Monday, November 10, 2008

Narasi Ekologi

“Adalah kehadiran manusia,
yang menaruh kepentingan atas adanya makhluk yang lain”
—Dennis Diderot

—1
Narasi ekologi adalah interupsi. Ia hadir dalam kehidupan manusia yang sibuk dengan diri manusia. Manusia yang sibuk mempertanyakan diri sendiri. Manusia yang sibuk mengatur diri manusia. Manusia yang sibuk mengurus perut manusia. Manusia yang sibuk memandang manusia. Dan hutan, pohon-pohon yang ditumbangkan? Siapa peduli!?
Narasi ekologi adalah interupsi sejenak dari pemikiran panjang manusia tentang manusia, oleh manusia, untuk manusia. Sejak manusia bisa berpikir, hal pertama yang dipikirkannya adalah kenapa dia bisa berpikir, bagaimana dia berpikir, untuk apa dia berpikir dan apa yang seharusnya di peikirkannya. Untuk membuktikannya, tidak perlu dengan mendatangkan Rene Descartes untuk mencetuskan slogan filosofis terbesar, tercanggir dan termashur: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tidak perlu mendatangkan Martin Heidegger untuk mendekonstruksi besar-besaran sejarah pemikirna manusia: aku ada maka aku berpikir. Semua sama: berpikir tentang manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Bukankah itu yang selalu dan selalu kita pikirkan? Dan hutan, pohon-pohon yang dibakar dan dirobohkan? Siapa peduli!
Kita mendengar pengumuman besar, maklumat akbar, seakan ia adalah tiupan terompet penanda kiamat: Akhir Sejarah, dari Francis Fukuyama . Semua terperangah, kaget dan geregetan, kok!, dan semua pemikir sama-sama membantah dengan sedikit pengecualian. Kata Fukuyama, kini akhir sejarah, yang ditandai dengan kemenangan ide-ide barat: liberalisme, demokrasi, dan pasar bebasnya. Mereka dan kita manusia, tentu saja, takut akan kehilangan lahan subur spekulasi dinamika perpikiran mereka-kita. Mereka-kita, para manusia, sepertinya, ada semacam kesengajaan umum untuk tidak berpikir, seandainya pohon-pohon tumbang satu-satu, hutan-hutan menyusut dan menghilang, air lautan meningkat, lalu hendak berkata: inikah barangkali akhir sejarah yang kita abai atasnya semala ini.
Narasi ekologi adalah interupsi sejenak dari, seperti kata Samuel P Huntington, konflik-konflik besar, benturan peradaban (Clash of Civilization). Inti semua ini adalah manusia, yang ditunggangi oleh kebudayaan yang berbeda, melawan manusia, homo homini lupus. Mereka-kita tidak akan pernah berpikir untuk melawan alam, atau alam akan melawan kita semua. Tidak. Pikiran seperti itu, pada zaman sekarang, adalah masih pikiran naïf seorang pemimpi di siang bolong yang masih perlu menyalakan lampu berjuta watt untuk membangunkannya.
Narasi ekologi adalah interupsi dalam kesibukan manusia yang memandang dunia dengan alat pembesar ilmu pengetahuan dan yang dia temukan: kebesaran manusia. Lahirlah berbagai pemikiran yang tajam, gerakan kesenian patung, lukisan, sastra, teknologi, film dan sebagainya. Semua mengabsenkan diri dari alam, pohon-pohon. Dan kalaupun ada, seperti yang dilakukan oleh Thomas Maltu, yang manusia lihat adalah betapa hebatnya manusia menguasai alam, membuat patung-patung yang natural, menulis keindahan alam, melukiskannya, memfilmkannya…Dan hutan, pohon-pohon yang ditebang sembarangan? Siapa peduli!
Bagi Anda yang pernah pergi ke perpustakaan, maka Anda boleh menghitung seberapa banyak buku yang ditulis oleh manusia tentang alam dan untuk alam itu sendiri. Anda tidak akan mampu menghitung berapa banyak buku yang menceritakan tentang manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Tapi, sebaliknya, Anda tidak perlu menggunkan sepuluh jari untuk mencari buku tentang hutan-hutan, tentang pohon-pohon, tentang pelestarian alam. Pertanyaannya adalah kemana para cendekiawan-cendekiawan kita, kemana para professor-profesor kita, kemana para akademisi kita, kemana para penulis-penulis kita? Apalagi, buah pemikiran yang dipraktekkan oleh para pengambil kebijakan seperti para politisi? Atau, sebaliknya, perlukah pertanyaan ini diajukan di tengah hiruk pikuk narasi manusia?
Inikah hasil dari kebudayaan (dunia) kita, narasi peminggiran ekologi? Apakah ini yang kita sebut sebagai ekologi, sedang ekologi itu sendiri adalah pengharmonisasian antara system manusia dan alam semesta?

—2
Kenapa semua pengabaian ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua alasan yang mendasari semua ini. Pertama, masuknya ilmu Alam dalam kesadaran manusia pada abad ke 17. seperti kita tahu, ilmu Alam adalah ketakjuban manusia akan akal budi manusia, bukan ketakjuban terhadapap rasionalitas alam. Alexander Pope, penyair Inggris termasyhur pada abad itu, menyatakan dengan sangat baik:

“Nature and Nature’s laws lay hid in night:
God said, Let Newton be! and all was light.”
—Alexander Pope

Alam yang semula gaib-mistik, penuh dengan aura yang menakjubkan bahkan menakutkan, ternyata tunduk dalam hukum alam yang rasional. Alam yang semula gelap laksana malam (hid in night) menjadi terang benderang. Bahkan Pope mengatakan, seraya seakan mewakili Tuhan (berhakkah dia?), biarkan Newton menjelaskan, maka alam beserta seluruh rahasianya akan menjadi terang benderang, laksana cahaya (light). Alam bukan lagi medan yang perlu dihadapi dengan gentar, penuh gemetar di hadapannya. Ia bukan lagi kegelapan; ia cahaya yang tertaklukan.
Dalam kehidupan kita, hal ini sangat jelas sekali teraplikasi. Orang tidak perlu lagi menundukkan muka saat dia berada di bawah pohon-pohon besar. Orang tidak perlu lagi meminta peruntungan pada pohon-pohon dengan menghidangkan sesajen. Orang tidak perlu lagi permisi dengan memberikan berkat saat hendak merobohkan sebatang pohon untuk pembangunan rumah tinggalnya. Orang-orang sadar bahwa dalam kehidupan mereka, mereka harus terus menerus menjaga system keseimbangan hidup antara kehidupan mereka dengan alam, dengan hewan, dengan manusia.
Bagi kita, orang-orang yang mengaku beriman, hal ini tentu saja menyalahi aturan, system keimanan. Maka mereka sering diserang dengan kata-kata keji: syirik, irrasional, mistik kuno, kufur, murtad, laknat…Hampir semua agama ibrahimi menyakini bahwa alam tercipta untuk manusia, sebagai mana Ralph Waldo Emerson mengatakannya, “The world exists for you…Built therefore your own world.”
Ilmu Alam juga membuka jalan untuk pembuatan teknologi oleh manusia. Sejak abad ke-17, perkembangan ilmu pengetahuan memasuki babak baru dengan ditemukanya berbagai mesin, terutama yang paling menonjol adalah ditemukannya mesin uap yang menghasil industri. Alam, mau tidak mau, menjadi bahan utama dari mesin-mesin industri yang berkembang dengan pesat. Pembanguna rel kereta api yang mengharuskan ditebang-dirobohkannya ribuan bahkan jutaan pohon. Juga, untuk menjalankan mesin kereta api dan kapal. Eksploitasi alam mulai tidak terkontrol. Bahkan di abad 21 ini, keadaan semakin menampakkan kebrutalan manusia terhadap alam. Manusia lebih memilih perut segelintir orang dari pada menyelamatkan alam. Dan eksploitasi alam menjadi keadaan (bukan pilihan) yang tak terhindarkan.
Ada ironi dengan datangnya ilmu Alam (Nature/Nature’s Law). Dengan datangnya ilmu Alam, bukan sebuah penghargaan yang alam dapatkan, tapi pengrusakan besar-besaran. Dengan semakin terungkapnya hukum-hukum alam, bukan keinsafan yang semakin mendalam, tapi keserakan yang merajalela. Dengan datangnya ilmu Alam, bukan melestarikan alam yang kita lakukan, tapi merusak alam.
Kedua, manusia adalah narasi yang tiada matinya. Tidak seperti alam yang dianggap sudah selesai, pembicaraan tentang manusia atau pendefinisian tentang manusia, berikut yang berkaitan dengan manusia, adalah sebagian masih misteri yang belum tersingkap. Timbulnya berbagai ideology dan berbagai cabang ilmu pengetahuan adalah bukti nyata terhadap kekurangan terhadap definisi manusia. Pendefinisian manusia yang beelum usai ini mau tidak mau akan mengembangkan berbagai spekulasi dan dinamika pemikiran tersendiri tentang manusia.
Pemikiran tentang manusia hanya selesai dalam kaitannya dengan agama. Atau, definisi manusia berdasarkan agama, petunjuk Tuhan dalam bentuk wahyu-wahyu. Namun, dalam kehidupan yang hampir semaunya tersekulerisasi ini, dimana agama sepertinya mengizinkan terhadap eksploitasi alam, ….
Tidak seperti alam, manusia adalah makhluk yang sangat dinamis dalam sejarah peradaban. Setiap manusia membuat gerak di siutlah terjadi berbagai pemikiran, interpretasi, spekulais, metodologisasi, teoritasasi, yang semuanya seakan tidak pernah berhenti dan selesai. Maka tidak mengherankan jika manuisa sibuk memikirkan tentang manusia itu sendiri. Bukakah ini sebuah lahan yang sangat manis untuk menumbuhkan berbagai pemikiran? Tidak ada topik yang pailing banyak ditulis, dibicarakan, difilmkan, dilukis, atau entah apalgi, selain manusia itu sendiri.
Tentang masalah alam, sejauh itu tidak berkaitan dengan ihwal manusia, sangat sedikit kita menemukan hal ini menjadi perhatian manusia. Maka tidak mengherankan jika alam sepertinya adalah bahan diskusi yang sangat membosankan, bahan pemikiran tanpa spekulatif, tidak dinamis, dan, tentu saja, tanpa tujuan dalam alam itu sendiri. Tujuan adalah mengenai manusia, untuk manusia, dan sedikit tentang dan untuk Tuhan.

—3
Narasi ekologi, sebagai kebalikan dari narasi manusia, memang akan terus dibawah baying-bayang manusia. Ia cuma sekadar interupsi. Tapi,separah itukah narasi ekologi, bahkan seperti akan menemukan jalan buntu selama manusia masih berkuasa? Manusia, meski menjadi penyebab kerusakan alam, mau tidak mau tetap juga harus manusia yang memperbaiki. Manusia, saya yakin, tetap akan menjadi factor penyelamat alam.
Maka mau tidak mau kita harus mengangkat narasi ekologi, paling tidak sebagai sebuah kesimbangan. Di sini kita membutuhkan sebuah kerangka kerja atau landasan pemikiran. Pemikiran yang pernah ditulis dan bahkan sekarang cukup menjadi sorotan memang cukup memberikan kita harapan. Tapi, yang menkadi kendala selama ini adalah kepemimpinan ekologis lokal dan nasional.
Harus diakui bahwa kepemimpinan ekologis lokal (daerah) adalah catatan-catatan kegagalan. Bahkan, targisnya. bisa dikatakan bahwa kepemimpinan lokal dengan visi-misi ekologis tidak (pernah) ada. Sejak era reformasi bergulir, kita terpaku pada peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah dalam porsi yang tidak wajar sehingga masalah ekologis menjadi terabaikan. Hal ini tampak jelas sekali dalam masalah pembalakan liar (kenapa media tidak menggunakan kata penghancuaran hutan?).
Yang terjadi adalah banyak pemimpin daerah yang terjerat kourpsi terkait masalah ekologis (hutan), baik dengan para cukong atau bahkan dengan para anggota dewan yang berada di senayan. Contoh kasus terbaru dan sangat menghebohkan adalah Al Amin Nasution yang tertangkap basah di sebuah hotal sedang transaksi pembayaran atas pemberian izin pengalih fungsian hutan lindung untuk kawasan industri.
Harus diakui bahwa kampanye yang mengedepankan masalah ekologis sudah dapat dipastikan tidak akan laku dijual kepada masyarakat. Pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan penyediaan lapangan kerja, adalah komoditas politik yang sangat laku sekali di masyarakat kita. Praktis isu-isu pembalakan hutan, penanaman pohon, penanganan kebakaran hutan, dan seterusnya, adalah komoditas poitk yang terpinggirkan dari hiruk pikuk pemilihan pemimpin daerah.
Di tengah mahalnya biaa pendidikan, naiknya BBM, kesulitan mencari kerja, isu-isu ekologis adalah sebuah ilusi bahkan sekadar untuk dipikirkan. Masalah-masalah keseharian tentu saja lebih nyata dan membutuhkan penyelesaia yang segera.
Memang tidak semua daerah memiliki kekayaan alam yang melimpah. Bahkan daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah, gizi buruk malah menjadi keseharian. Hal ini semakin meminggirkan masalah ekologi.
Tapi seperti dikatakan oleh Aldous Huxley, “Hanya kalau setiap dari kita sadar bahwa masalah utama yang sedang kita hadapi [sekarang] ini adalah masalah-masalah ekologis, kehidupan politik kita akan menjadi lebih baik dan lebih realistik.” Terutama di daerah-daerah yang sangat melimpah dengan kekayaan alam seperti Kalimantan, Irian Jaya, Sumatra dan sebagai, tentu sangat membutuhkan pemimpin yang bervisi-misi ekologis. Pemimpin ekologis yang revolusioner yang berani tidak popular.
Terkahir semoga nyanyia seperti yang dibawakan oleh Iwan Fals ini tidak akan pernah lagi kita dengarkan:

Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu
Oh mengapa…
Oooo…. Jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung

Bencana erosi slalu datang menghantui
Tanah kering kerontan banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia

Surakarta, 31 October 2008

Wednesday, November 05, 2008

Buku, Kata, dan Kita

“Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi”
—“Kata” oleh Subagio Sastrowardoyo, penyair Indonesia

“Buku bisa menjadi harta karun yang ditinggalkan oleh para jenius besar bagi umat manusia, yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai hadiah bagi mereka yang belum lahir.”
—Joseph Addison, penyair dan sastrawan Jerman

“Generasi 1942-2006 adalah generasi nol buku, rabun membaca, pincang mengarang, sungguh tragis.”
—Taufiq Ismail, penyair Indonesia



—Buku: Harta Karun Para Jenius
Orang-orang Eropa tersentak membaca buku tentang sebuah negeri lumbung padi tapi penduduknya kelaparan, tertindas, dan dipekerjakan secara paksa tanpa upah dengan cambuk yang terus mendera dari belakang, sebuah negeri yang dipimpin oleh kerajaan-kerajaan boneka dari sebuah kerajaan kecil di benua Eropa. Penulisnya, Multatuli, dalam buku Max Havelaar banyak menginspirasi dan menjadi buku bacaan wajib pendiri sebuah repubrik yang kelak pada 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaannya, yaitu Indonesia .
Apa hendak dikata: surat-surat Kartini terbaca juga oleh masyarakat umum Indonesia bahkan dia tidak akan menyangka surat yang ditujukan pada sehabat penanya yang terpisah benua tersebar tetap dibaca sampai sekarang. Dia pada masa hidupnya tidak banyak dikenal. Cuma dibaca oleh beberapa temannya.
Apa boleh buat: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!” teriak kuat Chairil. Dan siapa bilang Chairil telah mati, sedang kata-katanya masih tetap dibaca, diapresiasi, dan terus mengalirkan beragam tulisan ?
Apa lacur, buku-buku Pram dilarang beredar di negerinya sendiri oleh rezim Orde Baru yang menginginkan ketenangan, yang hendak mengusir semua brisik. Pram dan Soeharto memang sudah mati, dan larangan buku-buku Pram tetap berlaku. Namun kita tahu: buku adalah ”cerita setan” yang tetap hidup mengikuti seluruh perjakanan manusia. Buku Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan beberapa bukunya tetap dibaca pada masa Orde Baru secara sembunyi-sembunyi oleh mahasiswa Indonesia. Mereka mendengar kebesaran gaung buku Pram di dalam dan apalagi di luar negeri. Buku-buku Pram tetap hidup.
Anak Madura krempeng dan cukup jelek itu, Ahmad Wahib, mencatat pengalaman kegagalan berpacaran, kemiskinan yang terus membuntutinya pada masa kuliah, kritik terhadap lingkungannya, keinginan kuliah yang tak sampai karena keburu meninggal, …Catatannya tidak dikenal selama masa hidupnya. Tapi temannya, Johan Effendy, menemukan di kontrakan Wahib dan menerbitkannya. Catatan-catatannya yang dijadikan buku itu, terutama kritik-kritik keagamaan yang tajam, menuai protes keras. Kalangan agamawan meminta buku itu dilarang beredar. Tapi toh buku itu, Pergolakan Pemikiran: Catatan Ahmad Wahib, terus dibaca hingga saat ini.
Hal yang hampir sama terjadi pada mahasiswa UI yang suka naik gunung dengan temen-temennya, kemudian memberi nama Mapala (kelak semua universitas meniru nama ini), nonton film dan menulis catatan. Dia Soe Hok Gie. Kemudian, catatannya diterbitkan menjadi buku, Catatan Seorang Demontran. Gie meninggal karena kecelakan pada saat naik gunung tapi catatannya terus dibaca.
—Kata: Scripta Manent
Apa istimewannya sebuah kata yang termaktub dalam buku dan malah Cuma sekadar catatan harian yang sepele, mampu memberikan inspirasi, menimbukan protes keras dan sebagainya? Dan bagaimana mereka bisa menulis hal-hal ”sepele” seperti itu?
Adalah sangat menarik dan barang kali akan sedikit kontroversial bagi sebagian orang Indonesia, apabila kita menilik perkataan pemikir Prancis Jean Paul Sartre: “Telah ku temukan agamaku; tak ada yang lebih penting dari buku! Aku memandang perpustakaan sebagai tempat ibadahku!” Pengakuan tersebut menyiratkan secara eksplisit betapa sebuah catatan, dalam bentuk buku sampai catatan harian baik manual atau elektrik, akan menjadi sangat penting.
Sartre barang kali sadar betapa pentingnnya sebuah buku. Buku nilainya sama besar dan pentingnya dengan agama itu sendiri. Namun maksudnya, saya kira, adalah sebuah pembacaan atas berbagai hal, dulu, sekarang, dan yang akan datang. Semua ini memang tertera dalam berbagai kitab-kitab suci agama-agama manusia.
Dengan berbagai catatan itu manusia bisa meringkas-melipat berbagai fiksasi, keterbatasan-keterbatasan, yang diakibatkan oleh ingatan yang lemah-terbatas, waktu, juga ruang. Buku membuat kesalahan yang pernah terjadi tidak usah lagi diulangi oleh manusia pembaca. Dalam pembacaan (ulang)-nya terhadap berbagai hal, ia telah bergerak pada penyelamatan diri, kolektif, bahkan sebuah dunia. Inilah inti dari berbagai agama, saya kira. Sebuah penyelamatan terhadap hakekat kemanusiaan Manusia.
Namun untuk sampai ke sana adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk mulai menulis sambil membaca: sebuah ibadah pertama dalam kehidupan manusia modern dan klasik. Keduanya harus menjadi sebuah kebudayaan yang mengakar dalam tradisi, mulai dari ”tradisi” diri pribadi, tenntunya. Inilah yang seharusnya menjadi inti sebuah gerakan kemanusiaan, termasuk gerakan mahasiswa sebagai kaum muda (calon) intelektual.
Dan gerakan ini akan menjadi lengkap jika ditambahkan kata ”pemebelajaran”: Gerakan Pembelajaran. Sebuah gerakan yang mengandaikan bahwa manusia adalah entitas-yang-menjadi, dengan terus menerus belajar. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dewasa menjadi dewasa dan sebagainya. Untuk itu ia membutuhkan sebuah alat untuk berevaluasi: tulisan, baik dari diri sendiri atau orang lain.
Pada tahap pembelajaran ini, manusia akan terus bergulat dengan berbagai permasalahan dari yang sepele sampai kompleks-filosofis. Dua-duanya memiliki ruang tersendiri. Manusia, juga pada tahapan ini, akan terus bergelisah, resah, galau, atas pelbagai ketimpangan, ketidakadilan, keculasan, kegilaan, dan sebagainya. Semua ini akan menjadi proses kreatifnya dalam belajar, seperti halnya Gie, Wahib, Frank sampai yang terbaru anak-anak SMA mbeling di Amerika, para Freedom Writers .
Dan sebagai produk terakhir sekaligus tujuannya adalah pencerahan-penyelamatan atas berbagai permasalahan yang menimpa diri kita atau, kalau bisa, dunia tempat kita menginjakkan kaki. Pertanyaannya kemudian adalah beranikah kita membuat catatan-catatan, meski kecil-kecilan? Permasalahannya adalah bukan kita tidak bisa, tapi sering kali kita tidak menyadari betapa pentingnya catatan-catatan tersebut. Sekali lagi beranikah dan maukah kita melakukannya?

—Kita: Generasi Nol Buku?
Manusia terlahir dari seorang ibu. Ini sudah pasti. Namun bisa juga, sebagai kepastian yang lain, manusia terlahir dari sebuah buku. Yang pertama menjadikan manusia sebagai seorang anak secara genetik; yang kedua menjadikan manusia sebagai manusia yang utuh secara intelektual. Manusia, yang terlahir dari buku secara intelektual, terkadang bisa hidup melebihi waktu yang diberikan oleh Tuhan. Ini karena yang pertama bersifat duniawi, materialistik; yang kedua bersifat surgawi, immaterialistik, yang ‘mengekalkan’.
Pada proses penjadian diri, kita pasti akan memerlukan sebuah kata untuk mengidentifikasi siapa kita dengan kata. Aku adalah manusia; aku adalah mahasiswa; aku adalah seorang pembelajar dan sebagainya. Di sini kita membutuhkan kata sebagai pengkodean, identifikasi diri dengan memakai kata. Maka memori kita memerlukan banyak kata dalam proses penjadian diri.
Pada saat kita dalam proses penjadian diri kita mau tidak mau akan menjadi kolektor kata; kita secara naluriah akan menjadi penggila kata (word-maniac) sebagai software otak dan emosi. Penggila kata bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, mereka yang hobi mengoleksi kata dengan cara menghafal dan membaca (belajar). Dan kedua, juga sekaligus mereka yang sudah pada taraf pengoreksi kata; mencari kebenaran suatu kata atau ilmu. Pada dua tahapan ini hanya satu yang membedakan yaitu alat perespon yang mereka gunakan: emotif atau logis?
Yang pertama adalah mereka yang cuma sekedar menghobi-mengoleksi kata (emotif), sedangkan yang kedua adalah mereka yang menghobi, mengoleksi dan sekaligus mengoreksi kata dengan pikiran (logis). Yang pertama banyak disandang oleh mereka para pelajar dan mahasiswa. Yang kedua sering disandang oleh mereka yang mendapatkan gelar profesor atau ilmuan dengan melihat kemampuannya tentunya— bukan karena sudah tua dalam bergelut di bidangnya, atau mengajar tapi masih taraf kolektor secara emotif bukan secara logis. Karena banyak juga mereka yang mendapat gelar ini, tapi bukan karena kemampuan.
Kolektor kata yang emotif cenderung menghentikan diri pada tahap kolektor kata saja tanpa terbebani untuk menjadi pengoreksi kata. Tapi biasanya mereka yang koleksinya paling banyak adalah, tentu saja, mereka yang menjadi pengoreksi yang sesungguhnya. Dia bisa menjelaskan keunikan suatu kata, baik secara historis, secara sosiologis bahkan (sering harus) secara filosofis.
Untuk menjadi orang pada posisi kedua, setidaknya seseorang harus mempunyai dua mata kepekaan: kepekaan tekstual dan kepekaan kontekstual. Yang pertama sangat erat kaitannya pada masalah kebiasaan membaca yang disertai kepekaan akan bacaan yang dia baca. Kedua, kepekaan kontekstual, sebagai pengejawantahan dari yang pertama atau yang menjadi mediator kepekaan tekstual. Sulit sekali mencari seseorang yang peka secara kontekstual tanpa memiliki kepekaan tekstual.
Kepekaan tekstual akan menjiwa dalam diri seseorang, jika seseorang sudah masuk dalam areal golongan penggila kata (word-maniac). Dan penggilaan kata akan menjiwa jika dia menganggap bahwa dunia kata adalah sebentuk kebutuhan hidup (sebagai makanan) dan yakin bahwa di sanalah surga kesenangan dan surga kebenaran berada (baca sajaknya Subagio Sastrowardoyo).
Sedang untuk sampai pada makna kebutuhan hidup dan dua surga tadi, sesorang tidak cukup menjadi kolektor kata tapi juga sekaligus harus menjadi pengoreksi kata. Pada saat itulah dia akan benar-benar menjadi word-maniac sejati. Dan untuk itu membutuhkan sebuah proses kontinuitas: membaca-menulis, membaca-menulis, membaca-menulis, secara kontemplatif dan harus dimulai dari satu haruf ( membaca dan menulis harus dimulai dari satu huruf).
Jika dua hal tersebut belum ada dalam diri kita, maka tidak bombastis apa yang dikatan oleh Taufik Ismail. Juga, tidak sekadar penilaian yang mengada-ada tanpa dasar.
Terakhir, “Siapa yang tidak menulis akan dilupakan oleh sejarah!” kata sastrawan kita, Pramoedya Ananta Toer. Scripta manent: yang tertulis akan abadi, sebuah pepatah latin. []

Labels: