Thursday, February 12, 2009
Awas, Jangan Demo!
(Mengkritisi Kegagalan Gerakan Mahasiswa)Awas, jangan demo: bayangkanlah bahwa apa yang kamu teriakkan di tengah jalan tidak memekakkan telingan orang yang kau demo. Jalanan menjadi tempat sunyi, meski setiap detik kamu mendengarkan bunyi mobil lalu lalang. Tidak ada yang perlu lagi kamu teriakkan di tengah jalan. Suaramu bahkan telah serak, lalu sedikit demi sedikit menghilang. Sedang kata-katamu , setalah keluar dari megafon, menguap ditelan bising mobil.
Kau duduk di pinggir trotoar jalan, minum es teh yang sudah tidak dingin lagi. Kamu kelelahan. Dan baru pertama kalinya kamu merasakan sesuatu yang telah lama kamu abaikan: ternyata udara kota di pinggir trotoar tidak sejuk bahkan berbau bensin, got, dan berbagai sampah manusia kota. Broooookk. Prakkkk. Kepalamu tiba-tiba berada di bawah tanah. Copot? Kamu melihat sepatu lars petugas.
Praaaakkkk. Terdengar suara sengau nyeri yang aneh lagi. Kali ini seorang petugas roboh terkena batu bogem besar dari seorang mahasiswa. Heehhhh, ada apa semua ini. Praaak. Toosss. Broookkk. Praaakk. Toooossss. Braaakkk. Berkali-kali. Bertubi-tubi.
Siapa yang menang? Kalaupun ada yang menang. Pentingkah menang?
Ini tulisan sebenarnya mau nulis apa? Baiklah kita fokus pada kegagalan gerakan mahasiswa p terkait engesahan UU BHP yang hampir semua elemen gerakan mahasiswa menentangnya. Ada satu hal yang paling mendasar dari kegagalana ini. Yakni, penekanan yang terlalu fokus pada demontrasi sudah tidak lagi efektif dan tidak memberikan opini public yang menyadarkan. Bahkan sebaliknya, persitiwa di atas sering dilakukan oleh mahasiswa yang merugikan bagi citra gerakan mahasiswa. Mahasiswa harus menyudahi bentuk gerakan berbasis pada aksi (demontrasi).
Mahasiswa harus menyudahi bentuk gerakan berbasis pada aksi (demontrasi). Dan beralih pada gerakan yang mengedepankan pembentukan opini public yang berkerakyatan. Sampai di sini, gerakan mahasiswa mau tidak mau harus menjadi sebuah gerakan yang mengarah pada gerakan berbasis pemikiran. Pemikiran-pemikiran ini harus menyebar dalam berbagai media, atau gerakan mahasiswa harus memiliki corong (media) yang kuat dan sering dikutip oleh berbagai media nasional dan local.
Advokasi atau perjuangan untuk melawan RUU BHP adalah contoh nyata kegagalan kerakan berbasis aksi. Mahasiswa berteriak lantang di boulevard kampus, trotoar, bahkan di gedung-gedung DPR/D tapi tak seorangpun mendengarkan semua ini. Demontrasi yang dilakukan secara sporadic di berbagai kampus meski secara kuantias banyak tapi secara kualitas tidak berarti apa-apa. Demo-demo itu bahkan tidak mendapat dukungan dari mahasiswa dalam kampus sendiri. Hal ini bisa dipahami karma gerakan mahasiswa tidak menang dalam opini public bahkan di tingkat bawah yang menjadi korban dari RUU BHP.
Di sini, gerakan mahasiswa harus kembali pada bentuk gerakan berbasis pemikiran untuk membentuk opini public yang kuat dan merakyat sekaligus merata. Awas, jangan demo.
Mungkinkah, semua ini dilakukan oleh gerakan mahasiswa di tengah menjamurnya berbagai media dan LSM? Memang berat. Tapi bukankah mahasiswa pernah memiliki media yang cukup kuat katakanlah seperti Mingguan KAMMI? Yang menjadi pertanyaan genting adalah merumuskan platform gerakan pemikiran yang kuat dan membentuk jaringan antar gerakan yang berbasis di kampus-kampus. Teknologi sudah menyiapkan semuanya, tinggal kesungguhan dan momentum yang tepat. Kita tidak akan lagi menghadirkan gerakan berbasis aksi tanpa adanya dukungan public yang kuat. Kita tetap memerlukan aksi untuk saat momentum mengharsukan, seperti pada gerakan ’65 dan 98.
Surakarta, December 18, 2008
0 Comments:
Post a Comment
<< Home