kalah.

Tapi, untuk beberapa waktu dia masih tetap dengan pilihannya itu. Dia sering merasakan pedih perih, namun tidak bisa dihilangkan dengan cukup berlari dan berlari dan berlari dan berlari…

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dia, secara fisik lebih jelek dan secara intelektual jauh lebih buruk lagi, jika dibandingkan dengan Chairil. Tapi dia hanya binatang jalang yang membuangkan dirinya entah ke mana. Dia mulai jauh dari teman-temannya sejak beberapa semester yang lalu. Aku tidak bisa mengikuti langkah kakinya. Aku sebenarnya sudah bosan dengan polahtingkahnya yang terlalu keakuan, egoistis-indivdualistis. Apakah telah sukses dengan gemilang pelajaran Barat tentang individualisme—bukan egoisme? Kalau aku sedikit menyimak perilakunya, sepertinya aku harus menjawab, “Iya.” Sudah ada beberapa kawannya yang mengatakan hal itu.

Bahkan ada kabar atau lebih tepatnya pertanyaan: Apakah dia itu sudah berlainan keyakinan? Ini dari salah satu temannya yang sudah pernah membaca salah satu tulisannya tentang pluraritas, “Scripta Manent: Dari Catatan Ke Gerakan, Pembelajaran, Sampai Pencerahan”. Tapi sebenarnya tulisan itu, menurut aku, tentang arti penting membaca dan menulis sebagai bagian dari ibadah tertua dan paling utama. Mungkin temannya itu terlalu focus pada kutipan lead yang mengambil perkataan filosof Prancis, Jean Paul Sartre: “Telah ‘ku temukan agamaku; tidak ada yang lebih penting dari pada buku; aku menganggap perpustakaan sebagai tempat ibadahku.”

/4/

T

erakhir, aku ingin menjadi aku, bukan dia. Aku ingin lebih perduli pada dunia, Negara, guru-guruku (dosen), keluarga, teman-teman, paling tidak pada diri ini. Aku memang belum sependapat dengan Chairil:

Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Chairil, Maret 1943

Aku tidak mau hidup seribu tahun lagi. Aku hendak menjadi arti. Aku masih sering bermimpi, dan masih punya satu mimpi. Tidak terlalu besar untuk sebuah mimpi. Namun sebentuk getaran yang terus menderasi kehausan jiwa ini. Ia membuat bulu kudukku bendiri. Aku merinding entah kenapa. Aku merinding setiap melihat anak kecil menangis, aku merinding setiap kali seorang ilmuan disebut, aku merindng setiap kali melihat orang yang penuh dengan semangat…

Aku masih yakin tentang mimpi itu…Walau diri ini…Mari berdoa.

***

Surakarta, 12 April 2008

Derai lagu Ebit G. Ade terus menemani aku saat menulis.

Dan entah kenapa terakhir aku menulis angka 8 untuk 2008, pukul 17.00 WIB,

Ebit mengalunkan sebuah lagu pilu

“Berita Kepada Kawan”.

Malena: Cantik Itu Derita

Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;

leher langsat yang menyimpan jeritan;

dada segar yang mengentalkan darah dan jeritan;

dan lubang sunyi, di bawah pusar,

yang dirimbuni rumput berduri.

Joko Pinurbo, “Gadis Malam Di Tembok Kota.”

Hei, cewek-cewek, gadis-gadis, perempuan-perempuan, wanita-wanita, apakah Anda semua sungguh ingin cantik, menjadi cantik, hendak cantik, bahkan tercipta cantik? Uh…pertanyaan super bodoh, dan juga jawabannya hiper bodoh jika ada di antara Anda semua mengatakan, “TIDAK.”

Bukti? Ah kayak tidak pernah menonton iklan-iklan saja: betapa banyak produk kecantikan di bumi ini yang memakai wanita-gadis-cewek-perempuan cantik. Dan betapa menjamurnya salon-salon kecantikan beberapa dekade ini. Betapa banyak majalah, tabloid, koran, televisi, internet mempropagandakan isu-isu kecantikan. Dan di sana-sini kita dibombardir dengan billboard iklan (ke)cantik(an) nun menawan plus menggiurkan.

Merasa, ingin, hendak, dan butuh cantik itu universal —sama universalnya dengan tampan, barangkali (belum?). Meski, orang-orang terus saja memperdebatkannya sepanjang hanyat, apa itu cantik, apa kriterianya. Banyak perbedaan di sana-sini—bukan hanya kriteria cantik itu sendiri. Tapi fakta universalitas ingin merasa, hendak, dan butuh cantik tidak terbantahkan. Bukankah Anda termasuk pengguna salah satu produk kecantikan? Sudah, jangan bohong terhadap diri sendiri!

***

Ironisnya, ada fakta universal yang tidak terbantahkan juga tentang (ke)cantik(an): cantik itu derita. Kesimpulan ini tergambar jelas dalam film Malena. Sebuah film epik besutan sutradara Giuseppe Tornatore tentang kekerasan atas dalih “cantik”, setidaknya itulah kesimpulan subjektif aku.

Adalah Malena Scordia (Monica Bellucci) si cantik yang berderita itu dan sekaligus sasaran dari kelukaan yang diderita oleh orang lain. Seorang perempuan paling cantik di kota Calkutta, Italia, yang ditinggal pergi oleh suaminya, Nino Scordia, seorang jenderal yang berperang di Afrika—film ini mengambil seting perang dunia ke-2 saat Italia dengan kekuasaan Fasis mulai memasuki perang dunia dan Jerman menduduki Itali.

Maka jadilah dia seorang perempuan yang berada di sarang penyamun. Semua orang siap-sedia menerkamnya hidup-hidup, tidak terkecuali perempuan dan bahkan anak laki-laki. Kita mulai dari kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki enam bersahabat. Dan yang paling unik dari enam orang ini adalah Renato. Dia adalah seorang secret admirer terberat Malena di antara teman-temannya.

Dimulia dari keinginannya untuk menjadi anggota “Geng Lelaki Dewasa” di antara temannya yang masih berumur 12 tahunan. Dia sendiri sudah berumur 12 tahun saat dia mempunyai sepeda, sebuah persyaratan untuk bisa diterima di “Geng Lelaki Dewasa”.

Mereka setiap hari menunggu mangsa mereka yang sangat masyhur di seantero Calkuta sebagai wanita berbokonng paling seksi. Renato terhipnotis oleh bokongnya, oleh buah dadanya, oleh garis wajah yang siap ia terkam.

Tentu dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan hasratnya itu. Dan untuk itu segala imajinasinya mulai menjadi liar untuk disalurkan dan pada akhirnya dia sampai pada kekerasan imajiner terhadap perempuan yang hanya tinggal sendiri itu.

Dia sangat mencitai Malena, tentunya. Tapi di balik cinta itu ada sesuatu yang sangat liar dalam hasrat-hasrat yang membuncah. Maka terjadilah setiap adegan kekerasan imajiner yang dilakukan oleh seorang anak berumur 12 tahun. Mulai dari kekerasan pembunuhan atas nama cantik terhadap temannya di arena Coluseum. Dia membayangkan dirinyasebagai gladiator yang menang dan menunggu perintah untuk membunuh temannya. bahkan dia bertengkar dengan temannya karena temannya mengijek Malena.

Dia melakukan semua yang perlu dan harus dilukakan oleh tuntutan hasrat-hasrat cinta terhadap yang cantik: dia menyetubuhi Malena, mencumbui bibir Malena yang tipis sensual, dia meraba-raba buah dada Malena tanpa ampun dalam buaian manis tangan anak berumur 12, dia memakai celana dalam Malena sebagai topi agar dia bisa tidur nyenyak, dan sebagainya. Semuanya terjadi dalam alam imajiner yang dia ciptakan dengan sempurnya di atas ranjang reot berderit-derit saat dia melakukan “aksi” yang sebenarnya dengan bantuan “tangan-tangan hasrat”. Sampai dia harus membubuhi oli pada bagian pegas-pegas ranjang tuanya karena mengganggu orang tidur.









Pada akhirnya dunia imajiner tidak cukup baginya. Dia sakit, terobsesi akan percintaan yang nyata. Ibunya menduga dia dirasuki setan. Dia memanggil pendeta untuk menyembuhkan. Gagal. Ayahnya yang tahu dia terobsesi akan percintaan yang nyata membawanya ke pusat lokalisasi. Dia sembuh.

***

Kekerasan yang berikutnya tentu saja dilakukan oleh semua lelaki Calkuta, kecuali ayahnya sendiri. Ayahnya adalah seorang professor tapi mengajar anak-anak SD, termasuk gengnya Renato. Di kelas, setiap murid secara terang-terangan memohon ijin untuk memperkosa anaknya, Malena. Untung, si ayah tuli sehingga dia mengiyakan setiap permohonan murid-muridnya, yang dia sangka mau ke kamar mandi.

Hal ini jelas berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh para lelaki. Tapi, aku menduga semua lelaki pernah melakukan kekerasan imajiner terhadap Malena sebagaimana Renato. Si sutradara Tornatore menggunakan Renato bocah berumur 12 tahun cuma untuk menggambarkan satu hal: kalau anak sekecil Reanto sampai sebegitu parahnya apalagi seorang dewasa!

Gambaran hal ini bisa kita lihat pada saat Malena memotong rambutnya dan mencat merah tua menyala dengan gelombang-gelombang. Dia melangkah menyusuri pelataran kota Calkuta dengan rok pendek dan tas dikepit di pinggang. Semua mata mahklu hidup saat itu menatap tajam padanya. Setiap langkahnya seakan sebuah busur yang menyerbu seluruh penduduk kota untuk menjadikan mereka mati dengan mata terbuka dan mulut menganga. Semuanya, termasuk anak-anak dan ibu yang cemburu karena suaminya molotot.

Sampai di tengah kerumuan penduduk Calkuta, dia menduduki sebidang kursi dan mengeluarkan sebatang rokok lalu ditempelkan pada bibir merah merekahnya. Sejurus kemudian puluhan tangan sudah berada di depan bibirnya dengan berbagai model dan merek korek api yang menyala-nyala. Korek-korek itu menunggu penghargaan dan kehormatan dari premepuan idaman seluruh laki-laki.

Anehnya, Malena tidak melihat kepada siapapun. Dia cuma melirik ke kiri dengan ekspresi dingin. Entah siapa yang mendapatkan kehornmatannya. Aku merasakan dia seakan-akan berkata: “akulah perempuan yang kalian semua tunggu-tunggu untuk menjadi tumbal dari hasrat-hasrat kelelakian kalian. Aku adalah seonggok tumbal di atas altar yang siap kalian korbankan demi keserakahan hasrat percintaan. Silahkan puaskan nafsu-nafsu setan kalian terhadap perempuan. Akulah tumbal. Aku tahu itu. Oleh karena itu aku tidak perlu mengatakan apapun. Tidak perlu kalian tahu bahwa aku menderita.” Korek api itu seakan menandakan nafsu yang sedang menyala-nyala panas siap membakar.

Malena diam tanpa suara.

Dia dipaksa menjadi PSK oleh seorang pengacara yang telah memenangkan perkaranya dan juga oleh seorang jendral Jerman yang dengan kelicikannya Cuma memberikan makan pokok atas pemerkosaannya.

Dan Malena hanya diam. Kalah.

Kita tahu, sepanjang scene Malena hampir tidak pernah berbicara. Tapi seluruh ekspresi mukanya seakan mengatakan semuanya: aku adalah derita. Semakin aku mengatakan bahwa aku menderita maka hal itu akan tambah melukai. Bahkan setelah dia bertemu kembali dengan suaminya, ekspresi Malena tetap sebentuk ekspresi derita perempuan cantik.

Yang lebih tragis lagi adalah saat tentara Jerman hengkang dari Calkuta karena kalah perang. Pada saat itu ibu-ibu yang tidak pernah mendapat kesempatan mengkerasi Malena sontak mendadak beringas. Mereka mempreteli Malena dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu mengusir Malena dari rumahnya. Dia pergi dengan pakian yang tercabik-cabik oleh gunting dan cakaran keji tangan-tangan perempuan dan ibu-ibu.

Barang kali benar kalau Eka Kurniawan mengatakan “cantik itu luka.” Dan setiap luka adalah derita. Jadi cantik adalah derita. []


Sunday, April 13, 2008

Maaf, Mahasiswa Malas


P

erasaan. Aku mau bercerita tentang perasaan yang mengganjal dalam dalam setiap pembacaanku akan beberapa buku yang menceritakan tentang wajah budaya belajar. Dan ini Cuma sekadar catatan seorang yang paling malas di dunia. Catatan Malas Seorang Mahasiswa.

Dalam beberapa buku dikatakan bahwa hampir setiap mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri merasakan shocked culture yang mengguncang tapi terasa begitu enak, lezat, membuncah, melumat. Aku ingin menamakannya sebagai shocked culture of study.

Aku baru saja membaca buku Edensor, fiksi+fakta barangkali. Dalam salah satu bagian disebutkan bahwa ada beberapa tipikal mahasiswa yang sangat kental terkait dengan budaya belajar yang sudah menjiwai mereka karena system budaya belajar yang mereka gunakan. Diceritakan bahwa mahasiswa dari Inggris, sering dipanggir The Brits, memilki tipikal belajar yang suka berdebat, dari Amerika suka berdebat juga namun penuh dengan provokasi dan pada akhirnya mereka akan mencari alibi atau berkoalisi untuk mendukung pendirian mereka. Tipikal belajar mahasiswa dari Jerman adalah seorang mahaiswa yang sistematis, metodis dan well prepared. Sedang dari Belanda, mereka tipikal mahasiswa yang pendiam, namun analitis handal. Dari cina digambarkan sebagai seorang akuntan yang akurat dan komunal. Dari Indoensia? Rasakan sendiri, bayangkan sendirilah. Atau baca saja kesimpulan Andrea Hirata.

Yang mengusik saraf-saraf kejengkelanku adalah kenapa mereka bisa memiliki tipikal yang demikan? Apa yang salah dengan system budaya pembelajaran kita? Ya, ini bukan pertanyaan yang logis, barangkali. Ini pertanyaan konyol yang emotif yang tidak akan pernah ditanyaakn oleh para pendidik kita, oleh para guru TK, para guru SD, oleh para guru SMP, oleh para guru SMA, bahkan oleh para guru (dosen) di pereguruan tinggi S1, S2, S3, lebih gawatnya lagi oleh para birokrat yang berjejer di DIKTI! Bodoh sekali diri ini.

Ya, bodoh karena itu Cuma ada dalam buku-buku fiksi yang sangat mungkin sekali dimanipulasi. Tapi anehnya, setiap guru yang pernah belajar di luar negeri dan sedikit mempelajari bagaimana mereka bisa mengalami shocked culture of study, sepertinya ini bukan perkara fiktif. Dan saat mereka menulis tentang system budaya pembelajaran kita, aku merasakan, sekali lagi merasakan, ada nada getir yang penuh kuatir: kita bangsa malas belajar. Itulah kesimpulan mereka, tentu dengan diksiku yang barang kali sedikit berlebihan.

Tapi anehnya, seorang Ignas Kleden pada tahun 1988 pernah menuliskan (baca buku yang sudah klasik namun asyik Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Diterbitkan oleh LP3ES. Hlm. xlv) rasa malunya saat ditanya oleh temannya yang seorang professor Jerman, kenapa di Indonesia tidak ada budaya berdebat, diskusi, dan polemik? Dia menjawab bukan pada professor itu tapi pada seluruh jajaran intelektaul Indonesia bahwa kita masih berbudaya ngobrol ngalor ngidul doang!!! Sangat parahnya lagi, ini berlaku sampai sekarang! Sudah berapa tahun samapai sekarang? Kita ngapain aja selama ini? Huhhh, barang kali aku yang sangat bodoh yang tidak mengikuti perkembangan terkini (?).

Dan sangat anehnya lagi, Penerbit Kanisius menerbitkan buku dengan judul yang sangat provokatif, miris, liris, emotif, penuh dengki (?), dan tentu bukan berdasarkan prasangka: “Pendidikan: Hanya Melahirkan Air Mata”. Buku itu adalah kumpulan tulisan para orang peduli pendidikan yang diselenggarakan oleh KOMPAS dalam sebuah seminar refklesi pendidiakan kita. Dan dieditori oleh Sindhunata. Kebetulannya, hampir semua penulisnya pernah belajar keluar negeri! Aku sungguh malu saat mau membaca buku dengan judul yang sangat-sangat…

Seandainya aku diperbolehkan memberikan sedikit makalah aneh dalam seminar yang bergengsi itu maka aku akan memberikan judul makalah singkatku: Maaf, Mahasiswa Malas. Aku tidak akan memberikan sebuah makalah ilmiah yang analitis, penuh data-data kebobrokan system budaya pendidiakn Indoensia. Aku hanya mau bercerita tentang mahkluk aneh dari luar angkasa yang masih bayi dan seumur hidupnya tetap mau mengukuhkan diri menjadi bayi. Forever baby.

Saat masuk sekolah puaaaling dasar, TK, katakanlah begitu, dia sudah didulang oleh seorang ibu yang sangat welas asih. Dia sering kali masih nangis-nangis plus masih penuh ingus bergentayangan di sudut-sudut mukanya yang lugu. Ini berlanjut sampai lulus. Masuk SD, dengan sedikit kenakalan yang mulai menyusahkan, dia tetap disuapi dengan baik. Saat SMP dan SMA keadaan tidak jauh berbeda. Mereka disuapi dengan penuh perhatian meski mereka, waktu disuapi, sedang asik mengggunakan HP baru yang sedang gandrung-gandrungnya. Tangan kanan mereka sedang asyik menekan tombol-tombol angka-angka dan huruf-huruf saat sedang disuapi. Mereka masih duduk dengan tegap.

Keadaan ini mulai berlanjut pada waktu mereka berada dibangku kuliah. Bahkan lebih parah. Mereka dengan posisi duduk yang lebih santai, selain menekan tombol huruf mau ngirim sms ke pacar, sedang membuka friendster, email,…Sedang dosennya pada ngomong tanpa henti tidak perduli mau didengar atau tidak. Tapi mereka senang sekali karena masih saja disuapi.

Aku jadi ingat sebuah cerita tentang seorang ibu yang mengajarkan anaknya cara makan. Pada waktu masih bayi, dia menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Waktu anaknya memasuki usia anak-anak, dia mulai menyuapinya makan yang agak susah dikunyah. Pada saat remaja, dia Cuma memberikannya nasi lengkap dengan sayurannya. Si anak disuruh makan sendiri. Dia juga mengajaknya pergi ke sawah dan kebun yang mereka miliki untuk sedikit membantunya. Pada waktu dewasa, si anak disuruh menanam sendiri segalanya untuk apapun yang dia inginkan tidak cuma makan.

Aku jadi ingat Andrea Hirata, dalam Edensor, yang menceritakan supervisornya Professor Turnbull yang sangat emoh dan marah mengurusi hal-hal dasar dari riset yang dilakukan oleh Si Ikal. Aku merasakan adanya shocked culture of study pada si Ikal. Kasihan sekali dia karena sudah dibesarkan dalam budaya yang… Tapi untungnya dia bukan MAHAsiswa yang malas. Meski terseok-seok dan terbirit-birit mengejar teman-temannya, dia berhasil.

Aku jadi miris: ternyata aku malasan. Tapi aku ingin merasakan shock culture of study. Kamu?

©M. Fauzi.

Thursday, April 03, 2008

Email “Fitri” Di Pagi Hari



Hari ini adalah pagi yang entah keberapa. Aku pasti lupa. Pagi yang masih mengijinkan aku untuk menghirup udaranya, mendengarkan kicau burung.

Dan saat ini aku membuka sebuah kamus, Oxford Pocket Dictionary, aku mendapatkan sebuah email address. Lalu, entah kenapa juga, kebetulan sekali, aku sedang membuka email.

So, aku mencoba menulis, entah apa. Kalau seandainya dirumuskan: Fitri, sebagai sebuah nama temanku di ujung sana, Madura, yang sering belajar bersamaku dulu kala (apa kabarmu?), dan Fitri, sebagai pengertian atau definisi, dan diartikan "kembali."

Di pinggirku tergolek sebuah buku sastra berjudul “Matikan Radionya”. Saat ini aku ingin membaca sebuah puisi, lebih tepatnya mungkin menyelaminya. "Surat Cinta" judulnya, yang digubah oleh sastrawan kontemporer Indonesia, tinggal di Magelang dan menjadi direktur yayasan IndonesiaTera, Dorothea Rosa herliany. Puisi itu adalah:

Surat Cinta

kupustuskan sesobek pengkhianatan yang cantik,
saat aku mesti tinggal untuk sebuah nafsu.
dengar dengusnya, seperti ombak yang keras
menghantam kekokohan, tapi halus bagai kebenaran

Biarlah kunikmati. kubasuh untuk kegelisahan
dan kesangsian atas cinta. Tapi kesadaran
kadang lebih buruk, tapi suci. Sebab atas nama ia
kulihat alangkah sombongnya kekecewaan.

Menurutku, puisi itu cukup bagus dan menyentuh realitas kekinian. Realitas yang ada adalah begini: (1) Orang rela menjadi tidak perawan atau duda cinta (dalam hatinya). Bisa dengan menggunakan kata-kata playboy-playgirl. Masalahnya adalah hal ini urusan hati. Hati yang sudah tidak 'perawan-perjaka' lagi. Dan itu tidak ada konsekuensi sosialnya. Tidak seperti (2) janda-duda karena pemutusan hubungan suami-istri. Bisa menjadi gossip murahan kecuali yang janda-duda adalah para artis. Lumayan banyak orang yang akan menontonnya.

Secara lebih tegas lagi: Sebuah penghianatan. Ini kalau melihat dan mengasumsikan "cinta itu suci". Tapi kalau tidak ya, terserah. Siapapun boleh berbicara dan boleh tidak perawan-perjaka secara hati. Mungkin tidak bakal ketahuan kecuali oleh mantan-mantannya sendiri.

Dalam kasus pertama yang menarik adalah, di sana orang berani melakukan hal ini: EKSPERIMEN HATI. Hati mereka siap dijadikan “kelinci percobaan” sebuah perasaan CINTA. Dan akibatnya adalah ketidakperawanan-keperjakaan hati. Apakah hati kita sudah tidak perawan-perjaka lagi? kemungkinan besar.

***

Apakah cinta itu sebuah "fitri" yang di sana ada lorong-lorong, meski kecil, untuk aku kembali menemukan diri ini? Atau, di sana, mengutip puisi itu, cuma ada "kesangsian" yang harus dimurnikan dan dicari sarinya dan pada akhirnya berbuah "kekecewaan" yang sombong atau tidak pantas dan tidak pada tempatnya?

Entahlah, “only heaven knows”, hanya Tuhan yang tahu kata, Brian Adam. Tuhan, maukah engkau memberi tahuku? Ahh, aku masih ragu Engkau akan memberi tahu makhluk “sesat”-mu ini, “sesat” dalam dunia Ar-Rohman, dunia Ar-Rohim Mu. Semoga mendapat Enlightenment-Mu. Amin. Aku rela menemukan kesadaran yang lebih buruk, namun aku berharap itu suci.

Tulisanku ngawur, ya? Padahal aku bangun jam 5 pagi, lalu sholat, terus menghadapi komputer dengan jaringan internet nonstop-gratis.

Sorri, kalau mengganggu, apalagi ngebe'-ngebei emailmu. Tapi mau tanya: Bagaimana penafsiranmu terhadap puisi di atas?

Salam dingin dari tempat pertemuan manusia modern.

[email untuk teman aku]


Wow, Temanku Berpotongan Mohak!


Entah mau dibilang aku yang sedang nyelenih-nyelenihnya atau memang dunia sekitar aku saat itu sedang nyelenih. Waktu aku di Madura (19/08) aku ketemu teman SMP aku di desa. SMP ini adalah sekolah tertinggi negeri di desaku, yang pertama dan satu-satunya. Waktu aku masuk, tahun 1998/1999 (lupa?) adalah edisi perdana sekolah ini dibuka (betapa miskinnya desaku!!!).

Aku adalah salah satu murid pertama dan mungkin karena itu aku terus mendapat “beasiswa” —beasiswa ini mungkin Cuma sekadar promosi produk baru— sampai aku “dipaksa” keluar pada waktu aku di bangku kelas dua. Namun, aku adalah orang kedua pertama yang tidak lulus setelah teman sekelas aku (seorang cewek yang beralih haluan ke pondok di Bangkalan). Lalu setelah itu aku tidak pernah lagi duduk di bangku sekolah.

Kembali ke pembahasan teman aku. Nama pendeknya Muslih (nama yang agamis yang berarti “orang yang berbudi baik”), dengan tinggi badan kira-kira 140-an (sedikit pendek untuk ukuran orang Indonesia biasa). Aku cuma bisa “wow” melihat dandanan rambutnya yang kayak jambul ayam jago: gumpalan tajam ke atas yang berwarna merah hati menyala. Ada apa dengan kepalanya sehingga rambutnya harus ter-punk-an?

Perlawanankah? Tapi kepada apa dan siapa? Kita tahu punk lahir di London pada tahun 80-an sebagai subkultur yang dipaksa (memaksakan diri, lebih tepatnya) menghidupkan keterasingan, memerankan potret-potret imajiner, bahkan protes terhadap kemapanan masyarakat modern Inggris kala itu yang serba tertib. Apakah teman dari desaku menemukan seorang atau masyarakat sebagai musuhnya?

Jawabanya memang tidak gampang. Namun jika kita pakai “ilmu biasanya” maka ini sedikit melenceng dari “meanstream” punk sendiri. Punk, sejauh pengetahuan aku, adalah subkulktur yang tumbuh subur di masyarakat perkotaan yang maju, katakanlah di Malang, Surabaya, Yogya, Bandung, Semarang, dan Jakarta, yang ditujukan sebagai bentuk perlawanan terhadap gaya hidup mainstream, arus utama. Tapi teman aku yang dari sudut desa, apa iya dia sudah harus membentuk budaya tandingan? Terhadap apa dan siapa?

Aku yakin temanku tidak suka sama Kangen Band, tapi apakah itu sebentuk ekspresi pemberontakan yang kental dengan potongan mohak? Aku juga sedikit yakin bahwa teman aku tidak banyak tahu tentang band-band punk luar negeri seperti Limb Bizkit atau yang lainnya. Apakah temanku sudah terkontaminasi dengan budaya punk?

Sepertinya kau harus lebih bnyak belajar tentang budaya pop(uler).