Saturday, June 07, 2008
Kejutan Yang Berlanjut
“It needs decades to have
a masterpiece writing,
but it just needs a night
to make somebody (girl) pregnant”
K |
utipan itu tertera jelas dengan warna biru dalam sebuah buku yang berjudul “Jurnalisme Sastra”, yang ditulis oleh Septiawan Santana Kurnia (2002). Buku pertama tentang jurnalisme sastra (bandingkan dengan buku kumnpulan jurnalisme sastra yang diterbitkan oleh Pantau) di Indonesia dan, ini yang penting, ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu sekarang berada di tanganku.
Sudah lima hari sejak seseorang, yang dia namakan dirinya atau lebih tepatnya meminta dipanggil “Chemitz”, hendak memberikanku “sesuatu”. Seorang cewek, yang berdasarkan sebuah “polling” yang pernah aku lakukan terhadap responden teman sekuliahku, dikatakan cantik, dan fashionable. Sebuah polling yang tidak resmi tentang “siapa yang paling cantik dan paling seksi di kelas kuliah.” Hal senada juga dikatakn oleh beberapa teman dari luar jurusan.
Pagi ini, saat aku akan memasuki ruang kuliah 307 yang berada di pojong paling atas lantai tiga, dia melambaikan tangan disertai senyum. Suatu pemandangan yang belum biasa. Ya, terutama dengan orang “cuekis”, yang paling cuek (penganut paham Cuekisme, dari kata cuek), seperti diri ini. Aku tidak menyangka dia akan memberikanku sebuah buku yang bagus. Aku masuk ke ruang kuliah sedikit terlambat.
Dia ternyata mau memberikan “sesuatu” itu. Sebuah buku yang di kover depannya tertera dua tulisan: “Property of MiTzKiM 17/04/06” dan “Sudah dua tahun aku beli tapi satu babpun belum aku baca!!” Entah apa dibalik tulisan itu. Sebentuk “kekecewaan” pada diri sendiri? Sepertinya tidak. Atau, memang buku itu sebenarnya tidak “sesuai” dengan keinginan pemebelinya? Entahlah. Aku melihat buku itu sebenarnya sedang menunggu manusia untuk membacanya. Dan sepertinya orang itu aku (semoga aku menjadi pembaca yang baik)?
Aku yakin tulisan yang kedua itu belum lama tertera di kover depan buku yang didesain layaknya buku sastra dengan ornament dan ilustrasi patung abad pertengahan, cewek yang memegang bolpen, orang yang sedang membaca Koran, dan seorang laki-laki sedang menunggu inspirasi hendak menulis. Sebuah buku pedoman tentang jurnalisme sastra.rna tulisan yang kedua itu menggunakan tinta warna biru, persis dengan tulisan kuotasi dan tulisan dalam selembar kertas.
Ada yang menarik dari tulisan kuotasi dan selembar tulisan yang menyertainya, semacam pengantar sang pemberi. Bukan saja pada tulisan itu tapi pada “sejarah” dibalik keduanya dan sekaligus yang menjadi “pemicu” dibalik sebuah buku itu, sehingga bisa berada ditanganku. Sebuah kisah inspiratif, mungkin.
Di sore yang sedikit berbeda karena seorang teman datang dan sedikit ngobrol yang berujung debat tentang sesuatu cerita. Cerita dipicu oleh seorang mahasiswa kedokteran UNS angkatan 2007 bernama Fredy yang hendak membeli buku “how to” persahabatan. Tapi dia ragu dengan lebel harga yang di atas 50-an ribu.
Untuk menghilangkan keraguannya, tapi bukan untuk membujuknya apalagi memaksanya membeli buku tersebut, akhirnya aku bercerita tentang dua orang tokoh nasional: Bung Hatta dan Bung Syahrir. Cerita ini sebenarnya aku kutip dari tulisan Goenawan Mohamad (lihat tulisan aslinya di bukunya Goenawan Mohamad yang berjudul “Setelah Revolusi Tidak Ada Lagi’).
Dikisahkan bahwa Syahrir dan Hatta sedang menjadi tahanan politik kolonial Belanda di pulau Banda Naira tahun 1942. Syahrir digambarkan sebagai orang yang sangat mencintai anak-anak sehingga dia mengadopsi tiga orang anak. Sedang Hatta tetap kukuh tak bergeming dengan buku-bukunya. Syahrir sering mengajak anak angkatnya berjalan ke pantai dan bermain di rumah yang ditempati oleh Syahrir dan Hatta. Suatu ketika Syahrir dimarahi oleh Hatta karena anak angkatnya menumpahkan air pada buku-buku kesayangan Hatta. Akhirnya Syahrir mengalah dan dia pindah ke rumah yang lain.
Adalah bulan Februari dan Jepang sudah menguasai Indonesia. Pada saat itu pulau Banda Naira akan dibom oleh Jepang. Hatta dan Syahrir harus segera pergi dari tempat itu. Syahrir dan Hatta dijemput oleh helicopter Catalina. Hari masih pagi dan mereka disuruh segera bersiap-siap. Hatta membungkus buku-bukunya ke dalam enam belas kardus; Syahrir Cuma membawa tiga orang anak angkatnya.
Permasalahan, karena buku-bukunya Hatta dan tiga anak angkatnya Syahrir, muncul. Helikopter Cuma muat untuk orang-orang saja. Buku-buku yang sudah dinaikkan terpaksa diturunkan lagi. Hatta mengalah. Syahrir gembira. Hatta menyesal seumur hidupnya karena buku-buku itu tidak pernah lagi ditemukan.
Sampai di sini perdebatan dimulai antara aku, temanku, Chemitz, dan Fredy. Pertanyaan pertama yang muncul: siapa seharusnya yang menjadi prioritas utama, buku atau tiga orang anak?
Fredy dan Chemitz memilih menyelamatkan manusia. Sebuah pandangan humanis yang sangat manis sekali. Sebuah nyawa tentu saja sangat mahal harganya, dan tidak pernah ada sebuah toko nyawa di seluruh sudut dunia ini. Bisa terjerat pelanggaran HAM jika tidak mengindahkannya.
Aku tentu saja membela enam belas kardus buku. Alasannya simple: jauh lebih susah menulis buku dari pada membuat seorang anak. Butuh waktu, kejeniusan dan referensi. Butuh bertahun-tahun untuk menulis buku yang berbobot dan berpengaruh mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan manusia. Membuat anak, sebaliknya, cukup satu malam saja jadi dan juga bisa terjadi dengan orang gila yang tidak punya otak. Mereka berdua tertawa dengan argumen yang sedikit “porno” itu.
Fredy akhirnya mengukuhkan niatnya dan membeli buku “how to”-nya. Dia tetap tersenyum saat membeli dan memasukkan ke dalam tasnya.
Aku surprised, ternyata perkataanku yang sedikit porno itu tertera di dalam buku jurnalisme sastra dan dia, Chemitz, memberikannya padaku.
Ini adalah yang ketiga kalinya aku mendapatkan kejutan selain saat muka ini dijadikan kanvas dengan cat kue tar, lalu kejutan tengah malam di Manahan yang memaksa aku untuk menceritan sebuah “mimpi” jelek dan aneh (semoga mereka yang mendengarkannya lupa!).[]
Labels: Expresi Muda
1 Comments:
Saya inget kok mimpi kamu... =)
bertanggungjawablah terhadap mimpi yang udah kamu create bro!
berani bermimpi, harus brani mewujudkannya!
Post a Comment
<< Home