Sunday, March 16, 2008

…dan Aku Ingin Berjuang!


Kata-kata ini: ketidakadilan, penindasan, kesewenang-wenangan, kebodohan, kebobrokan, penyelewengan…adalah kata-kata yang sering aku dengar dari dulu. Sejak kecil. Dan setiap itu pula, ada dorongan energi yang menyembul kuat dalam setiap syaraf ini, untuk berjuang. Berjuang. Setiap nadanya selalu saja membawa diri ini pada keresahan jiwa, yang darinya memancar kekuatan perjuangan. Dan rasanya bukan Cuma aku. Ini adalah kata yang universal, walaupun tidak selesai didefinisikan.

Tanya pada sejarawan: dunia sebagaian besar digerakkan oleh Orang-orang Besar (Great Historical Force); dan tidak ada yang berani menggerakkan orang-orang ini kecuali kata-kata tersebut, yang tergambar jelas dalam kehidupan masyarakat mereka. Sastrawan memang masih terus berdebat masalah kata-yang-menggerakkan, namun bukan dalam arti bahwa kata-kata itu kosong, tidak menggerakkan, namun lebih pada keindahan kata, setidaknya menurut aku. Kesimpulan mereka: perjuangan berhenti pada kata. Lantas, sastrawan, ataukah pejuang, sang penegak dan pembuatnya. Tidak ada yang salah dalam posisi keduanya.

Peduli setan alas dengan semua itu: aku masih lemah yang mencari tenaga, sesuatu yang diperjuangkan, dengan sungguh. Apakah aku salah masuk zaman, yang seharusnya aku cukup bersenang tanpa perlu musuh kolonialisme, kapitalis-setan, dictator, teroris, atau yang lebih kecil, koruptor kelas kelurahan? Ah, sepertinya itu masih terlalu besar. Atau, bukankah itu terlalu kecil? Dan yang begitu besar adalah dirimu sendiri? Egomu, kebodohanmu, penyelewenganmu, kesesatanmu, bahkan “kekafiran-kemurtadan”-mu? Kurang besar apanya semua itu?

Ah, itu kan tidak nyata dan abstrak: bukankah selama ini teman-temanmu di kelas selalu menganggapmu orang yang “pintar” bahkan “cerdas”? Itukan yang selalu mereka dengungkan pada mu? Lantaran kesenangan anehmu, pergi ke kampus dan wajib ke perpus, setiap hari? Apakah ini penipuan cerdas ala detektif dan juga mafia, dan intel? Atau, inilah kebodohan yang tak tersadarkan dalam diri ini? Memang begitulah, yang tampak pada diri ini.

Setiap detik jarum jam bergerak, diri ini mulai tersisih, jauh tetinggal di belakang detak-detaknya yang terkadang terdengar sayup sunyi di telinga ini. Jiwa dan otakku mulai diseret-seret ke jurang ketidakberartian, mengerikan. Akupun sunyi dalam diri dan tidak berarti.

Di ujung semua itu: jangan pernah kau tanya: Kapan kau akan insaf, sadar diri, taubat? Cukup dengan kesombongan kecilku akan dijawab: jangan ceramahi aku dengan petuah kuno-bangkamu itu! Dan aku bertanya seraya membalikkan keadaan, dengan keyakinan penuh, “Bukankah aku selama ini berjuang membekuk peraturanmu yang kau anggap suci, yang kau anggap maha kebenaran, namun yang tidak manusiawi itu? Visi-misiku di dunia ini Cuma ada satu: membakar hangus segala yang engkau coba tanam dalam kedirianku, dalam pendidikan mu; aku akan terus menggugat. Namun entah pada siapa kata ini terlontar. Jangan-jangan itu adalah pada diri ini?

Dari ujung Fakultas, di pojok Jurusan, dengan selembar kertas kebenarannya, seseorang berkata, “Dengan bukti apa engkau berkata sedemikian angkuhnya di bumi kami? Tidak cukupkah sederet angka kelakuanmu (otak, emosi, raga, maksudnya) ini membuktikan?”

“Tidak adakah secuil bukti selain angka-angka yang kau buat tergopoh-gopoh ini? Bukankah itu barang kualitatif yang kau kuantitatifkan dengan pemerkosaan atas nilai-nilai dirimu dan tempat kamu berlindung diri?” Demikian sang aku membela diri, sekali lagi mendemontrasikan kepintaran yang dungu.

“Kapan kau akan menyerah, heh?”

“Kau salah masuk zaman. Cepat balik sana ke zamanmu nan di ujung waktu yang sudah lama lewat!”

Dan aku terbingung-bingung oleh diri ini, pun dengan waktu, ditambah mereka. Aku sudah terkalahkan oleh diri ini, zaman ini, manusia zaman ini… Seharusnya aku berkata dengan lantang: “Tai kucing semua perjuangan! Itu adalah ide murahan yang dicoba suntikkan oleh para hedonis-idolator hiroisme altruisme busuk!”

Dan pada saat-saat bingung itu teman saya berkata, “Zi, kuliahnya udah selesai. Bangun, ayo, makan siang.”

0 Comments:

Post a Comment

<< Home