Tuesday, March 24, 2009

Menikmati Diskrimanasi Lelucon



Lelucon, banyulan, komedi, dan sejenisnya, bagi sebagian besar kita, barangkali adalah pemantik tawa yang kita nikmati bersama, meski pada saat yang bersamaan para pemain berlaku diskriminatif berbasis tubuh.

Diskriminasi lelucon berbasis tubuh memang berbeda dengan beberapa diskriminasi berbasis gender, ras, ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam diskriminasi lelucon perbedaan tubuh ganteng-jelek, cantik-buruk rupa, sebagai dasar dalam diskriminasi, lebih sebagai sebuah pemantik tawa. Tubuh, dalam lelucon ini, dijadikan sebagai bahan sekaligus arena yang bersifat merendahkan lawan main.

Hal ini bisa kita lihat pada beberapa acara televisi swasta yang menyiarkan tayangan komedi (situasi). Sepanjang pengamatan saya pada beberapa tayangan komedi tersebut banyak terjadi pendiskreminasian pada pemain yang memiliki tubuh tidak proporsional untuk ukuran masyarakat umumnya: muka kotak, hidung tidak mancung, gigi tidak rapi dan “menonjol”, kulit tidak putih atau kecoklatan dan kehitam-hitaman, badan tidak tinggi, yang mengarah pada paras ketidaktampanan. Bisa dibilang sebentuk tubuh yang sangat “Indonesia”.

Biasanya pemain yang buruk rupa akan menjadi objek bulan-bulan dan bahan olok-olokan, dari lawan main yang lebih tampan atau lebih cantik seperti “muka lu kayak monyet!” , “mana ada cewek/cowok yang mau sama lu, muka babak belur en ancur kayak gitu!” dan seterusnya. Biasanya ucapan dibarengi tindakan pemukulan fisik atau pengambilan gambar close up pada bagian muka yang diejek. Bahkan sering pemain yang buruk rupa tidak mendapatkan pelayanan yang selayaknya dan keberadaannya dianggap tidak ada.

Dalam beberapa komedi yang kita saksikan di layar kaca, para pemain yang bertampang “minim” biasanya menjadi pihak yang kalah, tersingkir, sial dan apes. Demikian juga nama mereka seakan harus mencerminkan muka mereka, maka kita bisa menyebut nama seperti Budi Anduk yang terus membawa anduk untuk menyeka mukanya yang berkeringat, Udin Penyok, dan sebagainya. Bahkan komedian Budi Anduk tidak boleh mengganti namanya dengan yang “khusus” untuk orang ganteng seperti nama Andre oleh temen-temen.

Pengecualian mungkin hanya pada acara parodi politik. Memang parodi politik sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tayangan komedi lainnya mulai dari Didin Miing dalam kelompok Bagito, Republik BBM dan Republik Mimpi yang dipopulerkan oleh Efendi Ghazali, sampai pada Democrazy.

Tayangan komedi kita sebenarnya tidak beranjak jauh sejak kemunculan komidian Ateng, Srimulat, trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), bahkan yang terbaru angkatan API (Akademi Pelawak Indonesia), dan presenter kondang Tukul Arwana. Masih dengan bahan diskriminasi berbasis tubuh.
Diskriminasi Estetik

Kita adalah bangsa yang sudah dari dulu akrab dengan lelucon. Lelucon bisa kita telusuir jejaknya mulai dari cerita wayang dalam segmen gara-gara dan tokoh Cangik dan Limbuk, seorang ibu yang kecil dan anak perempuan yang bongsor dan tentunya para punakawan. Ikonografi dalam pewayangan memang tidak bisa dengan sendiri dianggap diskriminatif. Dalam pewayangan ikonografi Semar, pimpinan sekaligus ayah para punakawan, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah diskriminasi karena memiliki pemaknaan tersendiri terutama dari bentuk badan dan tatapan mata yang sayu.

Ditambah, para dalang jarang yang menonjolkan lelucon dari bentuk tubuh, lebih pada isi ucapan dan petuah-petuah yang bijak dan terkadang menyentil para penonton.
Namun secara umum, ikonografi para tokoh gara-gara adalah sebuah bentuk diskrimianasi estetetik. Sebuah diskriminasi yang seakan tabu untuk melucu kalau mukanya bagus dan sebab itu para tokoh gara-gara layak melakukannya dan menertawakan diri sendiri dan juga tuan-tuan mereka. Maka kita tidak pernah menonton adegan melucu dari para kesatria dan dewa. Sebuah diskrimanasi yang tidak kita anggap. Diskrimanasi ini, sebagaimana dikatakan oleh Anthony Synnott (1993), “tersebar begitu luas, seakan-akan telah menjadi sebuah norma budaya sendiri; dan diskriminasi ini diterima begitu saja seakan-akan tidak ada”.

Maka, bukan hanya dalam bahasa, laku tawa menghilangkan subjek seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad (2008), “Aku tertawa, maka aku nyaris tidak ada”, tapi juga dalam laku sosial. Namun ada beda jauh antara dua laku ini. Yang pertama menghilangkan subjek dan merayakan keterpelantingan bahasa, sedangkan yang kedua menghilangkan ketidakbertanggungjawaban subjek dalam perilaku diskriminatif dalam ranah sosial. Yang pertama hendak tidak mengacu pada apapun, yang kedua jelas mengacu pada objek muka (tubuh) yang buruk, namun masih menyisakan subjek yang berperilaku diskriminatif tanpa sadar.

Maka kita tidak pernah menyadari apalagi memberontak melawan sikap diskriminasi ini. Kita seringkali menikmati diskriminasi, dan kita tertawa, lalu nyaris tidak ada.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home