Pada teman-temanku yang mengambil jurusan linguistik dan juga sastra (aku masih ragu untuk mengikutsertakan Penerjemahan dan Kajian Amerika: pernahkah dosen kita memasukkan keduanya dalam ranah sastra?), “Selamat Anda termasuk Mahasiswa Sastra (Inggris)!” Pentingkah ucapan selamat ini dan kenapa, kalau memang penting, aku harus mengucapkan selamat?
Simply, kita sudah terstigma (disaklegkan) secara sosial-akademis, bahwa kita adalah mahasiswa sastra Inggris (Amerika). So, sudah seharusnya dan sepatutnyalah jika kita tahu dan belajar sastra dan linguistik. Namun yang menjadi kejanggalanku selama ini, mulai semester satu sampai semester enam kemaren adalah, aku—aku tidak tahu dengan teman-temanku—tidak pernah membaca satu karya sastrapun secara tuntas dan dengan pembacaan yang baik, baik itu puisi yang cuma beberapa baris apalagi novel yang berlembar-lembar.
Aku masih ingat saat Bu Nani memberikan tawaran (?) wajib untuk membaca novel Jane Eyre untuk mata kuliah Pengantar Kajian Prosa. Yang ada dalam pikiranku cuma dua hal: pertama, apakah aku akan sanggup membaca novel setebal lima ratus halaman lebih itu? Aku bingung apakah ini laik untuk dipertanyakan oleh mahasiswa sastra Inggris (?). Bukankah itu sudah seharusnya? Kedua, apakah Bu Nani benar-benar yakin dengan pilihannya, novel Jane Eyre? Apakah dia tidak tahu bahwa reading habit kita sangat memprihatinkan? Aku masih tidak percaya saat dia sudah menyodorkannya pada salah satu temanku untuk kita memfotokopi.
Dan yang lebih membingungkan, juga menjengkelkanku, adalah tidak ada seorang anakpun yang hendak menolak atau menggerutu terkait keputusan sepihak itu! Namun aku tahu, setelah Bu Nani keluar dan aku bertanya pada beberapa teman, ternyata mereka sebanarnya tidak setuju. Aku yang pada waktu itu duduk di depan pojok kanan sebanarnya ingin berontak dan meminta keringanan: 'mbokyo cerpen aja; kan sama-sama karya sastra! Lebih tipis dan ada jaminan akan dibaca sampai tuntas. So, kita bisa bahas dengan mendalam dan tuntas!'
Aku mencoba menenangkan diri dengan mengais sisa-sisa informasi yang tersimpan dalam otak, bahwa novel Jane Eyre adalah novel yang sangat bagus baik dari segi gaya penulisan, bahasa, dan tentunya isi yang sangat kontroversial-radikal pada zamannya: sebuah embrio pandangan feminisme; banyak kaum agamawan yang merasa dibakar jenggotnya di depan umum. Kemudian aku tahu, novel ini hampir senafas dengan novelnya Ayu Utami Saman dan Larung. (Inilah yang menjadi alasan Bu Nani. Logis.)
Maka yang terjadi adalah KITA hanya menonton filmnya, dan cuma membaca beberapa halaman yang hendak dipresentasikan. Semuanya cari sinopsisnya di internet. Aku masih ingat perasaanku saat teman-teman menanyaiku untuk memfoto kopi novel Jane Eyre: untuk apa aku memfotokopi buku yang tidak akan pernah aku baca, kalaupun iya paling cuma beberapa halaman? Akhirnya, karena alasan sosial aku juga memfotokopi. Aku tahu ada beberapa teman yang membaca lebih dari separuh, tapi sepengetahuanku mereka tidak mengambil jurusan sastra atau linguistik. Ya, semuanya nonton filmnya yang cuma sekita dua jam. Kalau bukunya?
Bukankah film dan novel, yang notabene tulisan itu, sangat berbeda? Yang satu audio-visual bergerak; yang satunya lagi adalah tulisan yang imajiner. Kita pun tahu bahwa sudah menjadi wacana umum bahwa setiap novel yang difilmkan tidak pernah benar-benar sama dengan yang asli (tulisan) sebab berbagai faktor. Banyak kritikus sastra dan film yang kecewa dengan adanya novel yang difilmkan (aku tidak perlu memberikan contoh untuk ini).
Ya, aku sebanarnya merasa berdosa. Anak sastra Inggris: nol baca buku sastra berbahasa Inggris! Belum lagi, ini aku tahu setelah agak sering membaca buku sastra Indonesia dan buku kritik sastra (berbahasa Indonesia), jurusan sastra (baik sastra Indonesia atau Inggris) tidak pernah atau sangat jarang menghasilkan (boro-boro meluluskan + sertifikat + ijazah) seorang sastrawan dan juga kritikus sastra! Aku semakin malu saat aku berkumpul dengan teman-teman anak TBS (Taman Budaya Jawa Tengah) yang sering ngeledek. Plus para pembicara dalam beberapa seminar dan workshop penulisan essai, kritik sastra, atau penulisan kreatif, mereka semua mencibir anak-anak sastra, yang nggak sastra banget!
(Kamu bisa bertanya pada diri dan hati sendiri: apakah ada dosen yang sastrawan yang lahir dari rahim jurusan sastra atau dosen yang sekaligus kritikus sastra yang benar-benar dari rahim jurusan sastra, dan diakui kekritikusannya oleh publik (sastra)? Jawabannya: Ada tapi suaaaaangggggggaaaat sedikit! Bisa dihitung dengan satu tangan yang cuma punya beberapa jari (ini masalah realitas sastra Indonesia. Sastra Inggris? Entahlah)! Tentang dosenku, yang aku hormati, kamu bisa bertanya adalah seorang di antara mereka yang benar paham masalah sastra Inggris baik klasik, apalagi yang kontemporer? Aku meragukannya, jika ada yang menjawab iya. Coba kamu pikir apakah ada dosen, paling tidak jurusan, yang berlangganan koran, majalah, atau jurnal sastra, apalagi menulis sastra dan kritik sastra dengan bahasa Inggris? Semua media ini mengabarkan perkembangan sastra yang cepat dan tercipta hampir setiap hari. Sempat dan mampukah mereka? Aku bukan meragukan kemampuan mereka. Bukan. Aku hanya mau mengatakan: mereka tidak punya aksessibilitas dan lingkungan yang akan mendukung mereka ke sana).
Aku toh pada akhirnya memilih Kajian Amerika dan bukan sastra atau linguistik. Aku punya beberapa alasan untuk ini dan, sayangnya aku tidak hendak menuliskannya di sini. Temanku Irfan Zamzami, mahasiswa sastra Inggris angkatan 2004 (cuma ada dua anak pada angkatan ini!) yang mengambil jurusan sastra dan juga karya sastranya[cerpen] pernah dimuat di koran lokal dan regional, mengatakah, “Fikri, satu-satunya teman saya di kelas sastra (bayangkan, betapa pragmatisnya mahasiswa sekarang, hingga kelas sastra hanya terdiri dari dua orang saja! hueh he heh),” (selngkapnya baca di blog fanzam.blogspot.com ). Dia ada benarnya saat mengatakan itu.
Tapi...ah. Apakah aku punya semacam dosa akademis?
Surakarta, 11 Sep. 08
Labels: Expresi Muda
2/
Kajian Amerika (American Studies) adalah salah satu bidang kajian oksidentalisme yang sekarang mulai marak di beberapa universitas di Indonesia. Amerika sendiri bukanlah hal aneh dalam dunia wacana atau kajian tentang dunia barat. Hal ini tidak lepas dari sifat Amerika yang (1) jadi panutan sistem demokrasi yang ditopang oleh pengaruh luar negeri yang luar biasa (super power) dan (2) pengaruh amerikanisasi budaya pop yang dianggap sangat hegemonik hampir dalam semua bidang kehidupan. Amerika juga menjadi (3) produser para pemikir dan peraih nobel yang ditopang oleh universitas-universitas yang selalu masuk dan mendominasi dalam top ten university berdasarkan Time Higher Education Suplement.
Untuk yang pertama rasanya tidak mungkin mengabaikan pengaruh pemilihan presiden 2008 yang menampilkan tokoh utama Barack Obama, calon presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika. Gema “obamanisasi” begitu terasa di Indonesia yang akan mengadakan acara lima tahunan, pemilihan umum dan pemilihan presiden. Barack Obama membawa semangat pentingnya kepemimpinan pemuda. Kita tahu bahwa saat obama masuk dalam nominasi bakal calon presiden Amerika banyak analis yang menganggapnya masih bau kencur (baru umur 40-an) yang harus bersaing dengan Hillary Clinton seorang senator New York yang sudah cukup berpengalaman. Indonesia sudah merasakan dampaknya dalam berbagai perdebatan wacana pemimpin muda dan iklan-iklan politik perorangan dari para pemuda, sebut saja Sutrisno Bahir, Rizal Mallarangeng, Ratna Sarumpaet, Fajrul Rahman, dan sebagainya.
Amerikanisasi sudah menjadi keseharian dalam hidup kita. Kita tahu bahwa semua manusia muda pasti adalah pemilik kaos dan celana jins. Kaos adalah produk budaya pop yang pertama kali dipopulerkan oleh Marlon Brando pada tahun 50-an (kalau aku tidak salah, sorri agak lupa) lewat film Hollywood yang dibintanginya. Begitu juga dengan celana para cowboy itu juga produk dari budaya pop orang Amerika. Dalam hidup kita hampir tidak mungkin menyingkir dari yang berbau Amerika. Sekali lagi inilah amerikanisasi dalam kehidupan kita. Makanan cepat saji, boneka barbie yang terjual jutaan keping perhari, dan sebaginya, dan sebagainya. Semua itu ditopang oleh perusahaan (industri) multinational.
Kau tahu negara mana yang paling banyak mengeluarkan dana untuk pendidikan sepanjang sejarah kehidupan manusia? Jawabannya satu: Amerika (aku lupa jumlah sebenarnya). Tidak mengherankan jika Amerika selalu menjadi rujukan utama untuk belajar di luar negeri. Dan tentu saja Amerika selalu mendominasi penghargaan nobel ilmu pengetahunan sejak akhir perang dunia II. Para peraih nobel inilah yang jugi menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang pinter dan punya duit untuk belajar di Amerika, karena inilah motor utama penggerak researh university seperti Princeton University, Chicago University, Cambridge University dan sebagainya.
Memang tidak berlebihan jika Micheal Elliott menulis, “The World Cup isn’t the only field that America can’t dominate” pada majalah Time edisi khusus 2007. Saya percaya bahwa Amerika masih akan terus berjaya sepanjang pendidikan dan industrinya masih berdiri tegak bersamaan dengan, tentu saja, politik gedung putih tidak menjeruskan keduanya pada kesia-siaan dan penghancuran. []
Labels: Expresi Muda
“The World Cup isn’t the only field that America can’t dominate”
Micheal Elliott, Essayist
1/
Amerikanis (bandingkan dengan sebutan indonesianis) adalah pilihan ambigu berikutnya dalam hidupku. Aku sebenarnya sedikit sangsi untuk mengatakan “hidupku”. Alasan: aku tidak benar-benar memilihnya dengan penuh kesadaran dan pertimbangan matang. Ya, aku hendak menuju menjadi amerikanis dalam kajian oksidentalisme, dan aku tidak sungguh memilihnya (tapi aku harus menjalaninya dengan sungguh). Pilihan telah aku tetapkan untuk menjadi mahasiswa kajian Amerika (American Studies).
Aku masih ingat saat temanku mengatakan, “Aku tahu kamu pasti belum membuat keputusan. Kamu itu dari dulu seperti itu. Terus mau ngambil jurusan apa?” Aku sebenarnya sudah membuat keputusan: Kajian Amerika. Dalam menetapkan keputusan, aku memang sedikit berbeda dengan pertimbangan umum teman-temanku: fungsionalitas dan akselerasi. Dua alasan yang sekarang cukup dominan dan provokatif.
Dan aku? Begini: aku tidak punya bakat atau katakanlah kecenderungan yang mengarah pada fungsionalitas atau akselerasi. Yang ada adalam benakku saat aku harus memilih adalah karena aku memang tidak punya skill dasar, fungsionalitas (ilmu yang aplikatif), cita-cita, dan sebagainya. Aku Cuma sedikit punya kesukaan membaca dan parahnya bukan buku-buku bahasa Inggris. Dan, ini sedikit penting, teman-temanku yang mengambil jurusan kajian Amerika adalah, menurutku, mahasiswa-mahasiswa yang punya high spirit dan outstanding people dalam kelas kuliah (semoga aku mendapatkan efek domino dari mereka).
Labels: Expresi Muda
Seorang yang sangat ingin bisa menulis berkisah: Aku datang pada seorang sastrawan yang sangat terkenal. Dia mendapatkan berbagai penghargaan untuk karya sastranya. Lalu aku bertanya pada beliau, “Bisakah Anda menceritakan bagaimana Anda menulis karya-karya, yang mendapatkan berbagai decak kagum dari para pembaca dan kritikus sastra?
Sang sastrawan tidak diaam tidak menjawa. Dia mengajak aku ke tempat kerjanya yang penuh dengan rak-rak yang rapi dan di dalamnya banyak buku-buku klasik dan modern. Dia menyalakan komputernya yang masih tampak tua namun bersih. Lalu dia duduk di kursi dengan tenang dan menarik laci keyboard. Dia memegang mouse dan membuka program Word 2007. Sang sastrawan mengetik lalu berkata dengan mantap, “Begini!” []
(Memulai belajar menulis lagi setelah pulang liburan selama satu bulan)
Labels: esai
Kesalahanku dalam kuliah, yang aku tidak ingin mengakuinya, adalah aku datang untuk mempertanyakan bukan menerima, sebagaimana teman-teman yang lain.
Mempertanyakan dan menerima memang bukan sebentuk pertentangan, sebenarnya. Tapi jika dihadapkan pada realita perkuliahan di Indonesia, keduanya seperti berlawanan, kontradiktif (yang dipaksakan). Setidaknya itulah yang saya rasakan saat berada di depan dosen dan membandingkan aku dengan teman-teman. Sistem perkuliahan yang dijalani oleh teman-temanku adalah menerima, dan dengan sendirinya dosen adalah seorang pemeberi ilmu, meski tidak bisa dikatakan pemurah (bandingkan dengan buku-buku, internet dll.).
Dalam sistem menerima ini diandaikan bahwa otak kita adalah sebentuk wadah gelas kosong yang dengan siap sedia menampung, yang kalau bisa semua ucapan (ilmu?) sang dosen. Disini terlihat kebodohanku yang sudah karatan dan mungkin harus diloakan. Ya, aku hendak membuat arah yang berbeda, aku hendak mempertanyakannya dan bukan menerima.
Tapi bukankah yang kita isi itu adalah otak manusia yang memiliki sistem kategorisasi (seperti yang dikatakan oleh Immanuel Kant tentang semboyan Pencerahannya) dan kita tahu otak kita bukan otak hewan juga bukan cuma gelas dan sekali lagi bukan hardisc komputer.
Barangkali sudah nasib otakku yang tragis (saya harap otak manusia abad 21 tidak) yang sudah sering terjadi konsleting, bukannya terkomputerisasi secara digital-mekanistik. Aku merasa otakku juga sudah mulai kalah dan hendak menyerah dan tidak ada lagi tekad dan keberanian untuk mempertanyakan, mendebatkan, mendiskusikan, atau bahkan mempolemikannya segala sesuatu yang masuk dalam otak kita.
Apakah aku akan kalah dan menyerah untuk tidak mempertanyakan? Aku sebenarnya sudah tidak tertarik apalagi berkoflik dengan kekuasaan sistem pendidikan kita, tapi bisakah kita menjalani hidup tanpa mempertanyakan? []
Labels: Expresi Muda