Sunday, March 16, 2008

Jejak Terakhir…


Catatan Pribadi Untuk F.T; Catatan Tentang Teman

“Aku terasing, di tempat itu, Zi,” ujarnya dingin, dengan nada yang mendalam. Ada rasa yang aneh yang aku tangkap dari perkataannya: hampa. Naluriku, berdasarkan nada bicaranya, sebenarnya merintih seraya berkata dalam hati: ‘kamu sebenarnya ingin mengatakan: “Aku telah diasingkan.” Entah secara manusiawi atau tidak, aku tidak tahu bagaimana dia merasakannnya dalam hati.

Kata-kata itu, menurutnya, adalah idiom yang paling tepat untuk menggambarkan suasana lingkungan hatinya saat itu. “Sebenarnya banyak yang ingin aku omongin, tapi aku cuma bisa memberikan kesimpulanku: Aku terasing di tempat ini,” dengan suara malas dia menambahkan. Dan entah mengapa kata-kata itu juga terus menggema dalam diri ini. Kata ini terus terpantul pada dinding hati dan karenanya ia terus menggema dan menggema.

Jejaknya bagi aku barangkali sedikit panjang, meski tercecer di berbagai sel-sel otakku. Saat itu aku melihatnya pertama kali adalah dalam sebuah materi diklat yang dia pandunya. Selalu ada senyum lebar dari bibirnya. Geraknya sedikit berbeda dengan wanita Jawa yang pernah tertanam dalam benakku, ia cekatan penuh gegas. Kontras dengan senyum dingin-ironis yang dia tampilkna pada ku. Senyum itu bukan senyum. Ia pendar dari sebuah dunia yang sudah melain.

Aku sepertinya dilempar ke negeri yang di sana tidak ada penghuni untuk aku ajak bicara sekadar untuk melepaskan kepenatan jiwa yang terkikis. Entah apa yag megikisnya, terlalu banyak barangkali atau ketiadaan yang mengada-ada saja. Ia semakin jauh tuk aku kejar. Melihat jejaknya sekarang pun aku sungguh sulit. Atau, barangkali dia memang tidak menginginkan aku untuk melihat apa lagi berbagi, setidaknya untuk sebuah dunia yang aku ingin (sudahkah?) bangun: Dunia Sahabat.

Dunia Sahabat? Ah, kosa kata apalagi ini! Nampak ia adalah sebuah dunia hayali belaka, tanpa makna yang mau ditawarkan pada diri ini yang lelah dan letih. Dalam sebuah catatan kegamangan aku mencoba memberikan sebuah gambaran walau tidak definitif. Sekali lagi dalam sebuah kegamangan. Dalam catatan yang tertera pada sebuah lembaran bertuliskan seperti ini:

Dunia Sahabat, dan…

Apa Itu Sahabat?

Kala aku (kita?) mengatakan sebuah dunia, apalagi Dunia Sahabat, aku dengan seluruh imajinasiku membayangkan sekumpulan manusia, setidaknya dua orang, paling tidak seorang manusia dan seekor hewan. Seikat dualitas (dwi tunggal), yang di sana ada kebersamaan, kehangatan, haru-sedan, tangis-tawa…dan segudang perilaku kebersamaan.

Di sini, di Dunia Sahabat, tidak ada yang lebih tinggi apalagi merasa terendahkan atau terasingkan, apalagi. Tidak ada yang Tuhan dan Hamba, setidaknya itulah kesepakatan hati dia antara keduanya atau lebih, meski mereka berdua tidak mengutarakan dalam kata. Karena, dengan lantang hati sudah cukup berkata.

Dunia Sahabat dirajut dengan benang-benang kepercayaan…

Dan setiap jalinannya semakin erat dengan keterbukaan…

Kemanusian-Yang-Saling-Membutuhkan antara keduanya, yang sejatinya mengiringi setiap tarikan nafas mereka…

(Ah, kamu telah berkata apa. Bagaimana bisa berkata dan berimajinasi tentang dunia sahabat, jika dengan diri kamu sendiri belum juga bersahabat?)

Nampak secara implisit diri ini, aku, sudah mulai terbius oleh Revolusi Prancis dengan semboyannya: Fraternite, Egalite, et Liberte (Persaudaraan, Persamaan, Kebebasan).

Atau, bukankah risalah-risalah besar yang datang pada dunia ini melalui para nabi-nabi sebenarnya adalah sebuah ajakan ke Dunia Sahabat, bahkan bersahabat dengan tuhan sendiri?

Hehh, kamu, wahai diriku…Ada yang menggelitik resah dalam dirimu, hendak bertanya:

Apakah itu teman? Teman kos, teman sekelas, teman sepermainan, teman seperjuangan, teman curhat, teman hati, teman sepembelajaran, teman tapi mesra (apalagi ini?)…? Lalu bagaimana dengan kawan itu? Kalau Sahabat, yang engkau mengucapkannya dengan suara lembut-hangat? Sahabat Sejati?...

Apakah kau, hei diriku, terlalu memikirkan definisi tanpa memandang arti dan esensi?

Surakarta, February, 12, 2008

***

Ada tanggapan: “Buat Fz: Mengapa terlalu banyak mencoba mendefinisikan, coba saja jalani pasti juga bakal tahu dengan sendirinya…! Banyak-banyak refreshing yah….!

***

Kalau aku tidak “memulai” mendefinisikannya, bagaimana aku bisa memurnikannya dari noda-noda berbagai pertalian dengan manusia yang akan mengkotorinya? Dan bukankah dari pendefinisian yang jelas maka akan tampak segala kebusukan diri ini untuk dibuang jauh dalam menjalani laku persahabatan…? Dan bukankah hidup tanpa dilalui dengan sebuah refleksi adalah hidup yang tidak layak dijalani? Oleh karenanya, adalah sebuah keniscayaan hidup untuk mendefinisikan. Aku tidak mau melangkahkan kaki dengan sepatu berduri yang menusuk-nusuk kaki.

Ataukah: ia adalah sebuah dunia laku yang tinggal aku “jalani, (yang di sana) pasti juga bakal tahu dengan sendirinya..!” Seonggok dunia praksis nan praktis. Tapi aku resah: lalu apa bedanya dengan dunia yang dijalani oleh orang gila tanpa sebuah kesadaran diri?

Terakhir: Catatan ini tertuju pada F.T. atau malah pada penulis catatan sendiri? Ataukah bisa juga bagi keduanya? Bukankah Dunia Sahabat itu adalah Dreamland-nya setiap anak manusia?

…dan aku belum juga sampai pada jawaban, pun menjalaninya, dan belum mau berakhir, semoga. Entah kapan bisa…Barang tentu, Dunia Sahabat tidak dimulai dengan sebaris pertanyaan: “apa itu sahabat?” Namun menjadi pertanyaan besar jika Dunia Sahabat berakhir dengan pertanyaan!

Hujan belum juga berniat berhenti

menyirami Bumi Anak Manusia…(20.30 WIB)

Surakarta, 20 February 2008

“Sahabat dalam kesulitan adalah sahabat dalam segala-galanya.

Jangan sepelekan persahabatan.

Kehebatannya lebih besar dari pada panasnya pernusuhan.”

--Nyai Ontosoroh kepada Minke, dalam Anak Semua Bangsa oleh Pramoedya.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home