Sunday, July 13, 2008

Angka Nasib


“Dunia ini sebenarnya diciptakan berdasarkan kekuatan angka-angka”

Phytagoras

Secarik lembaran menakuti aku. Isinya mulai dari beberapa huruf sampai angka-angka yang sulit aku mengerti. Namun dia mampu mengusik aku yang lemah, naif dan malas. Menurut orang awam, akademisi, ilmuan yang ilmiah sampai dukun yang klenik, nasib aku di masa depan―juga beribu-ribu teman senasib-seperjuangan aku― sangat tergantung dan ditentukan oleh angka-angka itu. Semua percaya itu. Angka-angka itu mulai dari cuma angka nol sampai yang tertinggi empat. Banyak orang yang mengejar angka empat. Aku tidak tahu kenapa angka itu yang dijadikan angka tertinggi dan diperebutkan.

Sejarah angka telah melahirkan seorang filsuf angka/matematik kaliber dunia seperti Pythagoras. Sedangkan di daerah gurun pasir Arabia yang dihuni orang primitive, angka cuma sampai tujuh. Pada jaman modern orang lebih mengenal angka sebagai sesuatu yang tidak terbatas. Bahkan manusia modern tidak cukup punya nama jika angka itu di perpanjang. Seakan semua masuk dalam teori relativitas Einstein secara natural. Namun bisakah angka melahirkan tafsiran masa depan secara realistis?

Aku tidak begitu percaya jika tuhan menentukan nasib aku di atas rentetan angka. Memang tuhan terkadang memerintahkan hambanya, kalau orang Islam maka Dia memerintahkan pada mereka untuk menjalankan sholat lima waktu; dalam rakaat sholat ada yang menunjukkan angka empat sampai dua. Aku tidak pernah tahu kenapa dengan angka-angka itu. Aku tidak terlalu mempertanyakan. Apalagi mengajukan hak interpretasi karena kata para ilmuan agama, itu hak prerogatif tuhan bukan manusia.

Tapi bagaimana jika manusia ikut-ikutan memegang hak prerogatif tuhan? Berhakkah manusia yang untuk kelahirannya saja tidak bisa menentukan dari rahim ibu siapa dia akan muncul melihat dunia pertama kali? Tapi hidup penuh dengan saling mengklaim. Semua dengan penuh klaim kebenaran. Semua seakan berjalan di atas rel kebenaran. Lalu kenapa mereka sangat percaya dengan seonggok angka-angka?

Angka mitos dan angka pasti

Angka itu pasti. Begitu guru matematika aku dulu, saat menjalaskan pelajaran menghitung. Angka itu mitos dan ilusi. Begitu kata aku saat merenungkan angka sebagai representasi dan tafsiran nasib masa depan aku. Masa depan dengan segala kegelapan dan ketidakpastiannya adalah ilusi. Dia bukan tambahan, perkalian, pengurangan ataupun pembagian.

Lebih jauh angka bukan masa depan. Dan juga angka bukan teleskop futurologistis yang bisa menerawang ke alam masa depan. Mereka yang percaya berargumen dengan realitas masa kini bahwa angka-angka itu sebuah cermin diri: perilaku, prestasi, gengsi, bahkan keburukan, kenakalan lebih jauh kenaifan. Mereka berasumsi bahwa sekarang adalah cerminan masa depan. Aku pun berargumentasi: tapi bukankah setiap cermin selalu memutar-balikkan realitas pantulannya. Tangan kanan berganti tangan kiri. Dia tidak pernah bisa memantulkan realitas horisontal. Dia hanya bisa memantulkan realitas bayangan vertical dalam kekekalan horizontal. Jika dilihat secara seksama pantulan cermin sebenarnya adalah pseudo-reality, realitas palsu.

Metamorfosis angka

Angka itu multi-rupawan. Dia bisa mengubah diri menjadi jabatan tinggi, lembaran rupiah, kekuasaan, keagungan dan sebagainya. Mungkin Pythagoras tidak bisa membayangkan tentang evolusi angka seperti yang terjadi sekarang. Angka begitu keramat, sakti dan unpredictable. Semua tersihir oleh angka lebih dari seorang matematikawan.

Sekedar contoh kecil, keponakan aku, anak TK menadapatkan hadiah yang tidak terbayangkan oleh hayalan imajinatif anak kecil, boneka Barbie yang berpakian manusia modern. Padahal anak kecil selalu menirukan orang tuanya tentang anak kecil, tapi kali ini tidak. Boneka tersebut begitu dewasa melebihi si empu yang akan dia jadikan idola panutan.

Saat aku bertanya pada ibu anak tersebut, apakah angka itu sangat menentukan masa depannya? Dia menjawab dengan rasa ragu dan sedikit tawa. Sekali lagi saya ajukan pertanyaan sama untuk mendapatkan jawaban yang pasti. Dia tidak langsung menjawab pertanyaan saya, namun jawabnya kemudian, “Dengan anak saya senang, itu sudah cukup.”

Topeng angka

Seorang cerdik-pandai tidak akan bisa memastikan masa depan berdasarkan angka-angka atau nomorologi: ilmu yang digunakn untuk meramal keberuntungan atau kesialan seseorang berdasarkan angka. Bahkan Daniel Golemann menyatakan dalam bukunya yang fenomenal, Emotional Intelligence, bahwa angka-angka yang disandang oleh para penuntut ilmu di universitas unggulan cuma beperan 10 % dalam penentuan keberhasilan masa depan.

Kenapa banyak orang yang mengandalkan angka sebagai tolok ukur keberhasilan masa depan? Apakah benar kita kembali pada jaman nenek moyang kita, dimana dalam menentukan kegiatan atau aktivitas selalu berpatokan pada angka-angka terutama angka ganjil. Mungkin kehidupan semakin ganjil. Aku kuatir semua itu cuma topeng penghibur. Topeng yang akan mengaburkan wajah aku yang sebenarnya. Wajah aku yang jelak sangat tidak diharapkan ditutupi oleh topeng dusta. Biarlah wajah ini apa adanya, real face.

Aku cuma manusia yang ingin “aku berfikir maka aku ada” atau aku berkarya maka aku berjaya setidaknya untuk ukuran yang aku mampu. Mungkin Pythagoras benar. Bisa juga salah, namanya juga manusia. Aku juga manusia.

Labels:

Thursday, July 03, 2008

Hantu-hantu Mahasiswa

Kematian, dalam pandangan beberapa mahasiswa, justru semangat yang tak pernah mati. Aku membayangkan, jika seorang mahasiswa mati (Maftuh Fauzi, sekadar contoh yang mendapatkan tempat di hati sebagian mahasiswa baru-baru ini dan dimaklumkan dalam sepanduk[di UNS]), ketika atau setelah berdemo, saat itu juga ia sudah tidak mati lagi. Ia seakan kekal, menjadi hantu-hantu yang akan bergentayangan memompa semangat kawan-kawannya yang lain. Sang kawan lalu berseru lirih dan dalam, “Perjuanganmu akan kami teruskan, kawan!”

Kematian mahasiswa lebih menyentuh jiwa manusia (setidaknya bagi mahasiswa), lebih bergemuruh dalam benturan-benturan beribu kematian lainnya, bahkan lebih mengehentak dari pada maklumat Nitetzsche di pasar-pasar, “Tuhan telah mati.” Di Indonesia, penguasa terpelanting dari kursinya yang kokoh.

Ada semangat yang dikobarkan oleh nilai-nilai dalam kematian. Namun justru ketika kematian membawa nilai, saat itu juga kematian seakan membentangkan keangkuhan dan kekuasaannya kepada kita.

Kematian menjadi pintu menuju ke situ. Orang yang mati, jasadnya memang tidak akan pernah memberikan semangat dengan verbal, seraya berorasi menyemangati kawan-kawanya dengan lantang. Ia sudah tiada, tapi bukan tidak ada. Kematian menjadi pintu yang, mungkin, sangat dibutuhkan oleh manusia, para mahasiswa. Di sini si mayit menapaki eksistensinya: ia sungguh ada dan menggugah. Sumung ning isi. Ia persis seperti pintu untuk ruang-ruang memompa semangat bagi perjuangan berikutnya: dan ia halte, sekaligus. Dan untuk itu perlu ceremonial yang mewah, mungkin, seperti adat orang Toraja.

Di situ kematian menjadi tragedy yang manis dan orang tidak perlu bersikap sinis. Puluhan mahasiswa mati setelah berteriak “Hidup Revolusi!”, “Tuntaskan Reformasi!” Namun bukan kata-kata itu yang melambungkan semangat muda mereka, melainkan kematian kawan-kawan mereka. Soekarno dan Soeharto turun terpelanting dari kursinya. Puluhan media dan jutaan manusia merayakannya.

Adakah kematian semacam kurban (berarti “dekat” kepada Tuhan dari bahasa Arab, yang ada dalam tradisi agama Ibrahimi seperti dalam Islam) dan saat sang penguasa lalim maka ia diperlukan bahkan kewajiban seperti yang tidak bisa dihindari dalam revolusi? Atau jangan-jangan selama ini yang terjadi hanya ritual yang menghendaki tumbal, semacam pendekatan terhadap iblis dan setan di atas altar yang kita anggap suci?

Di sini kurban dan tumbal sulit dibedakan karena keduanya meniscayakannya sebentuk korban yang harus mati. Kurban memang sudah diganti dengan domba, lembu dan onta, tapi apakah Ibrahim dulu akan mengelak hendak mengkorbankan anaknya, dan bukan seekor domba?

Labels: