Tuesday, February 17, 2009

Einstein Dan Dua Malaikat


“Menurut catatan dua teman saya, Rokib pencatat segala kebaikan manusia and Atib pencatat segala keburukan manusia, kamu sudah ditasbihkan sebagai manusia paling jenius. Terjenius. Terpintar di antara yang pintar. Emhm…” Malakait Munkar dan Nakir nampak bimbang terhadap pertanyaan yang hendak diajaukan, pada manusia terjenius itu.
Einstein tampak lugu di hadapan makhluk aneh ini.
Munkar dan Nakir, penegak keadilan dan penghukum di alam kubur, agak trauma berhadapan dengan manusia jenius. Pernah, entah suatu siang atau malam, mereka berhadapan dengan sang jenius pemberontak-ahli bahasa Imam Sibaweh. Mereka kewalahan saat menanyakan beberapa pertanyaan. Belum apa-apa mereka berdua malah diinterogasi balik tentang tata bahasa yang mereka gunakan dalam bertanya. Maka bingunglah kedua malaikat itu dan balik ke langit, bertanya kepada Allah: siapa sebenarnya manusia yang satu itu. Allah malah menyuruh membiarkan sang Imam.
“Pertanyaan apa yang sebaiknya kita tanyakan pada manusia jenius itu?” Munkar dan Nakir berembuk. Munkar mengusulkan untuk menanyakan pertanyaan seperti biasa: masalah tuhan, kitab suci, Nabi, dan seterusnya. Nakir agak keberatan dengan pertanyaan biasa itu. Orang jenius sudah hampir pasti bisa menjawab semua pertanyaan itu. Jangan-jangan malah kita yang diinterogasi seperti dulu, kata Nakir.
“Bagaimana kalau kita tanyai aja masalah-masalah ilmiah, kayak hitung-hitungan? Itukan masalah yang sulit?” usul Munkar. “Jangan. Jangan. Dia ahli fisika kawakan di abad ke-20,” jawab Nakir sambil membolak-balik buku catatan Rokib dan Atib tentang Einstein.
Einstein bingung di depan dua makhluk udik itu, dengan dua pentongan besar di pundak.
“Bagaimana kalau kita tanyakan saja tentang masalah-masalah kemanusiaan. Bukankah dari dulu, berdasarkan catatan Rokib dan Atib, masalah kemanusiaan menjadi masalah semua bibir manusia dengan bahasa yang berbeda? Pasti membingungkan dan menyulitkan si jenius ini,” usul Munkar, sekali lagi. “Oke,” jawab Nakir.
Einstein masih diam. Dan tidak tampak berpikir.
“Hei, si jenius!” dengan nada keras dan menggelegar, Munkar menggertak Eistein. “Apa yang kamu lakukan dan apa yang kamu pikrikan pada waktu Perang Dunia II? Apa yang ada dalam perasaanmu saat membuat bom nuklir? Apa yang ada dalam pikiranmu saat melihat ribuan korban mati seketika dan mati perlahan-lahan? Apakah ada setitik penyesalan dalam hatimu?” Tanya Munkar hampir tanpa jeda.
Einstein diam, dan tak tampak hendak menjawab.
“Cepat jawab semua pertanyaan kami, sebelum kami menghancur-leburkan seluruh ragamu itu. Menghancurkan. Menghancur. Menghancurkan,” tampak nada geram, “Lagi. Lagi dan lagi. Menghancurkan otakmu! Ayo cepat!” Nakir mulai tidak sabar setelah Munkar mengulang-mengulang pertanyaannya dan tak tambak akan ada jawaban dari sang jenius.
Diam. Einstein hanya diam.
“Mungkin kita salah orang. Bukan ini orang yang dijuluki si jenius abad ke-20. Masak tidak bisa menjawab pertanyaan kita sama sekali,” Munkar tampak gelisah. Nakir tidak menjawab, dia membuka buku catatan Rokib dan Atib, “Tidak mungkin salah! Malah si Rokib dan Atib juga mencatatan salah satu gambarnya dengan pose tersenyum sambil menjulurkan lidah. Iya, dia orangnya.”
Mereka membentak dan mengancam Einstein. Sekali lagi. Dan berulangkali. Tak ada jawaban dari si jenius.
Akhirnya mereka menghadap Allah, hendak mengadukan manusia yang bernama Einstein, yang terkenal sebagai si jenius abad ke-20, otak di balik pembuatan bom nuklir dan pencetus toeri relativitas mengalahkan sang jenius abad ke-19 Isaac Newton. Dalam perjalanan mereka bingung sekaligus takut menghadap Allah, jangan-jangan malah mereka yang dimarahi seperti yang terjadi pada Imam Sibaweh, sang linguis. Mereka tidak akan menyiksa Einstein tanpa ada interogasi terlebih dulu. Mereka mau tidak mau harus menghadap Allah.
Sesampai di haribaan Allah, mereka memasang muka takut, takjub sekaligus takdim. Allah sudah tahu kenapa gerangan mereka menghadap. “Aku tahu apa yang kalian hendak tanyakan. Dia memang makhluk yang jenius. Tapi dia belum mengggunakan seluruh otaknya seperti yang pernah dikatakan beberapa ahki otak di bumi. Dia baru menggunakan 5% kekuatan otaknya. Kalian tidak usah menanyakannnya lagi. Dia tidak punya otak sekarang. Otaknya tertinggal di Bumi. Lebih tepatnya dia hibahkan pada sebuah lap penelitian. Sebagai Tuhan dan pencipta otak, barang tercanggir teruntuk manusia, Aku sangat menghargainya, karena dia mau dan berani menggunakan otaknya. Itu lebih baik dari pada sebuah negeri yang tidak pernah mendapatkan hadiah nobel dari Manusia apalagi dari Aku.” Ada jeda beberapa detik, dan nampak nada menyesal. “Kalian kerjakan saja urusan berikutnya.”
“Kami mendengar dan patuh,” sembah kedua malaikat itu. Mereka memeriksa orang mati berikutnya dan membiarkan Einstein.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home