Friday, September 12, 2008
Dosa(kah) Mahasiswa Sastra Inggris?
Pada teman-temanku yang mengambil jurusan linguistik dan juga sastra (aku masih ragu untuk mengikutsertakan Penerjemahan dan Kajian Amerika: pernahkah dosen kita memasukkan keduanya dalam ranah sastra?), “Selamat Anda termasuk Mahasiswa Sastra (Inggris)!” Pentingkah ucapan selamat ini dan kenapa, kalau memang penting, aku harus mengucapkan selamat?Simply, kita sudah terstigma (disaklegkan) secara sosial-akademis, bahwa kita adalah mahasiswa sastra Inggris (Amerika). So, sudah seharusnya dan sepatutnyalah jika kita tahu dan belajar sastra dan linguistik. Namun yang menjadi kejanggalanku selama ini, mulai semester satu sampai semester enam kemaren adalah, aku—aku tidak tahu dengan teman-temanku—tidak pernah membaca satu karya sastrapun secara tuntas dan dengan pembacaan yang baik, baik itu puisi yang cuma beberapa baris apalagi novel yang berlembar-lembar.
Aku masih ingat saat Bu Nani memberikan tawaran (?) wajib untuk membaca novel Jane Eyre untuk mata kuliah Pengantar Kajian Prosa. Yang ada dalam pikiranku cuma dua hal: pertama, apakah aku akan sanggup membaca novel setebal lima ratus halaman lebih itu? Aku bingung apakah ini laik untuk dipertanyakan oleh mahasiswa sastra Inggris (?). Bukankah itu sudah seharusnya? Kedua, apakah Bu Nani benar-benar yakin dengan pilihannya, novel Jane Eyre? Apakah dia tidak tahu bahwa reading habit kita sangat memprihatinkan? Aku masih tidak percaya saat dia sudah menyodorkannya pada salah satu temanku untuk kita memfotokopi.
Dan yang lebih membingungkan, juga menjengkelkanku, adalah tidak ada seorang anakpun yang hendak menolak atau menggerutu terkait keputusan sepihak itu! Namun aku tahu, setelah Bu Nani keluar dan aku bertanya pada beberapa teman, ternyata mereka sebanarnya tidak setuju. Aku yang pada waktu itu duduk di depan pojok kanan sebanarnya ingin berontak dan meminta keringanan: 'mbokyo cerpen aja; kan sama-sama karya sastra! Lebih tipis dan ada jaminan akan dibaca sampai tuntas. So, kita bisa bahas dengan mendalam dan tuntas!'
Aku mencoba menenangkan diri dengan mengais sisa-sisa informasi yang tersimpan dalam otak, bahwa novel Jane Eyre adalah novel yang sangat bagus baik dari segi gaya penulisan, bahasa, dan tentunya isi yang sangat kontroversial-radikal pada zamannya: sebuah embrio pandangan feminisme; banyak kaum agamawan yang merasa dibakar jenggotnya di depan umum. Kemudian aku tahu, novel ini hampir senafas dengan novelnya Ayu Utami Saman dan Larung. (Inilah yang menjadi alasan Bu Nani. Logis.)
Maka yang terjadi adalah KITA hanya menonton filmnya, dan cuma membaca beberapa halaman yang hendak dipresentasikan. Semuanya cari sinopsisnya di internet. Aku masih ingat perasaanku saat teman-teman menanyaiku untuk memfoto kopi novel Jane Eyre: untuk apa aku memfotokopi buku yang tidak akan pernah aku baca, kalaupun iya paling cuma beberapa halaman? Akhirnya, karena alasan sosial aku juga memfotokopi. Aku tahu ada beberapa teman yang membaca lebih dari separuh, tapi sepengetahuanku mereka tidak mengambil jurusan sastra atau linguistik. Ya, semuanya nonton filmnya yang cuma sekita dua jam. Kalau bukunya?
Bukankah film dan novel, yang notabene tulisan itu, sangat berbeda? Yang satu audio-visual bergerak; yang satunya lagi adalah tulisan yang imajiner. Kita pun tahu bahwa sudah menjadi wacana umum bahwa setiap novel yang difilmkan tidak pernah benar-benar sama dengan yang asli (tulisan) sebab berbagai faktor. Banyak kritikus sastra dan film yang kecewa dengan adanya novel yang difilmkan (aku tidak perlu memberikan contoh untuk ini).
Ya, aku sebanarnya merasa berdosa. Anak sastra Inggris: nol baca buku sastra berbahasa Inggris! Belum lagi, ini aku tahu setelah agak sering membaca buku sastra Indonesia dan buku kritik sastra (berbahasa Indonesia), jurusan sastra (baik sastra Indonesia atau Inggris) tidak pernah atau sangat jarang menghasilkan (boro-boro meluluskan + sertifikat + ijazah) seorang sastrawan dan juga kritikus sastra! Aku semakin malu saat aku berkumpul dengan teman-teman anak TBS (Taman Budaya Jawa Tengah) yang sering ngeledek. Plus para pembicara dalam beberapa seminar dan workshop penulisan essai, kritik sastra, atau penulisan kreatif, mereka semua mencibir anak-anak sastra, yang nggak sastra banget!
(Kamu bisa bertanya pada diri dan hati sendiri: apakah ada dosen yang sastrawan yang lahir dari rahim jurusan sastra atau dosen yang sekaligus kritikus sastra yang benar-benar dari rahim jurusan sastra, dan diakui kekritikusannya oleh publik (sastra)? Jawabannya: Ada tapi suaaaaangggggggaaaat sedikit! Bisa dihitung dengan satu tangan yang cuma punya beberapa jari (ini masalah realitas sastra Indonesia. Sastra Inggris? Entahlah)! Tentang dosenku, yang aku hormati, kamu bisa bertanya adalah seorang di antara mereka yang benar paham masalah sastra Inggris baik klasik, apalagi yang kontemporer? Aku meragukannya, jika ada yang menjawab iya. Coba kamu pikir apakah ada dosen, paling tidak jurusan, yang berlangganan koran, majalah, atau jurnal sastra, apalagi menulis sastra dan kritik sastra dengan bahasa Inggris? Semua media ini mengabarkan perkembangan sastra yang cepat dan tercipta hampir setiap hari. Sempat dan mampukah mereka? Aku bukan meragukan kemampuan mereka. Bukan. Aku hanya mau mengatakan: mereka tidak punya aksessibilitas dan lingkungan yang akan mendukung mereka ke sana).
Aku toh pada akhirnya memilih Kajian Amerika dan bukan sastra atau linguistik. Aku punya beberapa alasan untuk ini dan, sayangnya aku tidak hendak menuliskannya di sini. Temanku Irfan Zamzami, mahasiswa sastra Inggris angkatan 2004 (cuma ada dua anak pada angkatan ini!) yang mengambil jurusan sastra dan juga karya sastranya[cerpen] pernah dimuat di koran lokal dan regional, mengatakah, “Fikri, satu-satunya teman saya di kelas sastra (bayangkan, betapa pragmatisnya mahasiswa sekarang, hingga kelas sastra hanya terdiri dari dua orang saja! hueh he heh),” (selngkapnya baca di blog fanzam.blogspot.com ). Dia ada benarnya saat mengatakan itu.
Tapi...ah. Apakah aku punya semacam dosa akademis?
Surakarta, 11 Sep. 08
Labels: Expresi Muda
1 Comments:
where are u now?
Post a Comment
<< Home