Thursday, February 12, 2009
Catatan Pembacaan Ekspose Ekonomika
(Buku yang ditulis oleh Sri-Edi Swasono)Apakah kesejahteraan social sama dengan dan mengharuskan bentuk pemerintahan Negara persemakmuran dan untuk itu disusun system ekonomi pancasila sebagai dasar moralnya (meski ada beberapa dasar religiusnya)? Kalau saya lihat system ekonomi pancasila pada tataran praktis, system ekonomi pancasila lebih mengarah pada system ekonomi Negara persemakmuran, dan dalam hal ini tidak banyak bukti bahwa system Negara persemakmuran berhasil menyejahterakan rakyat sebagaraimana banyak kita temui pada Negara-negara Eropa Timur, dan sebaliknya kita menyaksikan sebuah masyarakat berkelimpahan pada Negara dengan system ekonomi pasar bebas yang kapitalistik (meski sudah tidak murni lagi).
Apakah system ekonomi pancasila murni kesadaran bentuk kesadaran intelektual atau ada pengaruh dari politik hegemonic Orde Baru Soeharto yang menjadikan pancasila sebagai satu-satunya dasar kehidupan social-politik (ekonomi)?
Kenapa ekonomi pancasila tidak digunakan pada masa Soeharto, yang sangat “mengagungkan” pancasila, tapi malah memilih menggunakan system pasar bebas yang kapitalistik (kroniisme)?
Kalau kita membaca lebih teliti lagi dasar-dasar argumentasi pembentukan system ekonomi pancasila kita tidak menemukan hal-hal yang signifikan dari para pemikir ekonom pancasilais kecuali pencocokan pemikiran mereka pada alam pemikiran barat yang menentang system ekonomi klasik (kecuali pada Hatta meski pada saat dia menulis belum dikenal paham strukturalisme), atau, dengan kata lain, hanya sekadar perbedaan artikulasi? Di sini saya menyangsikan, pada perahgraf kedua di atas, apakah ini murni sebuah bentuk kesadaran intelektual atau sekadar siasat untuk bisa diterima oleh sang penguasa (Orde Baru).
Saya bukan hendak menyangsikan tentang system ekonomi pancasila yang dicetus oleh para ekonom kita. Tapi sebagai sebuah pembalajaran berkritis. Saya juga akan berkata: kita hidup pada sebuah masyarakat yang sungguh sangat abai pada para pemikir-pemikirnya sendiiri untuk mengapresiasi ide-ide mereka; kita memproduksi lumayan banyak pemikir, meski kita sering menghitungnya dari awal kebangkitan nasional, tapi kita lebih banya memproduksi sikap-mental inlander pada pemikiran anak bangsa kita. Kita seakan berkata: ‘kita cukup mengapresiasi pemikrian para pemikir sendiri, tapi kita ogah memakainya. Kita lebih menyukai pemikiran luar negeri, pemikiran impor sebagaimana kaos, sepatu, topi, (semua kebutuhan hidup sejak kita bangun sampai kita banyn lagi)…’
0 Comments:
Post a Comment
<< Home