Wednesday, September 03, 2008

On Becoming an Americanist (2)

2/
Kajian Amerika (American Studies) adalah salah satu bidang kajian oksidentalisme yang sekarang mulai marak di beberapa universitas di Indonesia. Amerika sendiri bukanlah hal aneh dalam dunia wacana atau kajian tentang dunia barat. Hal ini tidak lepas dari sifat Amerika yang (1) jadi panutan sistem demokrasi yang ditopang oleh pengaruh luar negeri yang luar biasa (super power) dan (2) pengaruh amerikanisasi budaya pop yang dianggap sangat hegemonik hampir dalam semua bidang kehidupan. Amerika juga menjadi (3) produser para pemikir dan peraih nobel yang ditopang oleh universitas-universitas yang selalu masuk dan mendominasi dalam top ten university berdasarkan Time Higher Education Suplement.

Untuk yang pertama rasanya tidak mungkin mengabaikan pengaruh pemilihan presiden 2008 yang menampilkan tokoh utama Barack Obama, calon presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Amerika. Gema “obamanisasi” begitu terasa di Indonesia yang akan mengadakan acara lima tahunan, pemilihan umum dan pemilihan presiden. Barack Obama membawa semangat pentingnya kepemimpinan pemuda. Kita tahu bahwa saat obama masuk dalam nominasi bakal calon presiden Amerika banyak analis yang menganggapnya masih bau kencur (baru umur 40-an) yang harus bersaing dengan Hillary Clinton seorang senator New York yang sudah cukup berpengalaman. Indonesia sudah merasakan dampaknya dalam berbagai perdebatan wacana pemimpin muda dan iklan-iklan politik perorangan dari para pemuda, sebut saja Sutrisno Bahir, Rizal Mallarangeng, Ratna Sarumpaet, Fajrul Rahman, dan sebagainya.

Amerikanisasi sudah menjadi keseharian dalam hidup kita. Kita tahu bahwa semua manusia muda pasti adalah pemilik kaos dan celana jins. Kaos adalah produk budaya pop yang pertama kali dipopulerkan oleh Marlon Brando pada tahun 50-an (kalau aku tidak salah, sorri agak lupa) lewat film Hollywood yang dibintanginya. Begitu juga dengan celana para cowboy itu juga produk dari budaya pop orang Amerika. Dalam hidup kita hampir tidak mungkin menyingkir dari yang berbau Amerika. Sekali lagi inilah amerikanisasi dalam kehidupan kita. Makanan cepat saji, boneka barbie yang terjual jutaan keping perhari, dan sebaginya, dan sebagainya. Semua itu ditopang oleh perusahaan (industri) multinational.

Kau tahu negara mana yang paling banyak mengeluarkan dana untuk pendidikan sepanjang sejarah kehidupan manusia? Jawabannya satu: Amerika (aku lupa jumlah sebenarnya). Tidak mengherankan jika Amerika selalu menjadi rujukan utama untuk belajar di luar negeri. Dan tentu saja Amerika selalu mendominasi penghargaan nobel ilmu pengetahunan sejak akhir perang dunia II. Para peraih nobel inilah yang jugi menjadi daya tarik tersendiri bagi orang-orang pinter dan punya duit untuk belajar di Amerika, karena inilah motor utama penggerak researh university seperti Princeton University, Chicago University, Cambridge University dan sebagainya.

Memang tidak berlebihan jika Micheal Elliott menulis, “The World Cup isn’t the only field that America can’t dominate” pada majalah Time edisi khusus 2007. Saya percaya bahwa Amerika masih akan terus berjaya sepanjang pendidikan dan industrinya masih berdiri tegak bersamaan dengan, tentu saja, politik gedung putih tidak menjeruskan keduanya pada kesia-siaan dan penghancuran. []

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home