Thursday, February 12, 2009
Kampus dan Masyarakat: Learning Society
Pertanyaan awalnya: adakah kampus yang memasyarakat? Di sini kampus, lalu kemana dan di mana masyarakat (bukan civitas akademika)? Baiklah, aku kasih gambaran kampus yang memasyarakat: pernahkah seorang warga yang tinggal di dekat kampus ‘kesasar’ masuk kampus, lalu bertanya pada seorang dosen tentang, katakanlah, cara menjual dagangan dengan ilmu periklanan, atau apa itu opini public, bisa juga mahasiswa itu sebenarnya makluk apaan. Atau, bolehkah seorang warga membaca (kalau memang tidak boleh meminjam) buku-buku perpustakaan (siapa yang tidak butuh ilmu?)?Sepanjang aku kuliah, aku tidak pernah mendengar seorang dosen diminta tolong untuk memberikan solusi praktis terhadap pertanyaan-kebutuhan masyarakat. Aku juga belum pernah melihat masyarakat berkunjung ke perpustakaan (apalagi ke lab!). Maka menjadi pertanyaan ganjil: kemana masyarakat di dekat kampus, atau kita balik arah pertanyaannya, kemana dan di mana kampus juga segenap warga civitas kita?
Selama ini aku melihat bahwa semua ini lebih banyak disebabkan oleh anggapan tentang kampus itu sendiri. Masyarakat menganggap bahwa kampus adalah tempat untuk belajar khusus para mahasiswa. Anggapan ini tentu saja datang dari orang yang lebih dihormati karena keilmuannya (atau dianggap lebih tahu, lebih pintar) yakni para mahasiswa, dosen, professor, dan karyawan kampus. Dengan kata lain, kampus bersikap eksklusif terhadap masyarakat di luar kampus. Kampus lebih sebagai tempat tertutup dari pada sebagai sebuah model tatanan masyarakat pembelajar (learning society) bagi seluruh masyarakat.
Di sini terlihat tidak ada keterkaitan antara kampus dengan masyarakat dalam mewadahi masyarakat sebagai learning society. Masih segar dalam ingatan kita tentang KKN (Kuliah, Kerja, Nyata) di mana kampus mengirim mahasiswanya untuk “mengabdi” pada masyarakat dalam jangka waktu tiga bulan. Kita tahu, kebijakan ini tidak banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Kebijakan ini tidak mendidik masyarakat untuk menjadi masyarakat pembelajar.
Kebijakan ini, untuk daerah yang terpencil di mana anak-anaknya tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi, Cuma sebuah pamer pangkat keilmuan (meskipun belum tentu yang dikirim adalah orang yang benar-benar pintar). Sekadar memamerkan dan menguatkan kesenjangan social antara si miskin dan si kaya.
Maka menjadi pertanyaan logis dan irasional: Kapan kita bisa menyaksikan sebuah simbiosis-mutualistis antara kampus dan masyarakat, sebagai masyarakat pembelajar? Sungguh sulit! Kita, juga kampus ini, sudah terkotak-kotak dalam sebuah struktur yang semakin menjauh dari masyarakat. Dan yang lebih parah lagi ini dianggap benar dan dianggap sudah budaya. Masyarakat sekitar kampus hanya penyedia tempat tidur, makan, dan beberapa keperluan mahasiswa…
Sedihkah kita? Bersalahkah kita? Ataukah masyarakatnya? Entahlah!!
Solo, Tuesday, February 03, 2009, 2:36:11 PM
0 Comments:
Post a Comment
<< Home