“Karena rasa adalah segalanya”
(Iklan kondom Fiesta)
EKSISTENSI (pe)rasa(an), perasaan kemanusian kita, dalam diri manusia manapun, akan selalu membawa pada bentuk kehidupan yang penuh dengan pelangi rasa. Pada ranah ini kita diidentifikasi dan diklasifikasikan sebagai makhluk perasa.
Sebagai makhluk perasa kita dihadapkan oleh beraneka warna pelangi rasa kehidupan. Kita kadang tidak tahu warna perasaan kita, karena begitu banyaknya warna. Belum lagi kombinasi warna perasaan kita. Mungkin seorang psikolog belum bisa mengidentifikasi perasaan kita secara definitif. Namun pada tulisan kali ini akan sedikit dibahas rasa memiliki.
Filosofi Rasa
RASA memiliki, yang mendarah dalam kehidupan manusia, tak pelak sama persis dengan RACUN. Racun memiliki dua sisi yang berlawanan: menyembuhkan dan membunuh. Pada satu segi kehidupan kita, kita tidak ingin hidup kita sendiri, tanpa memiliki. Kita, untuk itu, menginginkan sebuah racun untuk kita gunakan sebagai pelindung. Pelindung saat kita menjadi seorang yang terinterimidasi atau terancam, baik oleh perasaan di luar diri kita atau perasaan dari dalam diri kita.
Apa yang paling mengancam jiwa manusia jika bukan sebuah ketidakpunyaan akan sandaran jiwa, proteksi kehidupan jiwa, yang akan mewarnai keseluruhan hidup kita? Tatkala semua bangunan runtuh, saat harta benda kita luluh lantah, saat semua menghilang lenyap, kita cuma butuh satu atap untuk berteduh. Satu atap untuk jiwa-rasa kita yang merindukan keutuhan rasa kita yang paling esensial yaitu memiliki. Kita merindu rasa yang bersandar pada sebentuk “memiliki.” Kita tidak ingin sebuah kesendirian.
Betapa miskinnya seorang manusia jika untuk jiwanya saja tidak punya perasaan memiliki. Seluruh isi dunia ini tanpa rasa memiliki sama halnya dengan tanpa kehidupan. Dia yang hanya memiliki rasa kesendirian tak ubahnya sebongkah batu mati.
Dalam kesendirian kita, kita begitu terikat dengan dunia kepemilikian. Sebentuk dunia rasa yang termiliki. Kita ingin memiliki ini-itu...
Di sinilah sifat perasa manusia mulai menemukan bentuknya yang sampai sekarang belum juga terdefiniskan secara tepat (atau barangkali hanya perbedaa diksi dan gaya bahasa). Yaitu Dunia Cinta. Cinta secara lebih luas pada akhirnya Cuma seberkas rasa memiliki dan berbagi. Dunia ini mungkin memang tidak memerlukan sebuah alasan yang kuat atau filosofis-ontologis. Namun cukup secara psikologis-sosial saja: sebab ingin berbagilah manusia pada saat ini dan pada awal mulanya mulai kenal cinta dan melakukan percintaan.
Komunisme Perasaan
TAPI di situlah, saat rasa harus berbagi dan dibagi dalam bentuk memiliki, rasa mulai menjadi masalah. Rasa sudah bermetamorfosis menjadi racun. Rasa dalam bentuk yang tersimpan rapi dalam hati memang tidak akan pernah menggangu tatanan masyarakat, hanya mengganggu personal saja. Namun saat rasa memiliki akan diwujudkan, dengan dua orang setidaknya, maka rasa akan memasuki ranah sosial kemasyarakatan. Contoh klasik akan hal ini adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Qobil terhadap saudaranya Habil.
Permasalahan akan lebih rumit lagi kalau rasa itu akan diwujudkan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas, dalam teritorial kesukuan, etnisitas, bahkan yang lebih parah lagi kalau itu harus dalam tatanan negara. Contoh yang paling jelas akan hal ini adalah dibentuknya negara dengan landasan komunisme. Saya tidak akan menjelaskan konsep komunisme dalam tataran kenegaraan.
Ide dasar dari komunisme sebenarnya sudah ada dalam pemikiran Yunni kuno, dari Aristoteles (sori aku lupa pastinya, tapi kalau mau lebih jelasnya coba lihat buku Sejarah Pemikiran Barat terbitan Gramedia). Dalam pemikiran komunisme, yang menjadi intisarinya adalah kesetaraan, persamaan kelas untuk seluruh manusia.
Menurut aku, kehendak untuk persamaan dan kesetaraan itu ditimbulkan oleh sebentuk rasa memiliki. Semua orang ingin merasakan hal yang sama. Orang tidak akan pernah benar-benar tertindas sebelum dia atau orang lain memasukkan tindakan menindas sebagai sebuah rasa, rasa tertindas. Dan untuk menghilangkanannya maka semua orang harus memiliki perasaan yang sama.
Dan inilah awal mula dari sebuah tragedi. Komunisme ingin menghilangkan sebentuk getaran jiwa manusia yang paling dasar: rasa memiliki. Komunisme ingin mengatasinya dengan menyamaratakan rasa memiliki yang sudah memanifestsi dan representasi dalam wujud benda-benda dengan menguasakan seluruh benda-benda tersebut pada tangan pemerintah. Mereka ingin menjadilakn rasa memiliki sebagai sebuah ilusi belaka yang jika manifestsi dan reprenatsinya dihilangkan maka dengansendirinya rasa akan dan dunia dalam keadilan sosial selamanya.
Mereka lupa permasalahannya bukan pada benda-benda itu tapi pada persepsi rasa yang sudah sangat kuat dan yang paling penting setiap rasa memiliki mempunyai penafsiran yang beda-beda dan bisa berwujud pada hal-hal yang berbeda sebagaimana kita suka pada perempuan yang beda-beda, atau mereka suka cowok-cowok yang berbeda-beda. Semua kembali pada rasa memiliki yang mewujud pada hal yang beda-beda. Maka persamaan dan keadilan yang diobsesikan oleh komunisme tidak akan pernah mewujud (???).
Kapitalisme Perasaan
Itulah ide yang sangat ditunggu oleh setiap manusia: keadilan, persamaan. Namun sepertinya dunia sadar, keadilan yang naif itu tidak akan terwujud di dunia ini. Dan untuk itu kita harus mengalah, berbesar hati, jika salah satu dari kita memiliki yang lebih.
Lalu, dalam selimut kebaikan ini, rasa memiliki mulai tidak terkendali. Manusia beruaha memenuhi rasa memiliki dengan sebanyak-banyaknya. Tanpa perlu memandang terhadap yang lain. Dan pada akhirnya akan menuai sebuah tuntutan perasaan: kembali pada komunisme, keadilan yang absolut tapi naif. Orang bukan tidak mencari jalan tengah. Banyak yang mencarinya. Tapi sampai saat ini sepertinya kita masih terjebak pada perilaku kapitalisme yang buta dan terlampau.
Ujung-ujungnya semua rasa memiliki berakhir dengan tragis. Kita sering melihat orang kaya yang sok tak peduli. Di sisi yang lain kita meringis melihat peruntuhan apa yang dimilki oleh orang yang tidak memiliki. Bahkan yang paling aneh cintapun hanya tertuju pada mereka yang punya.
Heroisme Perasaan
...maaf tulisan belum jadi! Lagi malas menekan tombol-tombol keyboard. Begitu.
aru sekarang, setelah menjadi manusia sampai menginjak kaki di perguruan tinggi, aku mendapati sebuah tantangan tentang sumpah keagamaan untuk membuktikan sebuah kebenaran di hadapan Tuhan, di dunia ini. Sekali lagi di dunia ini. Dia, Habib Rizieq, menantang Gus Dur untuk membuktikan siapa yang paling benar dengan sanksi mati mengenaskan berikut seluruh keluarga masing-masing.
Aku, tentu saja, tersenyum kecut dan sedikit manis-miris. Aku membayangkan Tuhan akan dijadikan sang Maha Adil, Maha Mengetahui, dan tentu saja Maha Benar, dan aku masih mempercayai semua itu. Tapi jika semua itu harus dibuktikan di dunia ini, aku mulai menjadi bingung dengan ekspresi keberagamaan kita. Aku jadi pengin bertanya: Kira-kira Tuhan mau nggak ya; terus kalau Dia mau kira-kira bagaimana cara Dia menentukan siapa yang paling benar; arguementasi seperti apa untuk menetukan siapa yang peling benar; dan beribu pertanyaan yang saling terkait…
Aku membayangkan Tuahan akan bertanya pada kedua orang yang berseteru: ‘Emang Aku peduli dengan perseteruanmu? Ge-Er banget kamu semua! Emang gua pikirin! Bodoh amat! Aku lagi sibuk melihat betapa lucunya dirimu itu. Aku tidak sibuk dengan memperebutkan berapa banyak umat atau orang yang kau selamatkan dengan perseteruan kalian. Aku lelah melihat orang-orang, rakyat-rakyat yang sedang kelimpungan tidak bisa beribahdah dengan baik karena kalian sibuk berseteru melulu. Belum lagi mereka tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan hari esok yang tidak bisa makan (naiknya BBM memicu naiknya bahan pokok). Belum juga bagaimana mereka bisa menyekolahkan anak-anak mereka supaya bisa membaca dan menulis, sukur-sukur bisa melanjutkan ke perguruan tinggi supaya bisa menatap hari esok lebih baik (ingat sebentar lagi musim masuk sekolah).’
‘Aku tahu aku bisa saja memberikan mereka semuanya apa-apa yang mereka mau dan sangat mampu menjadikan mereka sangat Islam seIslam-Islamnya. Tapi aku ingin menguji kalian, seberapa jauh kepedulian kalian pada mereka. Bukan Cuma berdebat, main sumpah-sumpahan. Aku sudah muak dengan seperti itu. Tidakkah kalian semua membaca cerita Ibrahim yang hendak melihat Aku? Cerita itu sama dengan permintaan kalian supaya Aku mengadili kalian siapa yang paliang benar. Ah, bodoh amat siapa yang paling benar.’
‘Satu lagi, gara-gara kalian yang anarkis secara fisik dan pemikiran itu, banyak orang yang gerah melihat kalian apalagi mentauladai. Kalian ingin semua orang sama ya? Sama keyakinannya, sama keagamaannya, sama kedalaman imannya, sama ketauhidannya? Dan, ini yang penting, samanya Cuma sama kalian, seperti kalian? Apa kalian tidak terlalu overconfident ‘tu namanya? Itu sama saja kalian menghendaki Aku menciptakan manusia semuanya sama, paling tidak secara pikiran dan keyakinan. Kau yakin dan tahukan kalau Aku sebenarnya mampu melakukan semua itu: Satu Umat Satu Agama, di seluruh jagat alam yang gaib atau yang nyata. Tahu kenapa?’
Tentu saja semua itu monologku. Tapi asyik juga ya kalau tiba-tiba Tuhan tampak di hadapan kita menjadi hakim, lalu menghakimi mereka yang berseteru…Yakin deeehhh ‘tuh “penampakan” Tuhan, jika ketangkep kamera, akan menjadi Super-hyper-amat-sangat-breakingnews sepanjang hari sepanjang sejarah peradaban manusia mulai saat itu hingga akhir manusia dan dunia….Ya iya lah, (ngapain yaiya dong!) Dilihat dari segi apapun dalam kaca mata jurnalistik, peristiwa-fakta itu sudah menjadi obsesi manusia setelah cuma Adam-Hawa yang pernah melihat-Nya….[]
Solo, 10 Juni 2008
urus, zig-zag, dan fluktuatif. Kebenaran absolut, kepastian, dan sejenisnya mengarah pada hidup yang seolah melaju di jalan tol yang sangat lurus dan bertujuan jelas. Orang sering mendambanya, lalu mencari, menciptakan seperti yang kita lakukan dalam pendidikan dan pembelajaran. Dalam bersikap, orang yang memiliki karakteristik seperti itu sering dikatakn DEWA-sa. Pada posisi puncaknya, sering orang ini dijuluki orang yang arif bijak bestari.
Aku sering was-was bahkan curiga terhadap orang ini (adakah mereka?), lebih tepatnya pada anggapan orang yang mengatakan demikian. Ide-ide, pemikiran, ataupun gagsan dalam hidup yang dijalani ini, menurut saya, bisa dikategorikan menjadi dua: yang dipastikan dan yang diragukan.
Di bawah kendali otak dan emosi manusia, bisa dihitung dengan jari sesuatu yang pasti dan disepakati (ini menjadi pengecualian dari yang dua tersebut). Lalu, untuk itu, memastikan dan mensepakati, aku menduga, setidaknya mulai mengarah pada yakin, bahwa semua itu Cuma dipastikan atau lebih tepatnya hanya sekadar diyakini sebagai pasti bukan kepastian itu sendiri. Dengan kata lain, semua itu masih diragukan sebenarnya.
Tuhan, kebenaran, hukum (bahkan dalam ilmu alam), teori, universalisme apapun… cuma sederet bukti kecil. Tidak ada kepastian, tampaknya. Yang ada hanya yang dipastikan, yang mereka arahkan sebagai yang diyakini.
Aku sering curiga pada yang-dipastikan dalam yang-diyakini. Di balik semua itu: pemaksaan, pemerkosaan dalam segala bentuknya, kekerasan, pembunuhan, pembakaran, pemenggalan…
Aku memang merindukan kepastian—bukan yang dipastikan dengan paksaan yang halus ataupun kasar. Tapi bukan seperti yang dilakukan oleh agamawan atau ilmuan. Bagi agamawan, kepastian hanya sebidang tembok yang kokoh dan lurus ke atas yang sering dibangun dengan apriori. Bagi ilmuwan, kepastian sering seperti jalan yang dilalui dengan zig-zag dengan arah dan tujuan yang sering berubah, meski sering dengan cara aposteriori.
Aku hendak berdiri di antara keduanya: berfluktuatif, bergolak.
Surakarta, 11 Juni, 2008
Labels: Expresi Muda
Dia laut sekaligus bumi
Dia gua hitam
Dia labirin yang selalu malam
Aku terjebak
Tidak tahu Diri
Atau, tak perlu semua ini?
Siapa yang tahu Diri?
Menjadi Diri
Menemui arti?
Mengerti Diri
Hendak suci?
Hendak bukan mengebiri
Menyelam menggali
Namun Diri hendak menyata
Namun aku semakin geli
Melihat Diri
Solo, 9 Juni 08
Labels: puisi
“It needs decades to have
a masterpiece writing,
but it just needs a night
to make somebody (girl) pregnant”
utipan itu tertera jelas dengan warna biru dalam sebuah buku yang berjudul “Jurnalisme Sastra”, yang ditulis oleh Septiawan Santana Kurnia (2002). Buku pertama tentang jurnalisme sastra (bandingkan dengan buku kumnpulan jurnalisme sastra yang diterbitkan oleh Pantau) di Indonesia dan, ini yang penting, ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu sekarang berada di tanganku.
Sudah lima hari sejak seseorang, yang dia namakan dirinya atau lebih tepatnya meminta dipanggil “Chemitz”, hendak memberikanku “sesuatu”. Seorang cewek, yang berdasarkan sebuah “polling” yang pernah aku lakukan terhadap responden teman sekuliahku, dikatakan cantik, dan fashionable. Sebuah polling yang tidak resmi tentang “siapa yang paling cantik dan paling seksi di kelas kuliah.” Hal senada juga dikatakn oleh beberapa teman dari luar jurusan.
Pagi ini, saat aku akan memasuki ruang kuliah 307 yang berada di pojong paling atas lantai tiga, dia melambaikan tangan disertai senyum. Suatu pemandangan yang belum biasa. Ya, terutama dengan orang “cuekis”, yang paling cuek (penganut paham Cuekisme, dari kata cuek), seperti diri ini. Aku tidak menyangka dia akan memberikanku sebuah buku yang bagus. Aku masuk ke ruang kuliah sedikit terlambat.
Dia ternyata mau memberikan “sesuatu” itu. Sebuah buku yang di kover depannya tertera dua tulisan: “Property of MiTzKiM 17/04/06” dan “Sudah dua tahun aku beli tapi satu babpun belum aku baca!!” Entah apa dibalik tulisan itu. Sebentuk “kekecewaan” pada diri sendiri? Sepertinya tidak. Atau, memang buku itu sebenarnya tidak “sesuai” dengan keinginan pemebelinya? Entahlah. Aku melihat buku itu sebenarnya sedang menunggu manusia untuk membacanya. Dan sepertinya orang itu aku (semoga aku menjadi pembaca yang baik)?
Aku yakin tulisan yang kedua itu belum lama tertera di kover depan buku yang didesain layaknya buku sastra dengan ornament dan ilustrasi patung abad pertengahan, cewek yang memegang bolpen, orang yang sedang membaca Koran, dan seorang laki-laki sedang menunggu inspirasi hendak menulis. Sebuah buku pedoman tentang jurnalisme sastra.rna tulisan yang kedua itu menggunakan tinta warna biru, persis dengan tulisan kuotasi dan tulisan dalam selembar kertas.
Ada yang menarik dari tulisan kuotasi dan selembar tulisan yang menyertainya, semacam pengantar sang pemberi. Bukan saja pada tulisan itu tapi pada “sejarah” dibalik keduanya dan sekaligus yang menjadi “pemicu” dibalik sebuah buku itu, sehingga bisa berada ditanganku. Sebuah kisah inspiratif, mungkin.
Di sore yang sedikit berbeda karena seorang teman datang dan sedikit ngobrol yang berujung debat tentang sesuatu cerita. Cerita dipicu oleh seorang mahasiswa kedokteran UNS angkatan 2007 bernama Fredy yang hendak membeli buku “how to” persahabatan. Tapi dia ragu dengan lebel harga yang di atas 50-an ribu.
Untuk menghilangkan keraguannya, tapi bukan untuk membujuknya apalagi memaksanya membeli buku tersebut, akhirnya aku bercerita tentang dua orang tokoh nasional: Bung Hatta dan Bung Syahrir. Cerita ini sebenarnya aku kutip dari tulisan Goenawan Mohamad (lihat tulisan aslinya di bukunya Goenawan Mohamad yang berjudul “Setelah Revolusi Tidak Ada Lagi’).
Dikisahkan bahwa Syahrir dan Hatta sedang menjadi tahanan politik kolonial Belanda di pulau Banda Naira tahun 1942. Syahrir digambarkan sebagai orang yang sangat mencintai anak-anak sehingga dia mengadopsi tiga orang anak. Sedang Hatta tetap kukuh tak bergeming dengan buku-bukunya. Syahrir sering mengajak anak angkatnya berjalan ke pantai dan bermain di rumah yang ditempati oleh Syahrir dan Hatta. Suatu ketika Syahrir dimarahi oleh Hatta karena anak angkatnya menumpahkan air pada buku-buku kesayangan Hatta. Akhirnya Syahrir mengalah dan dia pindah ke rumah yang lain.
Adalah bulan Februari dan Jepang sudah menguasai Indonesia. Pada saat itu pulau Banda Naira akan dibom oleh Jepang. Hatta dan Syahrir harus segera pergi dari tempat itu. Syahrir dan Hatta dijemput oleh helicopter Catalina. Hari masih pagi dan mereka disuruh segera bersiap-siap. Hatta membungkus buku-bukunya ke dalam enam belas kardus; Syahrir Cuma membawa tiga orang anak angkatnya.
Permasalahan, karena buku-bukunya Hatta dan tiga anak angkatnya Syahrir, muncul. Helikopter Cuma muat untuk orang-orang saja. Buku-buku yang sudah dinaikkan terpaksa diturunkan lagi. Hatta mengalah. Syahrir gembira. Hatta menyesal seumur hidupnya karena buku-buku itu tidak pernah lagi ditemukan.
Sampai di sini perdebatan dimulai antara aku, temanku, Chemitz, dan Fredy. Pertanyaan pertama yang muncul: siapa seharusnya yang menjadi prioritas utama, buku atau tiga orang anak?
Fredy dan Chemitz memilih menyelamatkan manusia. Sebuah pandangan humanis yang sangat manis sekali. Sebuah nyawa tentu saja sangat mahal harganya, dan tidak pernah ada sebuah toko nyawa di seluruh sudut dunia ini. Bisa terjerat pelanggaran HAM jika tidak mengindahkannya.
Aku tentu saja membela enam belas kardus buku. Alasannya simple: jauh lebih susah menulis buku dari pada membuat seorang anak. Butuh waktu, kejeniusan dan referensi. Butuh bertahun-tahun untuk menulis buku yang berbobot dan berpengaruh mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan manusia. Membuat anak, sebaliknya, cukup satu malam saja jadi dan juga bisa terjadi dengan orang gila yang tidak punya otak. Mereka berdua tertawa dengan argumen yang sedikit “porno” itu.
Fredy akhirnya mengukuhkan niatnya dan membeli buku “how to”-nya. Dia tetap tersenyum saat membeli dan memasukkan ke dalam tasnya.
Aku surprised, ternyata perkataanku yang sedikit porno itu tertera di dalam buku jurnalisme sastra dan dia, Chemitz, memberikannya padaku.
Ini adalah yang ketiga kalinya aku mendapatkan kejutan selain saat muka ini dijadikan kanvas dengan cat kue tar, lalu kejutan tengah malam di Manahan yang memaksa aku untuk menceritan sebuah “mimpi” jelek dan aneh (semoga mereka yang mendengarkannya lupa!).[]
Labels: Expresi Muda
ejarah kekerasan dan yang akhir-akhir ini menghiasi kehidupan sosial kemasyarakatan kita, menurutku, sejatinya adalah tantangan bagi (kata) Tuhan. Orang akan menjadi curiga dan bertanya-tanya apa sebenarnya makna dari kekerasan yang biadab itu. Apakah kata Tuhan sebegitu bengis dan ganasnya dalam kehidupan kita sehingga setiap orang selalu dalam kontrol kecemasan dan ancaman? Atau, pada akhirnya, pentingkah Tuhan bagi manusia jika yang tampak selalu bukan (ke)Tuhan(an)?
Kondisi ini, jika dibiarkan terus berlanjut, akan menghasil manusia atheis yang lahir bukan dari perdebatan ontologis-filosofis. Tapi dari kekerasan fisik yang menjalar menjadi traumatis-psikis. Dan jika kondisi terus diperparah, maka ada benarnya apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang disebut atheis—meski mereka beragama tanpa Tuhan.
Benar pula jika kita harus membunuh dan membakar rumah Tuhan. Lalu, mengikuti Zarathustra, kita membuat maklumat di pasar-pasar yang disiarkan oleh seluruh media cetak dan elektronik: “Tuhan sudah mampus.” Memang, dia harus tumpas-tewas, barangkali.
Dan setelah itu, mungkin, kita bisa bercerita pada generasi mendatang: kita damai bukan karena kita dipenuhi oleh para nabi dan rasul yang bijak bestari, bukan karena kita sudah beragama dengan khusyuk, bukan karena “no more presidents”, bukan karena kita sudah sejahtera semua, bukan semua itu; tapi kita sudah bisa menyadari dan menghargai bahwa, ternyata, kita itu berbeda-beda dan kita sadar kita tidak bisa menjadi seragam oleh apapun itu, dan yang penting, Tuhan telah kita bunuh bareng-bareng, mengikuti para nabi dan rasulnya yang telah mendahuluinya. Tuhan?[]
Labels: Expresi Muda