Friday, December 19, 2008

Persetan Kata...

INILAH aku, manusia yang rentan dengan manipulasi kata. Aku punya mulut yang tidak seksi, tenggorokan yang menempel pada leher, juga system otak yang bekerja dengan kode-kode kata. Aku suka menjadi pemarah, sehingga sering keluar kata-kata keras dan pedas dari mulutku. Orang memanggilku Persetan kata, karena kesukaanku pada omelan dan ocehan. Mereka mungkin ada benarnya karena aku mempunyai tesis-prinsip: Setiap kata digunakan, setiap itu pula dusta menjadi penting. Mereka menganggap aku sebagai pendusta kata. Dan aku tidak peduli.


Aku terlahir dengan kekosongan kata, tapi pendidikan memaksa aku untuk memakai kata-kata dalam mengoleksi ilmu. Semakin banyak kata yang aku koleksi, semakin mereka menganggapku orang yang pintar dan cerdas. Bahkan karena sifat anehku, yaitu mencuri buku-buku yang temen-temenku emoh membacanya, aku dikira pintar. Bukan aku sebagai maling! Dusta, sejak saat itu, aku nikmati dengan sangat baik dan melezatkan egoku.


Aku tumbuh dengan memakan kata demi kata, yang orang-orang di sekelingku menganggap aku orang dari dunia masa depan yang sangat membutuhkan kata, bukan nasi, hamburger, ayam goreng, pizza atau bercinta dalam hangatnya pacaran atau bersetubuh dalam kemesraan suami-istrti atau sang penguasa yang duduk gagah di atas singgasana politik.


Aku tidak begitu peduli dengan agama yang aku anut, karena agama yang diajarkan oleh ustadku tidak mengajarkan aku memakan kata-kata. Aku berperut yang lapar kata. Yang mereka ajarkan padaku adalah kesunyian aqidah yang mengharuskanku untuk tidak berimajinasi dengan kata-kata tentang Tuhan. Mereka, para ustadku melarang aku menggunakan kata untuk menyebut Tuhan. Meskipun, mereka sebenarnya lebih banyak menggunakan kata-kata dari pada mengungkapkan Tuhan itu sendiri. Bagi mereka Tuhan, menurut amatanku, tidak lain adalah kata-kata. Mereka mereduksi Tuhan dalam kata. Aku tidak pernah tahu Tuhan itu sendiri selain kata-kata tentangnya.


Akulah kata. Aku ingin membebaskan kata. Tapi sejak kecil kata-kata sudah menjadi tawananku sepanjang hidup. Ialah budak belia yang aku kawin paksa untuk memperbudaknya dengan kemesraan. Budak yang aku menangkan dalam peperangan dahsyat antar para pemikir, linguis, filosof, juga para pembantu rumah tangga, dalam arena politik, sosial, dan budaya. Kata-kata selalu melayani aku untuk berdusta tentang barbagai hal, politik, sosial, ekonomi, budaya, perempuan, tapi aku paling suka saat memperdayanya dalam hal nafsu birahi. Bukan apa. Tapi saat aku menggunakannya dengan penuh birahi, kata-kata sudah terbebaskan dengan sendirinya. Ia bukan lagi sebuah budak. Ia bebas mengelana dalam kenikmatan birahi, yang kita nikmati bersama tanpa status tuan-budak.


Pernah suatu kali ada seorang profesor bahasa yang menayakan padaku, saat aku menjadi mahasiswa, “Apa itu kata?” “Kebohongan bersama!” jawabku spontan, tanpa perlu membaca berbagai referensi. Tapi kau tahu, semua temen-temenku tertawa menggelikan. Juga diikuti oleh tawa pembenaran sang professor. Menurutku sang professor pasti bodoh. Tidak mengerti kata, apalagi menggaulinya di atas spring bed mewah. Ia tidak tahu rasanya bercinta dengan kata.


Aku tidak peduli. Akulah kata. Aku berhak memberikannya otonomi, kebebasan, kerangkeng rantai, atau memberikannya makan sayur asem pada siang hari. I love you kata; I hate you kata.


Akulah kata. Setiap kali aku kesepian, yang datang pertama kali pada ku adalah bukan pacarku, bukan ibuku, bukan temenku, bukan sanak saudaraku, juga bukan dosen atau Tuhan aku. Tapi perempuan kata dengan lemah lembut membelai jiwa-jiwaku dengan penuh kasih sayang, sehingga aku meningis tersedu. Ini sungguh benar-benar terjadi dalam jiwaku. Saat itu aku sudah punya pacar, tapi mendadak ia memutuskan tali percintaan kami. Aku ngambek, dan mendiamkan diri dalam kamar yang sepi, tanpa pintu terkunci. Tidak ada yang peduli selain kata. Ia datang menghampiriku dengan senyum. Ia datang menggandakan diriku dengan berbagai kata-kata dalam imajinasi dan otakku. Ia menghiburku, juga menerorku untuk melupakan terkasihku, untuk selamanya.


Sejak saat itu aku menjadi manusia yang paling enggan berurusan dengan kata-kata. Puisi-puisi yang aku tulis sendiri, juga puisi-puisi penyair terkenal dunia yang aku terjemahkan tidak ada yang berarti bagi pacarku. Ia membelot dari cintaku. Katanya,” Maaf, aku sudah punya kekasih yang lain. Kita putus saja sampai di sini.”


Aku mencoba menghibur diri dengan menyalakan televisi, bukan membaca novel atau cerpen atau membaca koran dan majalah yang pasti menggunakan kata. Ternyata semuanya menayangkan masalah cinta. Sekali lagi mereka mengulang masalah kata-kata yang pernah aku ucapkan, juga perkataan para penyair dunia. Aku membenci semua itu. Aku mencoba mencari saluran televisi yang lain. Juga, lagi-lagi aku temukan acara berita yang menggunakan kata-kata. Sekali lagi, mereka pasti menyimpan dusta dalam berita ini, karena mereka menggunakan kata.


Akulah kata. Aku tidak pernah percaya dengan manusia yang menggunakan kata untuk segala aktivitasnya. Alasanku sederhana: kata-kata bukanlah yang sebenarnya. Ia adalah symbol yang dengan itu mereka sebenarnya meninggalkan yang aslinya. Dan di balik penggunaan symbol ini mereka pasti menyimpan maksud-maksud pendustaan. Aku membenci semua makhluk bersuara dengan kata-kata. Saat mereka berkata, aku akan berseru dalam hati, “PEMBOHONG BESAR!”


Besok, saat aku mati, aku tidak ingin manusia mengucapkan kata-kata bela sungkawa. Juga, aku tidak ingin mereka menggunakan mantra-mantra agama. Sekali lagi, aku tidak ingin mereka menggunakan kata-kata pada batu nisanku. Aku membencinya. Aku emoh, ogah. Aku hanya ingin mereka cuma berekspresi dengan wajah-muka mereka, kalau mereka masih mau memperdulikanku yang membenci mereka dan punya muka. Ya, meskipun wajah-muka mereka nanti adalah sebentuk sindiran sinis atau ejekan kecut terhadap ragaku yang kaku.


Aku, saat aku mampus dengan nafas terputus, hanya ingin mawar yang berkata padaku dengan semerbak harum yang dibawanya. Meski saat itu aku sudah tidak membutuhkan harum bunga, juga mungkin doa-doa. Tapi itu sudah cukup bagiku, pembenci kata.


Aku hanya ingin ini tertera pada nisanku: MATILAH KAU KATA!

Labels:

Monday, December 15, 2008

Kurban: Saat Manusia Kepepet


KURBAN, barang kali, adalah sebuah pengakuan yang ajaib, bukan mukjizat, saat semua ilmu dan semua usaha manusia tidak memadai. Pada saat itu manusia kepepet dengan nasibnya sedang segala perlengkapannya, rasionalitas, intuisi, dan hati tidak memungkinkan dan tak berguna. Dan yang tertinggal hanya korban (kurban) dalam balutan keyakinan bahwa itu perintah Tuhan, tidak lebih.


Kurban bisa terjadi saat yang tersisa adalah yang tercinta sekaligus penghabisan, yang dijadikan taruhan, media pencapaian. Di sini, kurban-kurban seperti unta, sapi, atau kambing, yang dilakukan oleh orang kaya, sepertinya tidak akan menyentuh momentum ketidakberdayaan manusia untuk berusaha dan yang dia punya hanya kurban. Kurban, sesuatu yang pada dasarnya tidak masuk akal, di luar jangkuan manusia, tapi harus dilakukan karena adanya keyakinan bahwa itu adalah perintah Tuhan. Dan kita dengan segala perlengkapan kemanusiannya , sepertinya, tidak boleh untuk menggunakannya.


Pada peristiwa kurban pertama yang dilakukan oleh Ibrahim terhadap anaknya yang tercinta, Ismail, semua peralatan dan pertimbangan manusia, etika, moral, rasionalitas, intuisi, dan sebagainya, tidak memadai. Bahkan, sebagaimana kita dengar dalam ceramah dan khotbah, sepertinya, manusia dilarang berpikir tentang tugas yang tidak masuk akal manusia itu. Tapi toh, Ibrahim tetap dengan niatnya untuk mematuhi Tuhan. Dia memberitahu anaknya perihal mimpi (wahyu)-nya dan menanyakan pertimbangan Ismail sendiri. Di sini, dalam dialog terkenal itu, kita seperti menyaksikan sesuatu yang demokratis. Ibrahim tampak tidak memaksakan kehendaknya pada Ismail yang akan menjadi kurban dari ketaatannya. Ismail juga menerima dengan kesabaran dan kebesaran jiwa—suatu sikap yang melampui umurnya. Tapi, adakah perintah tuhan itu sesuatu yang demokratis, dalam arti Ibrahim dan Ismail berhak memiliki pertimbangan untuk menolak atau melaksanakan?


Aku belum menemukan atau mendengar pertimbangan Ibrahim dalam berbagai ceramah dan khotbah. Ibrahim dan Ismail toh tetap dengan pertimbangannya: mimpi itu wahyu Tuhan, dan, barangkali, adalah naïf mengukur pertimbangan Tuhan dengan perlengkapan manusia seperti nalar, moral dan sebagainya. Ibrahim dan Ismail berangkat pada altar pengurbanan hanya dengan mimpi yang mereka yakini tanpa keraguan sedikitpun.


Yang dipegang oleh Ibrahim untuk menyembelih (kalau ingin lebih halus mengkurbankan) anaknya yang tercinta, Ismail, hanya mimpi atau katakanlah wahyu. Kita tahu, dengan wahyu itu Ibrahim menghadapi krisis: sebagai seorang bapak yang mencintai tapi harus menyembelih, sebagai seorang manusia yang, sepertinya, melanggar semua pertimbangan kemanusiaan. Tapi bukan dari dirinya semacam karena dia tak mampu berpikir untuk mencari solusi lain, keterbatasan fisik, dan sebagainya. Krisis itu datang dari tuhan yang pernah dicari dan dipertanyakanya secara rasional. Kita mungkin akan maklum jika yang menjadi penyebab krisis adalah kemanusian Ibrahim, yang sering kita dengar bahwa manusia itu daif. Tapi yang menyebabkan krisis itu Tuhan. Dan Ibrahim Cuma sekadar mengikuti sekenario Tuhan yang di luar jangkuan nalar manusia.


Ibrahim tampaknya tidak segarang dan tidak serasional pada saat ia mencari-mempertanyakan Tuhan itu sendiri, atau pada saat ia tidak yakin bahwa Tuhan bisa menghidupkan orang mati yang dicacah menjadi kepingan-kepingan kecil dan disebar ke empat penjuru angin dan Tuhan tetap bisa menghidupkannya kembali. Yang terjadi adalah, seorang Ibrahim yang percaya penuh dengan mimpinya dan keyakinannya pada Tuhan, dalam kepasrahan total.


Dalam hal kurban, Ibrahim sepertinya sudah insaf karena berbagai peristiwa di atas telah membuktikan eksistensi Tuhan dan kekuasaan Tuhan, sehingga tidak timbul berbagai pertanyaan. Katakanlah pertanyaan seperti berikut ini: masuk akalkan perintah membunuh-mengurbankan anak yang sangat dia dambakan dan dicintanya? Bermoral, beretika, dan berakhlakkah (dalam ranah manusia dengan manusia, bukan manusia dengan tuhan) jika dia benar-benar melakukan perintah itu? Untuk apa pengorbanan Ismail dilakukan dan atas dasar apa? Untuk membuktikan keyakinan dan kepatuhan-ketaatan pada Tuhan—dalam balutan kefanatikan dan sikap apriori? Atau sekadar perlunya Ibrahim menyadari ketakmemadainya sebagai manusia, ciptaan Tuhan yang paling sempurna (meski tak secara otomatis yang paling mulia)?


Jika semua perlengkapan kemanusiaan manusia, rasio, intuisi, etika, moral, dan sebagainya tidak memadai, hingga kita menyerahkan semuanya pada wahyu sedang kita tidak lagi mempunyai seorang nabi dan rasul, juga bukan nabi atau rasul, dan saat korban adalah momentum titik zenith krisis manusia, lantas pada apa kita berpegang dalam kondisi seperti Ibrahim,? Menunggu mimpi atau wahyu?

.
Para agamawan-ulama barangkali dengan enteng akan mengatakan: semua sudah terwahyukan dan manusia tidak akan memasuki area krisis yang dialami oleh Ibrahim-Ismail, juga Tuhan tidak akan memerintahkan hal-hal “seperti” yang Ia pernah perintahkan pada Ibrahim. Yang perlu dilakukan oleh manusia adalah yakin-pasti pertolongan Tuhan, sepanjang kita, manusia, taat pada perintahnya dan menjauhi larangannya. Dan kalau toh Tuhan memerintahkan hal seperti itu pada manusia, tuhan punya sekenarionnya sendiri dan pasti ada hikmah di balik semua itu.


Jika masalahnya demikian, yang dirayakan dalam peristiwa kurban bukan suatu tragedy kemanusiaan, seburuk, seterkutuk, sejelek, dan setidakmasuk akalnya semua itu dalam pertimbangan manusia. Tapi sebuah optimisme akan adanya pertolongan Tuhan—meskipun wujudnya barangkali seperti bom bunuh diri. Ya, pengakuan yang ajaib tentang pertolongan Tuhan dan ketakmemadainya manusia. Maka, menjadi logis jika kita bertanya: siapa yang mau mengakui dua hal ini: kediktatoran tuhan vs kelemahan manusia?

Surakarta, December 12, 2008