Thursday, February 12, 2009

Gerakan Mahasiswa: Kasihan Deh Lu!!

P
engesahan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) bisa dikatakan sebagai potret kegagalan gerakan mahasiswa pascareformasi. Hampir tidak terdengar gerakan mahasiswa yang mendukung RUU BHP, yang berarti gerakan mahasiswa sebenarnya bisa menggalang solidaritas yang solid dan kuat antar entitas gerakan.
Maka menjadi pertanyan yang menarik: kenapa gerakan mahasiswa seperti “kecolongan “ saat RUU BHP disahkan oleh pemerintah yang didukung penuh oleh DPR? Pertanyaan ini penting karena gerakan mahasiswa yang mengemuka di arena publik saat ini adalah demonstrasi sporadis, reaktif dan tawuran yang sedikit banyak mencoreng gerakan mahasiswa. Sekaligus, sebagai momentum membentuk platform perjuangan yang lebih sesuai dengan tuntutan zaman.

Reposisi “Musuh Bersama”
Banyak kalangan (bagaimana dengan sikap mahasiswa?) yang mengamini bahwa kegamangan dan kemunduran gerakan mahasiswa pascareformasi disebabkan oleh tidak adanya “musuh bersama” yang represif (seperti Soeharto) sebagaimana dikemukakan oleh Agus Suwignyo (Kompas, 22/11/2008). Hal ini juga saya rasakan saat memasuki masa perkuliahan. Banyak gerakan mahasiswa yang kehilangan orientasi perjuangannya.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah “khittah” gerakan mahasiswa hanya sekadar menumbangkan rezim totaliter yang represif, katakanlah sebagai “visi-misi” bersamanya? Saya pikir tidak ada gerakan mahasiswa yang akan mengiyakan secara serempak. Selama ini gerakan mahasiswa terjebak dalam retorika “musuh bersama” yang secara tidak langsung sebenarnya mengarahkan sekaligus mengharuskan gerakan mahasiswa sebagai gerakan berbasis aksi. Hal ini mendapatkan momentum pengesahannya pada saat mahasiswa secara massif berdemonstrasi di gedung DPR untuk menggulingkan Soeharto.
Gerakan yang berbasis aksi sebenarnya sudah tidak efektif lagi dalam demokrasi (liberal/konstitusional) sekarang. Dalam demokrasi liberal, yang paling penting untuk dilakukan gerakan mahasiswa adalah berdasarkan rentetan berikut: memenangkan opini publik, mengusulkan atau mengawal proses legislasi, dan memastikan berjalannya semua ini untuk kepentingan rakyat.
Opini publik, dalam kasus RUU BHP, adalah bagaimana memberikan pemahaman terhadap publik bahwa UU BHP sejatinya adalah menjual pendidikan kepada publik (rakyat) yang seharusnya menjadi hak mereka sebagai warga negara. Pemahaman publik akan menjadi modal kerangka berpikir publik dalam merespon kebijakan-kebijakan pemerintah. Sayangnya hal ini sepertinya tidak digarap oleh gerakan mahasiswa.
Gerakan mahasiswa selama ini cenderung menggunakan gerakan berbasis aksi seperti demonstrasi sebagai ciri khasnya. Model gerakan ini tidak akan memenangkan opini publik. Publik tidak mendaptkan pemahaman yang memadai untuk memberikan respon dan mengambil sikap. Akibatnya gerakan mahasiswa dalam mengawal RUU BHP tidak banyak mendapat dukungan baik dari civitas akademika ataupun masyarakat. Buntutnya sudah bisa kita lihat, pengesahan RUU BHP.
Maka di sini perlunya mereposisi “musuh bersama” dan membentuk platform gerakan yang berbasis ide atau pemikiran. Musuh bersama yang berbentuk rezim seharusnya direposisi menjadi cita-cita bersama, katakanlah seperti “Indonesia yang Kita Cita-citakan” yang pernah dilakukan oleh Kelompok Cipayung pada 19-22 Januari 1972 (Kompas, 10/12/2008).

Opini Publik dan Daoed Yoesoef
Memenangkan opini publik mengharuskan adanya pemikiran yang solid secara intern dan kuat secara ekstern. Solid secara intern dan kuat secara ekstern berarti pemikiran itu komprehensif dan tahan terhadap gempuran kritik dari luar. Dalam hal ini kita ingat kembali alasan menteri pendidikan dan kebudayaan yang pernah “membredel” gerakan mahasiswa, Daoed Yoesoef, dengan kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).
Daoed Yoesoef memberikan definisi mahasiswa, yang sekaligus sebagai alasan kebijakannya, “Mahasiswa pada hakikatnya, bukanlah “manusia rapat umum” (man of public meeting), tetapi manusia penganalisa bukan semata pemburu ijazah, tetapi seharusnya penghasil gagasan (ide) yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur, yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakikat ilmu pengetahuan yaitu goerdend denken… hakikat kemahasiswaannya, adalah kekuatan penalaran dan pikiran individual.”
Dalam konteks masa itu (70-an), ide seperti ini memang tampak tidak relevan dengan tuntutan zaman dan cenderung mengebiri. Gerakan mahasiswa (organsisasi ekstra kampus) dikeluarkan dari kampus yang berbuntut kurang solidnya gerakan mahasiswa dan mahasiswa cenderun “study oriented” tanpa mengenal dan peka terhadap lingkungan masyarakatnya.
Namun pada saat ini, ide seperti ini menjadi sesuatu yang banyak ditunggu oleh masyarakat. Masyarakat sudah jenuh dengan gerakan berbasis aksi yang cenderung negatif (dengan tidak bermaksud mengeneralkan). Maka inilah celah bagi gerakan mahasiswa untuk mengedepankan gagasan dan pemikiran, menjadi gerakan berbasis pemikiran.
Dengan gerakan yang berbasis ide atau pemikiran, gerakan mahasiswa sangat mungkin akan menghasilkan pemikir-pemikir yang kuat. Dan pemikiran orang-orang inilah yang harus dikemukakan pada publik sebagai sebuah cita-cita, solusi dan respon. Kalau kita melihat sejarah pergerakan bangsa ini sejak, kita melihat semua pergerakan berasal dari sebuah gagasan (cita-cita) yang solid secara intern dan kuat secara ekstern, bukan sekadar respon. Dan gagasan ini menjadi arus utama dalam kesadaran masyarakat atau menjadi opini publik, sehingga publik menyambut dan mendukung.
Jika proses pembentukan pemikir ini tidak terlaksana, bisa dipastikan kita akan melihat gerakan mahasiswa jalanan namun yang bukan parlemen jalanan. Aksi-aksi demonstrasi yang reaktif dan sporadis yang sangat mungkin akan tidak terhindari aksi anarkisme. Jika hal yang pertama ini tidak terlaksana kemungkinan besar proses pengawalan pembentukan undang-undang (bukan proses pengusulan draf undang-undang) akan menjadi agenda yang sia-sia karena tanpa dukungan publik.
Melihat realita gerakan mahasiswa sekarang, nampaknya semua itu akan tetap terjadi dan pengabaian-pengabaian akan terus berlanjut. Yang sering mengemuka dalam berbagai pertemuan antar gerakan mahasiswa dan berbagai forum dialog, kita menemukan sebuah realita yang jauh dari definisi yang dikemukakan oleh Daoed Yoesoef tersebut. Kita sering membaca berita yang mengatakan sekarang mahasiswa malas berpikir dan, seperti biasa, akan mendapatkan momentum kritisnya saat perayaan Sumpah Pemuda.
Dan beberapa kegagalan ini akan dirasakan oleh generasi mahasiswa pada periode berikutnya, seperti dikatakan dalam tulisan “Bercermin BHMN, Menolak BHP” oleh Ali Khomsan (KOMPAS, 27/12).
So, siapa yang harus mengatakan kasiannn: Lhoe, Bapak lhoe, atau elhoe-elhoe? Atau, pertanyaannya kita balik: Kasihankah gerakan mahasiswa sekarang atau mahasiwa berikutnya?

Catatan:
Kutipan dari perkataan Daoed Yoeseof di atas penulis ambil dari bukunya Jalaluddin Rakhmat, Retorika Modern Pendekatan Praktis, halaman 30, terbitan PT.Remaja Rosdakarya, BAndung (cetakan ke-8, tahun 2002).

*****
Surakarta, 7 January 2009
©M.FZ

0 Comments:

Post a Comment

<< Home