Wednesday, March 26, 2008

Aku Lelaki Feminis!?


Sisa-sisa cerita feminis, kesimpulan sementaranya. Dan aku, entah terpaksa atau dipaksa, menjadi tokoh feminisnya. Waktu itu (25/03) pukul 10.25 pagi menjelang siang. Aku masih berada di pinggiran boulevard UNS depan. 10.25 berarti aku sudah terlambat 5 menit kuliah. Butuh sekitar 7 sampai 10 menit bagi makhluk selambat aku untuk sampai di ruang kuliahlantai 3 pojok atas. Total aku bisa terlambat 15 menit dan sepertinya tidak ada toleransi keterlambatan 15 menit (dosen aku kejam-kejam terhadap waktu!!!).

Aku mencoba mempercepat ayunan langkah. Barangkali masih ada kesempatan aku masuk kuliah, dari pada masuk ke perpus. Bisa saja dosennya terlambat. Tet..tetet…teeeeet, bunyi klakson motor di belakang aku. Entah siapa yang dimaskud. Aku tidak menoleh ke belakang. Aku terus melangkahkan kaki. Sejurus kemudian, sepeda motor Supra X berhenti di depan aku. Ada seorang cewek yang cukup cantik banget nongkrong di atasnya dan menoleh ke aku.

Aku sebenarnya lebih suka berjalan kaki sambil memelototi buku seperti biasanya. Lebih enjoy. Tapi aku tak tega menolak bantuan baik apalagi dari cewek dan aku sedikit tergesa-gesa. Aku mendekatinya dan terjadilah obrolan “kecil”.

“Aku di belakang aja, ya?” kata aku.

“Di depan aja!”

“Kenapa? Bolehkan aku di belakang?” aku mencoba mempertahankan keinginan aku.

“Kan, cowok biasanya di depan.”

“Begitu?” aku mencoba menguak alasan yang sedikit rasional.

Motor sudah mulai meluncur ke fakultas dan aku sudah memenangkan negosiasi dengan teman aku. Aku duduk di belakang. Dalam perjalanan menuju fakultas aku tidak melanjutkan “perdebatan”. Aku menanyakan masalah kuliah, apakah hari ini ada ujian. Aku dan teman aku cukup bergembira.

Tapi perdebatan sebenarnya terjadi dalam benak aku. Apakah aku termasuk lelaki feminis yang sedang mempraktekkan feminisme? Aku pernah ikut seminar tentang fenomena feminisme. Inti sari dari feminisme adalah hegemogi kaum lelaki terhadap perempuan dalam social, ekonomi, politik, agama, gaya hidup dan entah apalagi. Pokoknya itu, semua yang ada di dunia ini adalah Laki-laki. Yang ada adalah History, sejarah laki-laki yang tanpa wanita-perempuan (Herstory). Hal ini merembes pada masalah yang sepele: siapa yang seharusnya menyetir motor. Feminiskah aku?

Teman aku ternyata juga tersenyum setelah aku menangkan dia (bukan aku mengalahkan dia) untuk menyetir motor. Dan aku tidak ada rasa direndahkan apalagi dihina. Tidak. Lelaki feminiskan aku? Ah...posisi aku kan Cuma sekadar numpang, tidak berhak lebih dan aku rasa teman aku lebih berhak untuk menyetir dan lebih berpengalaman dengan motornya sendiri dari pada aku yang baru belajar naik motor.

Tentu saja teman aku tidak segeram Simone De Beauvoir—teman aku Cuma tersenyum, entah merasa sudah perempuan atau belum— dalam karyanya Second Sex: “Suatu ketika aku ingin menjelaskan diriku pada diri sendiri…Dan perkara ini menohokku dengan sebuah kejutan bahwa hal pertama yang harus aku katakana adalah “Aku seorang perempuan.” Aku merasakan nada getir dan geram pada Beauvior. Dia ternyata belum menemukan dirinya sebagai seorang perempuan, apalagi harus menjelaskan. kesimpualan aku seperti ini: Perempuan yang bukan feminis bukanlah perempuan.

Atau, seperti erangan perempuan Amerika: “Ambisi kami dilatarbelakangai oleh keteran pendekar-pendekar perempuan masa laluyang memandang cemerlang jenisnya sesame perempuan, dan membuktikan kepada semesta bahwa apabila ketentuan konstitusi kita, opini kita dan tata cara tidak melarang kami berbaris kea rah kegemilangan, melalui jalan-jalan sama dengan yang dilakukan oleh laki-laki setidaknya kami harus menyamai dan kadang kala melebihi mereka, dalam cinta kasih kami pada kesejahteraan masyarakat.”—Isi jeritan perempuan Amerika, Philadelphia, 1780.

Dan, masihkah aku lelaki feminis?

“Era feminisme sudah berakhir,” kata dosen aku yang sudah membuat disertasi doktoral tentang kepahlawanan perempuan, tentang feminisme. Sekarang era postfeminisme: perempuan terbelenggu oleh kapitalisme wajah, kapitalisme tubuh, kapitalisme pakaian dan sebagainya dari produk kapitalisme.

Apakah aku, Anda, mereka kaum laki-laki, masih mau meng-kartini-kan kaum perempuan dalam jebakan pernikahan? Dan akhir dari perempuan: Dapur, Kasur, Sumur? Aku yakin tidak ada dari Anda semua yang akan menjawab, “Iya.”

Apakah aku lelaki feminis? Dan bagaimana dengan Anda? Kata dosen aku: “Semua orang adalah feminis sekarang, perempuan atau lelaki.”[]

Sunday, March 23, 2008

Ilmuan Meninggalkan Penemuan; Wali Meninggalkan Kuburan



Hari itu adalah Jumat (21/08). Aku dan beberapa sanak keluarga kembali ke Solo pukul 09.00 WIB. Dari desa Banjar meluncurlah mobil yang kami naiki melewati Bangkalan, Kamal dan sebelum langsung ke Solo mampir di Surabaya, tepatnya ke makam Sunan Ampel. Ini yang pertama kalinya sepanjang sejarahku berangkat ke Solo dengan acara mampir ke makam. biasanya ke rumah teman atau ke TP (mall Tunjungan Plaza), atau paling tdak ke Matahari Departement Store Terminal Purabaya Bungurasih.

Hari Jumat, menurut orang-orang, adalah hari yang baik untuk berziarah ke makam para wali. Kami sampai di Ampel Denta (sebutan ini terkait dengan radio yang di asuh oleh mahasiswa yang belajar di Ampel dan sekitarnya) sekitar pukul 13.30. Dengan perasaan biasa saja karena sudah terlalu sering mengunjungi makam dan melihat kematian, aku masuk lewat pintu sebelah timur. Banyak mobil yang diparkir sampai mobil kami tidak mendapatkan tempat.

Langkah pertama aku dimulai. Di kanan-kiri jalan banyak pedagang berjualan pakain muslim, aksesoris islami, makanan islami seperti kurma dan sebagainya. Sebelum aku masuk ke kuburan aku mempir ke tempat wudhu untuk menyegarkan muka yang sudah kusut gara-gara tidur di mobil.

Lalu….dakkkkkkhhhh makam penuh sesak oleh manusia. Ah mungkin ini karena hari kemaren adalah ultahnya Muhammad Yang Terpilih, yang entah ke berapanya. Tapi hal ini selalu dirayakan.

Dan…ini berbeda dari yang biasanya aku rasakan pada saat berada di makam para wali. Kali ini ada “SETAN” yang berbisik ke aku: “Kenapa selalu banyak orang mengunjungi makam-makam para wali, kyai, ulama, dan orang-orang yag dianggap suci? Untuk berdoa kepada Tuhan Maha Pemurah? Jika iya, kenapa mesti di kuburan dan di tempat manapun, bukankah dengan ke-Mahamurah-annya Dia bisa mengabulkan apa saja tanpa melihat tempat dan siapa yang meminta?(Kalau tidak barang kali Tuhan punya sifat tidak adil?).

Kenapa juga mereka terus berkunjung ke makam? Apakah ini (makam) menjadi satu-satunya peninggalan para wali? Tidakadakah yang lebih keren dan lebih ilmiah untuk aku kunjungi? Semacam lembaga pendidikan yang maju? Buku-buku karangan mereka yang bermutu atau paling tidak perpustakaan lengkap? Bisa juga museum ilmu pengetahuan? Atau penemuan yang bisa aku banggakan dan aku ikuti jejak penemuan dan etos kepenemuannya?”

Uhhh…kenapa juga aku yang dipilih oleh setan!

Gara-gara “bisikan setan” ini aku tidak khusu’ membaca doa-doa. Aku ingin sesuatu yang “lain”. Aku kira sudah saatnya kita berwisata yang lebih fres dan sedikit lebih menambah ilmu yang sesuai dengan zaman kita.

Aku takut jangan-jangan itulah penyebabnya kenapa kita menjadi terbelakang dan terbelakang dan terbelakang…Oleh karena rasa takut itu, barang kali, seorang Abu Nawas yang katanya wali itu berpesan agar kuburannya (dan dilaksanakan): Ada bingkai pintu besar tanpa daun pintu memakai gembok hiper besar namun tanpa kunci dan yang paling aneh ada pintu namum semua area makamnya tidak ada tedeng aling-aling apa-apa sama sekali, Cuma sebungkah batu nisan tok!

Entah apa maksud dari sang sufi humoris kesohor itu. Aku was-was: jangan-jangan wali Cuma meninggalkan makam!? Dan oleh karena itu Abu Nawas membuat lelucon terakhirnya di makamnya sendiri supaya orang Cuma sekadar tertawa kalau pergi kekuburan!!!?

Surakarta, 23 Maret 2008


Labels:

Mencari, Memahami, Membuang Titik


Catatan Personal Untuk D. A.*

/1/

Titik, bagi sebagian besar manusia, adalah akhir, jika kita mengandaikan sebagai penanda kehidupannya. Akhir merupakan perhentian ke dunia hampa, sunyi-sepi. Maka kita takut padanya, seringkali. Titik, kadang kala, merupakan penantian panjang, entah baik atau buruk. Orang lelah-letih menjalani kehidupannya dalam penghampiran pada titik, namun tak juga ada. Titik, bisa juga, adalah rutinitas hidup, bagi yang lain. Dan begitulah titik telah membagi manusia dalam tiga kelompok.

/2/

Aku, entah di posisi yang mana (mungkin yang pertama), ingin menemukan titik, bahkan kalau perlu menjadi titik itu sendiri. Jiwa yang mulai terkikis oleh perih onak perjalanan hidup. Malam dan siang yang ditaburi oleh detik-detik waktu sungguh seperti menggiring diri ini pada lubang kecil yang sesak aku masuki. Kecil tidak sepadan dengan keangkuhan diri ini sebagai manusia. Bisa juga terlalu kecil jiwa ini (bukan berjiwa besar) untuk menampung sedikit saja resah, onar, gelisah, tanya-takberjawab, dan ah…masih banyak lagi.

Aku, pada saat seperti ini, ingin lekas terakhiri, di secuil titik kehidupan. Tertitikkan di pojok kehidupan yang sunyi-gelap. Titik!

Guru-guruku pernah berkata: titik adalah akhir dari permulaan satu huruf yang menggerombol menjadi kata, menghimpun membentuk prasa, dan menyatu merangkai kalimat, pada akhirnya. Kalimat adalah yang diakhrinya pasti titik, atau dititik dan tertitik. Kalimat tanpa titik adalah kehampaan panjang, yang ironisnya tidak memberikan pemahaman, apalagi arti dan makna. Tanpa titik ia kosong di pojok deretan kalimat-kalimat. Titik yang mengakhiri itu memberikan makna, arti, dan pemahaman. Atu, kalau toh di sana ada makan, kau pasti menggeh-menggeh mengikuti jejaknya yang tak tentu ujung.

Tapi sayangnya, titik itu, walau Cuma setitik saja, tidak pernah menghampiri singgah dalam diri ini. Ah…apakah aku salah dalam menyusun serpihan kehidupanku, sehingga tidak pernah titik nampak apalagi singgah. menoleh pun rasanya ia tidak pernah pada diri ini. Entahlah: iya atau tidak, aku tak sampai tahu.

Karena, sebagai pengganti titik, aku sering terjepit oleh koma, sebagai penyela-penyesak kehidupanku. Beraneka koma menjejali langkahku, bukan untuk menghentikanku sementara supaya aku berpikir tenang, merefleksikan diri ini, atau menata langkah berikutnya. Tidak. Koma itu bukan halte tempat pemberhentian sementara atau oase untuk menyejukkan tenggorokan barang sejenak, sebagaimana koma berfungsi dalam barisan anak-anak kalimat yang panjang. Apakah guruku salah memberikan ilmu atau aku sembrono menangkap-menghimpun ilmu? Atau barangkali guruku menganggap belum sepatutnya aku mendapatkan ilmu sehingga dia tidak mau memberikannya padaku? Atau juga, maaf, guruku hendak menjadikan aku seorang Bima yang dia utus menjemput ajalnya sendiri dalam mencari Air Kehidupan? Jika yang terakhir ini berlaku pada aku, apakah pada akhirnya aku akan selamat dan mendapatkan ilmu yang aku harap itu, seperti halnya Bima? Ini terlalu nmulia uyntuk bisa dikerjakan oleh aku. Terlalu mulia.

/3/

Dan kalau seperti itu aku harus memulai dari awal, padahal aku berharap akhir, titik kehidupan. Ah, barang kali memang seperti itu hidup. Bodohkah aku memahami kehidupan? Barangkali.

Dalam pertemuan yang lain dengan mu guru, kamu berkata: “Jika kamu berhenti bertanya, maka kamu akan berhenti berilmu.” Guru, apakah kamu ingin mengatakan bahwa Tanya adalah lebih baik dari pada titik; dan di tengah-tengahnya ada koma yang menajdi nafas di jalur gegasnya kehidupan, namun Cuma sebentar dan keresahan mengintip di depannya untuk dilalui? Tanya itu resah, ragu, menggugat, protes, tidak tetap. Titik itu tetap-mantap, kepastian, tegas tidak ragu.

/4/

Ada juga TITIK BALIK. Aku tidak juga kunjung bertemu dengan titik balik yang akan mengangkat diri ini ke ujung penantian yang penuh dengan harapan. So, tulisan ini belum selesai. Aku sedang mencari sense untuk menulis TITIK BALIK (titik harapan). dan, tulisan ini sebenarnya untuk menanggapi “curhat” tertulis seorang teman yang dikasih ke aku beberapa waktu yang lalu (satu lembar).

Sunday, March 16, 2008

Jejak Terakhir…


Catatan Pribadi Untuk F.T; Catatan Tentang Teman

“Aku terasing, di tempat itu, Zi,” ujarnya dingin, dengan nada yang mendalam. Ada rasa yang aneh yang aku tangkap dari perkataannya: hampa. Naluriku, berdasarkan nada bicaranya, sebenarnya merintih seraya berkata dalam hati: ‘kamu sebenarnya ingin mengatakan: “Aku telah diasingkan.” Entah secara manusiawi atau tidak, aku tidak tahu bagaimana dia merasakannnya dalam hati.

Kata-kata itu, menurutnya, adalah idiom yang paling tepat untuk menggambarkan suasana lingkungan hatinya saat itu. “Sebenarnya banyak yang ingin aku omongin, tapi aku cuma bisa memberikan kesimpulanku: Aku terasing di tempat ini,” dengan suara malas dia menambahkan. Dan entah mengapa kata-kata itu juga terus menggema dalam diri ini. Kata ini terus terpantul pada dinding hati dan karenanya ia terus menggema dan menggema.

Jejaknya bagi aku barangkali sedikit panjang, meski tercecer di berbagai sel-sel otakku. Saat itu aku melihatnya pertama kali adalah dalam sebuah materi diklat yang dia pandunya. Selalu ada senyum lebar dari bibirnya. Geraknya sedikit berbeda dengan wanita Jawa yang pernah tertanam dalam benakku, ia cekatan penuh gegas. Kontras dengan senyum dingin-ironis yang dia tampilkna pada ku. Senyum itu bukan senyum. Ia pendar dari sebuah dunia yang sudah melain.

Aku sepertinya dilempar ke negeri yang di sana tidak ada penghuni untuk aku ajak bicara sekadar untuk melepaskan kepenatan jiwa yang terkikis. Entah apa yag megikisnya, terlalu banyak barangkali atau ketiadaan yang mengada-ada saja. Ia semakin jauh tuk aku kejar. Melihat jejaknya sekarang pun aku sungguh sulit. Atau, barangkali dia memang tidak menginginkan aku untuk melihat apa lagi berbagi, setidaknya untuk sebuah dunia yang aku ingin (sudahkah?) bangun: Dunia Sahabat.

Dunia Sahabat? Ah, kosa kata apalagi ini! Nampak ia adalah sebuah dunia hayali belaka, tanpa makna yang mau ditawarkan pada diri ini yang lelah dan letih. Dalam sebuah catatan kegamangan aku mencoba memberikan sebuah gambaran walau tidak definitif. Sekali lagi dalam sebuah kegamangan. Dalam catatan yang tertera pada sebuah lembaran bertuliskan seperti ini:

Dunia Sahabat, dan…

Apa Itu Sahabat?

Kala aku (kita?) mengatakan sebuah dunia, apalagi Dunia Sahabat, aku dengan seluruh imajinasiku membayangkan sekumpulan manusia, setidaknya dua orang, paling tidak seorang manusia dan seekor hewan. Seikat dualitas (dwi tunggal), yang di sana ada kebersamaan, kehangatan, haru-sedan, tangis-tawa…dan segudang perilaku kebersamaan.

Di sini, di Dunia Sahabat, tidak ada yang lebih tinggi apalagi merasa terendahkan atau terasingkan, apalagi. Tidak ada yang Tuhan dan Hamba, setidaknya itulah kesepakatan hati dia antara keduanya atau lebih, meski mereka berdua tidak mengutarakan dalam kata. Karena, dengan lantang hati sudah cukup berkata.

Dunia Sahabat dirajut dengan benang-benang kepercayaan…

Dan setiap jalinannya semakin erat dengan keterbukaan…

Kemanusian-Yang-Saling-Membutuhkan antara keduanya, yang sejatinya mengiringi setiap tarikan nafas mereka…

(Ah, kamu telah berkata apa. Bagaimana bisa berkata dan berimajinasi tentang dunia sahabat, jika dengan diri kamu sendiri belum juga bersahabat?)

Nampak secara implisit diri ini, aku, sudah mulai terbius oleh Revolusi Prancis dengan semboyannya: Fraternite, Egalite, et Liberte (Persaudaraan, Persamaan, Kebebasan).

Atau, bukankah risalah-risalah besar yang datang pada dunia ini melalui para nabi-nabi sebenarnya adalah sebuah ajakan ke Dunia Sahabat, bahkan bersahabat dengan tuhan sendiri?

Hehh, kamu, wahai diriku…Ada yang menggelitik resah dalam dirimu, hendak bertanya:

Apakah itu teman? Teman kos, teman sekelas, teman sepermainan, teman seperjuangan, teman curhat, teman hati, teman sepembelajaran, teman tapi mesra (apalagi ini?)…? Lalu bagaimana dengan kawan itu? Kalau Sahabat, yang engkau mengucapkannya dengan suara lembut-hangat? Sahabat Sejati?...

Apakah kau, hei diriku, terlalu memikirkan definisi tanpa memandang arti dan esensi?

Surakarta, February, 12, 2008

***

Ada tanggapan: “Buat Fz: Mengapa terlalu banyak mencoba mendefinisikan, coba saja jalani pasti juga bakal tahu dengan sendirinya…! Banyak-banyak refreshing yah….!

***

Kalau aku tidak “memulai” mendefinisikannya, bagaimana aku bisa memurnikannya dari noda-noda berbagai pertalian dengan manusia yang akan mengkotorinya? Dan bukankah dari pendefinisian yang jelas maka akan tampak segala kebusukan diri ini untuk dibuang jauh dalam menjalani laku persahabatan…? Dan bukankah hidup tanpa dilalui dengan sebuah refleksi adalah hidup yang tidak layak dijalani? Oleh karenanya, adalah sebuah keniscayaan hidup untuk mendefinisikan. Aku tidak mau melangkahkan kaki dengan sepatu berduri yang menusuk-nusuk kaki.

Ataukah: ia adalah sebuah dunia laku yang tinggal aku “jalani, (yang di sana) pasti juga bakal tahu dengan sendirinya..!” Seonggok dunia praksis nan praktis. Tapi aku resah: lalu apa bedanya dengan dunia yang dijalani oleh orang gila tanpa sebuah kesadaran diri?

Terakhir: Catatan ini tertuju pada F.T. atau malah pada penulis catatan sendiri? Ataukah bisa juga bagi keduanya? Bukankah Dunia Sahabat itu adalah Dreamland-nya setiap anak manusia?

…dan aku belum juga sampai pada jawaban, pun menjalaninya, dan belum mau berakhir, semoga. Entah kapan bisa…Barang tentu, Dunia Sahabat tidak dimulai dengan sebaris pertanyaan: “apa itu sahabat?” Namun menjadi pertanyaan besar jika Dunia Sahabat berakhir dengan pertanyaan!

Hujan belum juga berniat berhenti

menyirami Bumi Anak Manusia…(20.30 WIB)

Surakarta, 20 February 2008

“Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya.

Jangan sepelekan persahabatan.

Kehebatannya lebih besar dari pada panasnya pernusuhan.”

--Nyai Ontosoroh kepada Minke, dalam Anak Semua Bangsa oleh Pramoedya.

…dan Aku Ingin Berjuang!


Kata-kata ini: ketidakadilan, penindasan, kesewenang-wenangan, kebodohan, kebobrokan, penyelewengan…adalah kata-kata yang sering aku dengar dari dulu. Sejak kecil. Dan setiap itu pula, ada dorongan energi yang menyembul kuat dalam setiap syaraf ini, untuk berjuang. Berjuang. Setiap nadanya selalu saja membawa diri ini pada keresahan jiwa, yang darinya memancar kekuatan perjuangan. Dan rasanya bukan Cuma aku. Ini adalah kata yang universal, walaupun tidak selesai didefinisikan.

Tanya pada sejarawan: dunia sebagaian besar digerakkan oleh Orang-orang Besar (Great Historical Force); dan tidak ada yang berani menggerakkan orang-orang ini kecuali kata-kata tersebut, yang tergambar jelas dalam kehidupan masyarakat mereka. Sastrawan memang masih terus berdebat masalah kata-yang-menggerakkan, namun bukan dalam arti bahwa kata-kata itu kosong, tidak menggerakkan, namun lebih pada keindahan kata, setidaknya menurut aku. Kesimpulan mereka: perjuangan berhenti pada kata. Lantas, sastrawan, ataukah pejuang, sang penegak dan pembuatnya. Tidak ada yang salah dalam posisi keduanya.

Peduli setan alas dengan semua itu: aku masih lemah yang mencari tenaga, sesuatu yang diperjuangkan, dengan sungguh. Apakah aku salah masuk zaman, yang seharusnya aku cukup bersenang tanpa perlu musuh kolonialisme, kapitalis-setan, dictator, teroris, atau yang lebih kecil, koruptor kelas kelurahan? Ah, sepertinya itu masih terlalu besar. Atau, bukankah itu terlalu kecil? Dan yang begitu besar adalah dirimu sendiri? Egomu, kebodohanmu, penyelewenganmu, kesesatanmu, bahkan “kekafiran-kemurtadan”-mu? Kurang besar apanya semua itu?

Ah, itu kan tidak nyata dan abstrak: bukankah selama ini teman-temanmu di kelas selalu menganggapmu orang yang “pintar” bahkan “cerdas”? Itukan yang selalu mereka dengungkan pada mu? Lantaran kesenangan anehmu, pergi ke kampus dan wajib ke perpus, setiap hari? Apakah ini penipuan cerdas ala detektif dan juga mafia, dan intel? Atau, inilah kebodohan yang tak tersadarkan dalam diri ini? Memang begitulah, yang tampak pada diri ini.

Setiap detik jarum jam bergerak, diri ini mulai tersisih, jauh tetinggal di belakang detak-detaknya yang terkadang terdengar sayup sunyi di telinga ini. Jiwa dan otakku mulai diseret-seret ke jurang ketidakberartian, mengerikan. Akupun sunyi dalam diri dan tidak berarti.

Di ujung semua itu: jangan pernah kau tanya: Kapan kau akan insaf, sadar diri, taubat? Cukup dengan kesombongan kecilku akan dijawab: jangan ceramahi aku dengan petuah kuno-bangkamu itu! Dan aku bertanya seraya membalikkan keadaan, dengan keyakinan penuh, “Bukankah aku selama ini berjuang membekuk peraturanmu yang kau anggap suci, yang kau anggap maha kebenaran, namun yang tidak manusiawi itu? Visi-misiku di dunia ini Cuma ada satu: membakar hangus segala yang engkau coba tanam dalam kedirianku, dalam pendidikan mu; aku akan terus menggugat. Namun entah pada siapa kata ini terlontar. Jangan-jangan itu adalah pada diri ini?

Dari ujung Fakultas, di pojok Jurusan, dengan selembar kertas kebenarannya, seseorang berkata, “Dengan bukti apa engkau berkata sedemikian angkuhnya di bumi kami? Tidak cukupkah sederet angka kelakuanmu (otak, emosi, raga, maksudnya) ini membuktikan?”

“Tidak adakah secuil bukti selain angka-angka yang kau buat tergopoh-gopoh ini? Bukankah itu barang kualitatif yang kau kuantitatifkan dengan pemerkosaan atas nilai-nilai dirimu dan tempat kamu berlindung diri?” Demikian sang aku membela diri, sekali lagi mendemontrasikan kepintaran yang dungu.

“Kapan kau akan menyerah, heh?”

“Kau salah masuk zaman. Cepat balik sana ke zamanmu nan di ujung waktu yang sudah lama lewat!”

Dan aku terbingung-bingung oleh diri ini, pun dengan waktu, ditambah mereka. Aku sudah terkalahkan oleh diri ini, zaman ini, manusia zaman ini… Seharusnya aku berkata dengan lantang: “Tai kucing semua perjuangan! Itu adalah ide murahan yang dicoba suntikkan oleh para hedonis-idolator hiroisme altruisme busuk!”

Dan pada saat-saat bingung itu teman saya berkata, “Zi, kuliahnya udah selesai. Bangun, ayo, makan siang.”

Monday, March 10, 2008

Ruang Demokrasi: Di mana Kau?1

Gedung Legislatif: Ruang Demokrasi?

Kekuatan demokrasi pada dasarnya adalah kemampuannya untuk memberikan kekuasaan kepada mayoritas tanpa mengucilkan minoritas, kebebasan bagi setiap individu untuk berpendapat atau berkelompok, yang terlembagakan dan dilindungi, dan yang lebih penting adalah kemampuannya untuk melindungi kepentingan minoritas(???). Yang terkahir ini menjadi perbincangan yang tidak pernah selesai dalam polemik tentang demokrasi, terkait masalah wadah bagi mereka yang terdesak oleh mayoritas.

Dalam badan legislatif yang mewakili masyarakat, sering kali minoritas saat perdebatan yang sengit, tidak mendapat corong untuk menyalurkan suara-suara mereka. Inilah dilema demokrasi sejak demokrasi pertama kali dalam ‘parlemen’ orang Yunani dan Magna Charta sampai “demokrasi gelombang ketiga” ini. Dalam perdebatan yang sengit dan alot suara minoritas sangat boleh jadi bukan suara sama sekali, karena biasanya dalam kaadaan yang seperti itu akan dibentuk panja (panitia kerja) yang biasanya terdiri dari orang mayoritas atau seorang ahli. Namun posisi tawar minoritas tetap sama, tidak punya suara.

Bahkan dalam situasi ekstrem mayoritas dan minoritas sama-sama tidak punya suara sama sekali. Kendali kekuasaan berada ditangan mereka yang mengatas namakan rakyat. Mereka secara kuantitas bukan saja minoritas tapi juga elitis dan tertentu. Kasus dana rapelan anggota DPRD yang menjadi tragedy demokrasi bisa menjadi contoh kokret atas situasi di atas. Rakyat yang diwakili oleh mereka anggota DPRD tidak tahu sama sekali tentang kenaikan tunjangan dan kenaikan yang lainnya. Rakyat protes dan didukung oleh hampir seluruh media dan DPRD pun balik memprotes sikap pemerintah yang inkonsisten.

Lalu dimana ruang demokrasi bagi rakyat dalam sistem politik demokrasi, jika gedung demokrasi teruntuk mereka yang menjabat atas nama rakyat tapi rakyat tidak punya suara?

Ruang Publik: Ruang Demokrasi?

Ruang publik merupakan tempat dimana setiap individu bisa melakukan berbagai aktivitas ekonomi, sosial, politik dan keagamaan tanpa adanya interfensi dari pemerintah. Ruang public yang paling fenomenal di Indonesia munhkin cuma Bundaran Hotel Indonesia. Sungguh aneh memang kalau jalan dipaksa menjadi tempat penganut demokrasi untuk menyalurkan aspirasinya, tapi harus di tengah jalan yang terkadang panas, dingin dan penuh dengan polusi udara.

Monas yang begitu luas dan asri ternyata hanya ruang demokrasi untuk para kijang-kijang mungil. Kijang-kijang itu bebas berdemokrasi denagan kawan-kawan mereka; mau ngomong tentang ‘wakil’ mereka yang mewakili diri sendiri, monggo mawon; mau rapat koordinasi tentang bencana yang menimpa sanak-famili mereka, silahkan; harus mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak merakyat, jangan sungkan-sungkan.

Tapi jangan berharap itu akan terjadi untuk bangsa manusia Indonesia. Bapak polisi dan tangan kiri-kanannya bisa menciduk mereka yang mau berdemokrasi di Monas. Sebaiknya Anda berdemokrasi di jalan-jalan yang sepi dari mobil, sepeda, kecuali punya ijin untuk berdemokrasi.

Atau Gladak yang penuh dengan mobil yang tidak mengenal arti sosial dan demokrasi?

Demokrasi di negeri seribu tempat ibadah plus negara kepulauan dengan beragam suku dan etnis ini memang susah, sulit dan sering mahal. Ruang untuk berdemokrasi hampir tidak ada sama sekali.

Kampus: Ruang Demokrasi?

Banyak mahsiswa yang sering berkata dengan nada penuh semangat dan percaya diri bahwa kampus adalah basis demokrasi. Maka tidak heran banyak spanduk dan pamflet yang bertuliskan “mari kita sukseskan pesta demokrasi” saat berlangsung pemilihan ketua BEM (Badan Eksekutif Mahasiwa, mana legislative, yudikatif dan rakyatnya???), pemilihan dekan sampai pemilihan rektor sebagai pusat pimpinan universitas.

Demokrasi kecil-kecilan atau demokrasi dengan huruf ‘D’ besar yang teman-teman mahasiswa jalankan? Bersama dengan para mahasiswa yang apatis-stylis? Dan juga dengan para dosen yang lulusan S1 samapi S3, pemabantu rektor dan juga para karyawan di lingkungan universitas? Kapan itu terjadi dan di kampus mana yang terjadi praktek-praktek demokrasi, di ruang-ruang perkuliahan dimana mahasiswanya secara cultural tidak mau ‘menyerang’ dosen dengan berbagai pertanyaan dengan taming pakewuh meskipun dosen mereka salah dan dosennya yang merasa senang dengan sikap mahasiswa yang anti tanya-jawab. Juga terjadi di ruang rektorat yang angkuh dengan kedudukan mereka sebagai ketua dan anggota senat yang maha tinggi tidak terjangkau oleh pemikiran mahasiswa dan para karyawan?

Rak-Rak Perpustakaan yang Demokratis?

Mungkin ruang ‘demokrasi’ yang benar-benar ‘demokrasi’ adalah rak-rak perpustakaan. Anda bisa menemukan berbagai pemikiran yang tertulis dalam lembaran-lembaran buku: komunis ada meskipun di situ ada filsafat Pancasila dan UUD ’45 yang mengharamkan ideology tersebut; sosialisme yang bermusuhan dengan kapitalisme dan feodalisme; liberalisme yang bersanding dengan kolonialisme; dan ada juga kaum konservatif yang kanan berjejer dengan mereka yang kiri; mau sejajar atau berlawanan semua boleh berada di ruang demokrasi ini.

Tapi ruang demokrasi tersebut sungguh beku dan bisu. Sedangkan “Demokrasi yang hebat tidak bisa disebut demokrasi jika tidak progresif”, sebagaimana diucapkan oleh mantan presiden Theodore Roosevelt pada tahun 1910. Demokrasi yang seperti itu yang kita inginkan, dimana hanya yang merasa pintar dan bisa menulis saja yang boleh pamer otak dan komplain tentang kehidupan sosial-politik? Lalu dimana ruang demokrasi yang bagi orang yang tidak bisa bahasa tulis, masih berbahsa lisan dan bahasa emosi yang melingkupi hampir segenap manusia Indonesia?

Kamar Mandi: Ruang Demokrasi?

Kamar mandi bisa saja menjadi ruang-ruang demokrasi bagi diri yang tidak punya kemampuan untuk membuat suara menjadi benar-benar suara. Orang bisa berteriak tentang ketidakadilan, ngomel tentang tingkah laku para wakil rakyat yang cuma suka mengatasnamakan rakyat saja tanpa mau merakyat, mengalami penderitaan rakyat, bergaul dengan penderitaan rakyat dalam kehidupan real, dan di kamar mandi Anda boleh bersumpah serapah tentang sumpah yang pernah dijanjikan oleh wakil rakyat, semuanya boleh dilakukan dalam kamar mandi.

Demokrasi kamar mandi seperti ini yang kita inginkan? Kenapa kita tidak mengembalikan saja tampuk kepemimpinan ke tangan Bapak Pembangunan kita, Soeharto dengan segala sistem filsafat Pancasilanya yang tidak Pancasilais. Sehingga tidak akan terjadi lagi tragedy “dilarang menyanyi di kamar mandi” sebagaimana diceritakan oleh Seno Gumira Ajidarma. Relakah demokrasi yang kita impikan sejak kita mendeklarasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tahun ’45 Cuma sekedar demokrasi kamar mandi?

Ruang Batin: Ruang Demokrasi?!

Akhirnya karena setiap orang pasti bunya ruang batin dalam dirinya masing-masing maka ‘solusi’ alternative untuk ruang demokrasi bagi setiap manusia Indonesia adalah ruang batin mereka. Setiap orang, kaya-miskin, bodah-intelek, pejabat-rakyat berhak untuk menggunkan ruang batin sebagai wadah untuk menyalurkan setiap aspirasi masing. Dan biarlah tuhan yang menjadi wakil bagi setiap keluhan kita. Dialah Maha Wakil dari segala wakil dalam kehidupan ini. Wakil kita saat suara bukan suara, wakil tatkala rintihan dan rengekan sedih-pilu bukan sebuah aspirasi bagi wakil kita yang sedang asik menghitung hasil.

Tapi saya (mungkin juga Anda) akan sangat sedih jika ruang batin adalah ruang demokrasi. Bisa-bisa kita bisa kurus badan-batin? Di negeri belahan mana yang mempraktekkan demokrasi batin untuk kehidupan sosial-ekonomi-politik?

[1] Ditulis oleh M. Fauzi. Senin tanggal 9 April 2007 pukul 18. 15 WIB.

Labels: