Thursday, June 19, 2008

AKU MERASA, MAKA ADA AKU

“Karena rasa adalah segalanya”

(Iklan kondom Fiesta)

EKSISTENSI (pe)rasa(an), perasaan kemanusian kita, dalam diri manusia manapun, akan selalu membawa pada bentuk kehidupan yang penuh dengan pelangi rasa. Pada ranah ini kita diidentifikasi dan diklasifikasikan sebagai makhluk perasa.

Sebagai makhluk perasa kita dihadapkan oleh beraneka warna pelangi rasa kehidupan. Kita kadang tidak tahu warna perasaan kita, karena begitu banyaknya warna. Belum lagi kombinasi warna perasaan kita. Mungkin seorang psikolog belum bisa mengidentifikasi perasaan kita secara definitif. Namun pada tulisan kali ini akan sedikit dibahas rasa memiliki.

Filosofi Rasa

RASA memiliki, yang mendarah dalam kehidupan manusia, tak pelak sama persis dengan RACUN. Racun memiliki dua sisi yang berlawanan: menyembuhkan dan membunuh. Pada satu segi kehidupan kita, kita tidak ingin hidup kita sendiri, tanpa memiliki. Kita, untuk itu, menginginkan sebuah racun untuk kita gunakan sebagai pelindung. Pelindung saat kita menjadi seorang yang terinterimidasi atau terancam, baik oleh perasaan di luar diri kita atau perasaan dari dalam diri kita.

Apa yang paling mengancam jiwa manusia jika bukan sebuah ketidakpunyaan akan sandaran jiwa, proteksi kehidupan jiwa, yang akan mewarnai keseluruhan hidup kita? Tatkala semua bangunan runtuh, saat harta benda kita luluh lantah, saat semua menghilang lenyap, kita cuma butuh satu atap untuk berteduh. Satu atap untuk jiwa-rasa kita yang merindukan keutuhan rasa kita yang paling esensial yaitu memiliki. Kita merindu rasa yang bersandar pada sebentuk “memiliki.” Kita tidak ingin sebuah kesendirian.

Betapa miskinnya seorang manusia jika untuk jiwanya saja tidak punya perasaan memiliki. Seluruh isi dunia ini tanpa rasa memiliki sama halnya dengan tanpa kehidupan. Dia yang hanya memiliki rasa kesendirian tak ubahnya sebongkah batu mati.

Dalam kesendirian kita, kita begitu terikat dengan dunia kepemilikian. Sebentuk dunia rasa yang termiliki. Kita ingin memiliki ini-itu...

Di sinilah sifat perasa manusia mulai menemukan bentuknya yang sampai sekarang belum juga terdefiniskan secara tepat (atau barangkali hanya perbedaa diksi dan gaya bahasa). Yaitu Dunia Cinta. Cinta secara lebih luas pada akhirnya Cuma seberkas rasa memiliki dan berbagi. Dunia ini mungkin memang tidak memerlukan sebuah alasan yang kuat atau filosofis-ontologis. Namun cukup secara psikologis-sosial saja: sebab ingin berbagilah manusia pada saat ini dan pada awal mulanya mulai kenal cinta dan melakukan percintaan.

Komunisme Perasaan

TAPI di situlah, saat rasa harus berbagi dan dibagi dalam bentuk memiliki, rasa mulai menjadi masalah. Rasa sudah bermetamorfosis menjadi racun. Rasa dalam bentuk yang tersimpan rapi dalam hati memang tidak akan pernah menggangu tatanan masyarakat, hanya mengganggu personal saja. Namun saat rasa memiliki akan diwujudkan, dengan dua orang setidaknya, maka rasa akan memasuki ranah sosial kemasyarakatan. Contoh klasik akan hal ini adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh Qobil terhadap saudaranya Habil.

Permasalahan akan lebih rumit lagi kalau rasa itu akan diwujudkan dalam tatanan masyarakat yang lebih luas, dalam teritorial kesukuan, etnisitas, bahkan yang lebih parah lagi kalau itu harus dalam tatanan negara. Contoh yang paling jelas akan hal ini adalah dibentuknya negara dengan landasan komunisme. Saya tidak akan menjelaskan konsep komunisme dalam tataran kenegaraan.

Ide dasar dari komunisme sebenarnya sudah ada dalam pemikiran Yunni kuno, dari Aristoteles (sori aku lupa pastinya, tapi kalau mau lebih jelasnya coba lihat buku Sejarah Pemikiran Barat terbitan Gramedia). Dalam pemikiran komunisme, yang menjadi intisarinya adalah kesetaraan, persamaan kelas untuk seluruh manusia.

Menurut aku, kehendak untuk persamaan dan kesetaraan itu ditimbulkan oleh sebentuk rasa memiliki. Semua orang ingin merasakan hal yang sama. Orang tidak akan pernah benar-benar tertindas sebelum dia atau orang lain memasukkan tindakan menindas sebagai sebuah rasa, rasa tertindas. Dan untuk menghilangkanannya maka semua orang harus memiliki perasaan yang sama.

Dan inilah awal mula dari sebuah tragedi. Komunisme ingin menghilangkan sebentuk getaran jiwa manusia yang paling dasar: rasa memiliki. Komunisme ingin mengatasinya dengan menyamaratakan rasa memiliki yang sudah memanifestsi dan representasi dalam wujud benda-benda dengan menguasakan seluruh benda-benda tersebut pada tangan pemerintah. Mereka ingin menjadilakn rasa memiliki sebagai sebuah ilusi belaka yang jika manifestsi dan reprenatsinya dihilangkan maka dengansendirinya rasa akan dan dunia dalam keadilan sosial selamanya.

Mereka lupa permasalahannya bukan pada benda-benda itu tapi pada persepsi rasa yang sudah sangat kuat dan yang paling penting setiap rasa memiliki mempunyai penafsiran yang beda-beda dan bisa berwujud pada hal-hal yang berbeda sebagaimana kita suka pada perempuan yang beda-beda, atau mereka suka cowok-cowok yang berbeda-beda. Semua kembali pada rasa memiliki yang mewujud pada hal yang beda-beda. Maka persamaan dan keadilan yang diobsesikan oleh komunisme tidak akan pernah mewujud (???).

Kapitalisme Perasaan

Itulah ide yang sangat ditunggu oleh setiap manusia: keadilan, persamaan. Namun sepertinya dunia sadar, keadilan yang naif itu tidak akan terwujud di dunia ini. Dan untuk itu kita harus mengalah, berbesar hati, jika salah satu dari kita memiliki yang lebih.

Lalu, dalam selimut kebaikan ini, rasa memiliki mulai tidak terkendali. Manusia beruaha memenuhi rasa memiliki dengan sebanyak-banyaknya. Tanpa perlu memandang terhadap yang lain. Dan pada akhirnya akan menuai sebuah tuntutan perasaan: kembali pada komunisme, keadilan yang absolut tapi naif. Orang bukan tidak mencari jalan tengah. Banyak yang mencarinya. Tapi sampai saat ini sepertinya kita masih terjebak pada perilaku kapitalisme yang buta dan terlampau.

Ujung-ujungnya semua rasa memiliki berakhir dengan tragis. Kita sering melihat orang kaya yang sok tak peduli. Di sisi yang lain kita meringis melihat peruntuhan apa yang dimilki oleh orang yang tidak memiliki. Bahkan yang paling aneh cintapun hanya tertuju pada mereka yang punya.

Heroisme Perasaan

...maaf tulisan belum jadi! Lagi malas menekan tombol-tombol keyboard. Begitu.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

smga perasaan kita bisa kita rasakan..hehehe..tapi jgan sekali2 maen perasaan, klo tidak kuat untuk merasakan perasaan yang tidak menentu dan sulit untuk di prediksi..spertinya perlu ada alat yg bisa untuk mendeteksi perasaan seseorang..

June 23, 2008 at 7:29 PM 

Post a Comment

<< Home