Tuesday, March 17, 2009

Batu Berpetir Ponari: Kesaktian Batu Atau Kesaktian Media?




Batu Ponari sakti bukan karena “berpetir”, tapi karena kesaktian media. Sebuah majalah nasional GATRA memberitakan seorang kakek, Maschan Incok Sunarya, berumur 69, yang mengantri selama tiga hari. Dia harus mengantri bersama sekitar 10.000 orang. Kenapa dia berani nekat pergi ke dukun cilik Ponari?

“Surya tertarik datang berobat ke Jombang setelah menonton berita di televise tentang “kesaktian” Ponari. Ribuan orang mengantre setiap hari untuk mendapatkan kesembuhan dari bocah ini. Panitia yang berjumlah 500 personel, terdiri dari aparat Polsek Megaluk, Polres Jombang, koramil, satpol PP, serta aparat desa sempat, kewalahan mengatur jalannnya pengobatan.” Judul tulisan itu:"Dukun Cilik Sugesti Batu Sakti Ponari”. Dan ajaibnya: semua televisi memberitakan Ponari, dan media cetak, dan media elektronik seperti internet!

Coba perhatikan penggalan kutipan langsung tersebut, terutama kalimat pertama. Di situ jelas tertulis bahwa yang “memaksa” sang kakek adalah sebuah perantaraan yaitu media televisi. Kalau dirasionalisasi kejadian batu sakti ponari tersebut akan seperti ini: pada mulanya adalah sebuah keanehan, “the unusual is news”, “what’s the different is news” (baca buku Dasar-Dasar Jurnalistik Radio Dan Televisi yang ditulis oleh J. B. Wahyudi terbitan Grafiti), coba-coba hal yang baru (batu berpetir! Satu dalam satu melenium!) mengakibatkan beberapa orang berkumpul, dan kemudian media menciumnya, sampai di sini sudah layak diberitakan (keanehan dan human interest plus magnitude), maka menjadi saktilah Batu Berpetir Ponari tanpa pernah media memberitakan orang yang pernah disembuhkan oleh batu tersebut (ini berdasarkan pembacaanku, kamu punya berita lain yang membukti bahwa ada juga orang yang sembuh secara ajaib dan diberitakan oleh wartawan?).

Dan memang permasalahannya bukan pernah dan mampu menyembuhkan atau memang terbukti sakti, tapi lebih karena media telah memberitakannya. Kalau kita berbicara media, kita sudah harus melepaskan beberapa unsur rasional, apalagi jika itu adalah media televisi. Kita tahu bahwa tayangan televisi kita hampir semuanya adalah irasional mulai dari iklan komersial produk, serial sinetron, bombardier infotaimen bahkan sampai iklan politik. Pemirsa kita sudah diindoktrinasi dan dijadikan sebagai penonton tanpa perlu mereka harus berpikir. Maka saat media memberitakan, sekali memberitakan dalam tayangan berita, pemirsa sudah langsung mendapatkan suatu pembenaran oleh tayangan berita.

Apa boleh buat, media, bagi kita, hampir tanpa kecuali, adalah “nabi-nabi” yang membawa risalah kebenaran. Media adalah penghubung dan sekaligus pembawa risalah kehidupan kita saat ini dan beberapa tahun bahkan beberapa abad ke depan. Media menjadi sumber informasi dari sekian banyak tangan reporter; kita tidak bisa langsung mengecek sumber utama berita. Kita tidak bisa bertanya kepada Ponari dan membuktikan bahwa batu itu benar-benar terkena petir secara ilmiah. Apalgi kalau harus bertanya satu persatu pada setiap pasien Ponari untuk membuktikan keampuhan Batu Berpetir. Dan sayangnya lagi, atau tragisnya lagi, para dokter kita pasti akan langsung memvonis tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau sebongkah batu bisa menyembuhkan (maklum berpendidikan ala dokter barat bukan dokter jebolan gunung Slamet!). Kita terpaksa dan dipaksa menerima berita tanpa pernah bisa mengecek (memverifikasi) sendiri. (Tentu saja kita kita tidak terpaksa percaya bukan?).

Padahal, seperti dikatakan oleh David (??? Sori lupa namanya) dalam bukunya Berita Di Balik Berita bahwa berita koran yang jatuh di depan pintu kita, adalah berita yang dikerjakan secara terburu-buru. Ini masih koran yang notabene mempunyai waktu sampai sore bahkan sampai malam hari. Lalu bagaimana dengan televisi yang, seperti menjadi sifat dasarnya, ingin lekas-lekas memberitakan secara ekslusif dan langsung dari tempat kejadian. Tentu saja hal ini bisa mengurangi kedalaman dan proses verifikasi berita.

Memverifikasi berita adalah perbuatan dan laku yang tidak masuk akal alias irasional bagi masyarakat informasi. Belum lagi, psikologi pasien tentu saja adalah sebuah keadaan jiwa-mencoba, berikhtiar, nothing to lose, toh belum ada seorang pun yang mati setelah berobat ke Ponari. Bandingkan dengan orang yang mati setelah berobat ke dokter dengan pendidikan ala Barat itu, jumlahlah tidak kehitung! Malpratekteklah, ini-itulah! Belum lagi mahal dan mengerikan: jarum tajam, bau tempat dan obatnya seperti mayat beberapa bulan dan memang beberapa obat dibuat dari mayat! Klop sudah.
Maka berbondong-bondonglah mereka, ngalap berkah Batu Berpetir Ponari. Bukan, tapi kotak ajaib televisi!

Surakarta, 13 Maret, 2009