Monday, February 23, 2009

Pelangi Rasa, Hati, Cinta Dan Badai


Entah apa maksudnya, Nidji pada ulang tahunnya yang entah ke berapa (ke-7?) mengusung tema “Pelangi Cinta”. Barangkali sederhana alasannya, sebagaimana banyak dipahami orang: “cinta berjuta rasanya”. Benarkah?


Aku punya sedikit pengalaman yang berarti tentang pelangi. Pernahkah kamu benar-benar melihat pelangi yang melengkung dengan pendaran warna-warnanya, dengan kedua kornea matamu? Orang yang tinggal di kota, juga kamu, jarang melihat pelangi secara langsung. Paling-paling melalui gambar, yang diperlihatkan oleh guru TK-nya dulu atau melihat gambar pelangi entah di mana.

Dan aku cukup beruntung tentang hal ini, aku dulu sering melihat pelangi pada waktu kecil, karena aku anak yang pernah tinggal di desa. Desa dengan pohon-pohon dan sawah yang luas membentang adalah tempat dimana setiap kali hujan datang dan matahari menyusul butir-butir hujan yang bening nan jernih, yang kebanyakan sudah menyentuh tanah-tanah dan menjadikan tanah memiliki kekuatan ajaib Tuhan untuk menghidupkan rerumputan, mengairi tanaman para petani, juga pada akhirnya memberi makan sapi-sapi, kerbau, dan kambing…

Pelangi, bagi aku pada waktu itu, tidak ubahnya sebuah keajaiban dunia yang belum tercipta oleh manusia. Sesuatu yang tidak akan manusia gapai meski manusia pernah menginjak bulan. Pelangi ada untuk menghibur anak-anak desa setelah mereka berhujan-hujanan menantang butir-butir bening sampai menggigil kedinginan. Di depan beranda rumah, setelah hujan mereda, datanglah pelangi ciptaan alam di atas langit untuk menghibur mereka.

Imajinasiku pada waktu itu terbatas, juga penafsiranku tentang pelangi. Orang-orang di kota barangkali bisa lebih fasih menguraikan hal ini dengan tafsir-tafsir ilmiahnya.

Tapi sejak aku sedikit berani berpikir dan berkhayal, juga dibantu oleh Isaac Newton dengan teori Cincin Newton tentang pelangi dan warna, walau sudah dipatahkan oleh sang jenius abad ke-20 Albert Einstein, yang sampai sekarang otaknya masih ada —karena dia menghibahkan pada sebuah lab di Amerika—, diteliti, dan jadi mitos, ada perihal lain pada pelangi.

Aku agak lupa tentang kedua teori dua orang itu. Mereka menurutku adalah makhluk yang penuh dengan daya imajinasi, yang bekerja mendahului otak kiri mereka. Tapi satu hal yang aku tahu tentang pelangi: ia datang setelah badai. Ya, pelangi datang setelah badai hujan (mungkin juga salju) dan matahari menyentuh butir-butir air bening yang beterbangan di langit yang masih diselimuti awan kelabu. Pada pertemuan antara matahari dan butir-butir air bening tercipta pelangi yang memantulkan beraneka spectrum warna matahari. Dan, kita menyebutnya pelangi dengan perasaan bahagia, yang melekat di hati.

Dalam melihat pelangi di alam raya kita sering melupakan badai, sang pembawa butir-butir air, yang menjadi medium pengejawantahan spectrum warna matahari. Kita terfokus melihat warna-warni pelangi. Dalam kehidupan, terutama cinta, kita juga hanya melihat warna-warna tapi sebagai sebentuk badai:

“akh...hidup...lima menit yang lalu biru, sekarang abu, dan sedetik kemudian mungkin hitam...kelam...sekelam malam....
begitu pula gejolak perasaan ku....sepuluh menit lalu haru biru, setelah itu kuning tanda perasaan mulai kering, lalu hijau kacau, merah marah, ungu nafsu...”(D.A.)

Dan sering, penglihatan kita berakhir dengan dikotomis: sedih dan bahagia. Adakah yang salah dengan cara kita melihat pelangi yang berpendaran di alam hati? Manusia, sepanjang yang aku ketahui sejak aku lahir sampai sekarang, adalah makhluk yang tahu —tapi tak hendak mau berpenyadaran— tentang pelangi rasa di hatinya, yang berpendar melengkung seperti pelangi alam. Tapi sering-sering mereka pada akhirnya buta warna: yang mereka temui adalah sering hitam dan putih, sedih dan bahagia, benar dan salah…

Adakah yang keliru dengan semua ini? Entahlah. Orang arab barangkali sudah tahu dari dulu, maka dari itu, untuk medium perpendaran cahaya jiwa, layaknya butir-butir air di langit yang menjadi medium spectrum warna matahari, mereka menyebutnya qolbu, yang-berubah-ubah warna. Dan kita menyebutnya hati, yang jika diucapkan atau ditulis berulang, akan berbentuk peringatan, kewaspadaan, dan penunjuk kesehatan: hati-hati!

Surakarta, Hotel Fortuna, February 22, 2009

0 Comments:

Post a Comment

<< Home