Thursday, February 12, 2009

Kebohongan, Tontonan, dan Diri

SAAT kita menonton film dan seorang aktris atau actor berakting dengan baik bahkan nyaris sempurna, yang membuat kita terkadang tertawa, kecut, menahan nafas beberapa menit, haru, tawa, tangis, dan sebagainya, betapa kita, manusia, sungguh pandai memerankan hidup, menjadi orang lain, dan tentu saja semua itu adalah pura-pura (bisakah dikatakan sebagai kebohongan?). Kita sadar dan menyadarinya: Cuma sekadar acting.

Namun, kita yang dibuat menangis, haru, dan sebagaianya, tidak pernah menyangkal bahwa itu semua hanya kebohongan, meski ia timbul dari proses kepura-puraan dari sang pemeran. Di sini, ada semacam pemisahan antara keduanya: kebohongan dan kepura-puraan. Kita, meski demikian, bahkan sama-sama menikmatinya.

Ya, kita berada di zaman yang menghargai kepura-puraan. Kita memeberi penghargaan pada mereka yang bisa berakting (perpura-pura?) dengan mewah dan meriah. Namun kita tidak akan pernah menghargai orang yang pandai berbohong.

Memang ada beda antara berakting dan berbohong. Keduanya seakan saling menjauh meski tidak saling bertolak belakang, dalam sebuah jarak yang jauh. Kita tahu semua itu.

Namun kita sering alpa bahwa manusia adalah makhluk yang peling pandai-cerdik berbohong. Terkadang saya berpikir bahwa berbohong itu butuh, dan kita bisa bahkan mampu menjalaninya dengan sempurna dan setelah itu menikmatinya.

Ada yang bilang antara berakting (berpura-pura), berbohong, dan jujur hanya dibatasi oleh niat dalam hati. Dan kita tidak pernah tahu siapa yang berakting, berbohong, dan berlaku jujur saat semua itu dijalankan dengan sepenuh hati dan penjiwaan yang totol. Dan sering, akulah pembohong itu, salah satunya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home