Friday, February 27, 2009

Kebenaran: Diciptakan?

Dalam suasana gundah, cemas dan merasa penuh dosa, Leo (Lev) Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) melalui toko utamanya dalam novel Kebangkitan, Nekhlyudov, mengecam sekaligus menitahkan dirinya sendiri: “Akan kurobek-robek kebohongan yang menjerat diriku berapapun susahnya, dan akan kuakui segalanya, dan kepada semua orang akan kunyatakan kebenaran dan akan kuciptakan kebenaran itu.”

Aku risau dengan pernyataan itu, terutama pada anak kalimta terakhir “akan kuciptakan kebenaran itu.” Seorang bisa saja membongkar kedok kebohongan dan menyampaikannya. Tapi menciptakan kebenaran? Adakah kebenaran itu ciptaan? Atau, kebenaran adalah sesuatu yang sudah ada, ada, dan akan ada sebagaimana ia adanya? Saat Copernicus mengatakan bumi bulat, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebelumnya bumi tidak bulat. Bumi tidak pernah tidak bulat sebelum Copernicus mengatakannya bulat. Jadi, bisa dikatakan Copernicus tidak bisa menciptakan bumi menjadi bulat, ia hanya sekadar mengungkapkan.


Dengan kata lain, kebenaran itu mewaktu yang merambat menjalar melalui saluran-saluran sejarah, peristiwa penemuan ilmiah, atau semacam kejadian keterbukaan (ketersingkapan) yang mengejutkan.

Yang aku maksud dengan saluran-saluran sejarah adalah “keberanran” yang pemegang pembenarannya adalah para penguasa. Oleh karena itu bisa salah-dan-benar, atau juga, dengan kata lain, yang-dibenarkan atas suatu wewenang (otoritas) baik melalui lembaga atau suatu otoritas keilmuan (meski monopilistik) tertentu yang melekat pada seseorang tapi masih di bawah kekuasaan.

Sedangkan persistwa penemuan ilmiah adalah kejadian berualang-ulang yang diformulasikan pertama kali, yang biasanya menghinggapi seorang pada saat memikirkan sesuatu (ilmu) fenomena tertentu, seperti yang dialami oleh Galileo, Einstein, dan sebagainya.

Sedangkan yang terakhir, kejadian ketersingkapan, adalah kejadian yang mengejutkan dan mendadak yang menimpa seseorang , bisa nabi atau orang biasa, semacam mukjizat.

Pembenaran ketiga kebenaran ini berbeda. Yang pertama melalui kekuasaan; yang kedua melalui percobaan dan metodologi; dan yang terakhir melalui kejadian.

Dari tiga hal ini, kita mau tidak mau membicarakan pembenaran. Kebenaran tidak bisa tampil sendiri tanpa adanya pembenaran. Dari tiga pandangan ini, aku kira tidak ada satupun yang hendak menciptakan kebenaran. Yang pertama lebih menghendaki dampak dari pembenaran, yang kedua memfokuskan pada mencari dan menelusuri kebenaran dan yang ketiga bersifat menerima atau membuka diri pada kebenaran.

Sampai di sini, aku tidak tahu apa itu kebenaran. Yang sedikit banyak aku tahu adalah cara-cara menerima dan menuju ke sana, seperti berbagai metodologi atau epistemology. Maka menjadi menarik untuk menanyakan ini: bisakah aku sampai pada kebenaran melalui jalan-jalannya tanpa mengetahu lebih dahulu apa itu kebenaran.

Dengan mengatakan demikian, sebenarnya aku sudah masuk dalam pemikiran yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak diciptakan tapi sudah ada, ada, dan akan ada, yang akan dicari. Lalu bisakah menciptakan kebenaran? Entahlah. Menurut G.M. dalam bukunya Tuhan Dan Hal-hal Yang Tak Selesai, kebenaran adalah momen ketersingkapan, yang bukan sebuah percobaan atas sebuah pengulangan fenomena seperti dalm ilmu pengetahuan. Apakah memang demikian adanya? Aku juga tidak bisa tahu apalagi yakin.

Apa itu kebenaran, cara-cara mencari kebenaran dan penemuan kebenaran atau penerimaan-kesiapan terhadap kebenaran, tidak begitu merisaukan aku, barangkali (meski terkadang menghantui). Tapi yang satu ini: Adakah kita belajar sejak TK sampai kuliah S1, S2, S3 dan belajar seterusnya untuk kebenaran dan mencari kebenaran, atau bahkan untuk mencipatakan kebenaran? Sekali lagi, benarkah kita mencari (dan mempelajari) kebenaran, meski untuk diri sendiri (tidak sebagaimana Galileo yang harus dihukum mati)? Sungguh sulit untuk mengatakan iya, pada zaman kita sekarang ini.

Toh, kalau kita berani dan nekat menjalaninya, maka kita harus terlebih dulu berhadapan dengan berikut ini: perlukah kebenaran? Ya, apa boleh buat, zaman manusia, sejak manusia berpikir, berkuasa, dan bermimpi, di luar Tuhan, adalah zaman pencarian pembenaran-pembenaran sehingga lupa pada kebenaran itu sendiri, dan efeknya begitu besar di tangan kekuasaan manapun.

Dan kita, yang di kampus dan lupa kebenaran, terkadang menikmatinya. Begitu juga aku.

Surakarta, 18 February 2009

0 Comments:

Post a Comment

<< Home