Jika sebuah komen utuh harus diberikan pada sebuah tulisan pribadi maka ini adalah kata-kata yang tepat tentangnya:
"Saya menulis untuk merekam apa yang telah dihapus orang lain ketika saya berbicara, untuk menulis ulang kisah yang telah ditulis secara salah oleh orang lain tentang saya, tentang mu. Untuk menemukan kembali diri saya, untuk menjaga kelangsungan diri saya, untuk menciptakan diri saya, untuk mencapai otonomi diri."
--Gloria Ahzalda
Ini adalah salah satu kutipan curhatnya, sebagai eviden kecil:
"Aku memang belum dewasa, seperti juga mereka. Aku butuh "teman", sebagaimana mereka. Ah, sudahlah. Aku sedang belajar hidup. Aku harus banyak menyesuaikan diri dengan mayoritas. Walau ini teramat sering kulakukan. Mau tak mau. Bukan berarti aku kalah dengan diriku sendiri. Bukan aku belajar menjadi orang lain, aku hanya ingin menjadi bagian dari lingkungan sosialku. Bagaimana aku dapat diterima, menjadi kawan seseorang dari kaum mayoritas, aku masih belum tahu. Yang jelas aku tidak mau memformat ulang otakku! Sekali lagi
aku adalah aku!"
begitu!
Labels: Expresi Muda
Setelah hidup sekian lama, ternyata hari yang paling banyak dikutuk dan ditunggu adalah Minggu. Semoga Anda tidak menglami Minggu kelabu…
Labels: esai
Isu yang paling porno dan seporno-pornonya porno adalah pikiran porno dan, ini yang penting, kita ternyata lelaki dan perempuan, yang kebetulan, punya alat kelamin. Karena, tanpa alat kelamin kita tidak pernah berpornoria…Labels: esai
Seandainya keadilan itu ada, maka kita tidak membutuhkan maaf. Maaf merupakan salah satu penghilang keadilan. Salah tetap salah. Dan maaf menghilangkannya, apapun alasan dan dalihnya…Tapi jika maaf tidak ada dan keadilan tak kunjung datang, maka sambutlah sebentuk neraka yang, terkadang, kita buat sendiri…Labels: esai
Andai menulis, berpikir, plus bertindak seenak masturbasi, onani, berhubungan suami-istri…Aku hendak melakukan setiap hari…
Labels: esai
JAKARTA -
Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai angka di atas Rp 100 juta, sementara setiap semester dapat mencapai Rp 70
juta.
...(headline KOMPAS,
Senin, 12 Mei 2008). Siapa yang mempunyai uang sebanyak itu? jawabannya pasti banyak orang Indonesia yang bisa membayarnya! Buktinya banyak juga orang Indonesia yang setiap Minggu pergi belanja di Orchid Road Singapura.
Sementara...
Penduduk Miskin Sulit Dikurangi
Dana Penanggulangan Kemiskinan Rp 58 Triliun
Senin, 12 Mei 2008 | 00:22 WIB Jakarta, Kompas - Target pengentasan kemiskinan yang diatur dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN diperkirakan gagal tercapai. Ini karena banyaknya hambatan yang membuat penurunan jumlah penduduk miskin sulit dilakukan, antara lain akibat kenaikan harga minyak dan makanan.
Ada dikotomi bahkan paradoks situasional yang terjadi dengan bangsa ini. Belum lagi rencana pemerintah menaikkan harga BBM (awal April). Sudah pasti akan menambah daftar orang-orang miskin baru (OMB).
Sudah menjadi perdebatan klasik bahwa untuk mengentaskan kemiskinan sungguh tidak cukup hanya dengan memberikan bantuan langsung tunai. Orang pasti harus mikir kira-kira supaya bisa makan besok harus pakai apa? Dan di sini pentingnya sebuah lapangan pekerjaan. Saat kita membicarakan lapangan pekerjaan maka secara tidak langsung kita akan membicarakan SDM. Saat membicarakan masalah SDM, kita akan membicarakan, lagi-lagi, pendidikan.
Sudah menjadi rahasia
bejat semua orang bahwa pemerintah belum mengalokasikan 20% dana APBN untuk pendidikan. Dan juga sudah menjadi rahasia dunia internasional bahwa kita berada pada urutan 100 sekian di antara 177 negara Asia.
Apa yang kita lakukan pada dunia pendidikan kita? Kita sudah (ke)terlalu(an) lama berdebat masalah dana dan UN yang tidak rasional...
KAPAN KITA AKAN MEMBICARAKAN BAGAIMANA MERAIH HADIAH NOBEL UNTUK FISIKA, KEDOKTERAN, EKONOMI, ....
OH PENDIDIKAN, OH PENDIDIKAN...
Labels: pendidikan
ku bertaruh dan sebelum bertaruh aku sudah kalah telak.
Aku melihat, mencoba menilai, dan memprediksi sebuah “gambar” tepatnya, bukan poster. Meski seharusnya yang dibuat adalah sebentuk poster. Indah oleh seekor ikan lumba-lumba abu-abu yang sedang berenang naik ke permukaan melewati perahu Pinisi megah mengarungi samudra, entah di mana. Tapi sepertinya di-setting di samudra Hindia, karena di pinggir atas dan bawah, nanti, ada tulisan, “Nenek moyangku orang pelaut…” dan di bawahnya, “Bukan sekadar impian, tapi wujudkan.”
AKu tahu akan kalah.
Tapi, aku akan terus bertaruh. Saat aku melihat dan saat itu ada kreatornya, aku ngomong, “kayaknya, poster ini akan menang. Dari segi konsep sebenarnya poster itu sederhana dan klise karena meniru sebuah souvenir. Tapi kalau kita melihatnya sebagai sebuah gambar maka akan tampak auranya: ia hidup. Meski menempati sebuah kahyangan. Dan inilah menurut aku letak kekuatannya. Ya, Cuma tempat kahyangan yang entah di mana, yang berarti juga sebuah sindiran jika dipadukan dengan tulisannya.”
Gara-gara ucapan itu, aku bertaruh dengan sang kreator. Menurutku, gambar itu kemungkinan untuk menang sekitar 50% ke atas. Dan aku tahu prediksiku itu membabi buta tanpa melihat kompetitor yang lain. Sekadar feeling, tidak lebih.
Taruhannya: kalau aku benar, yang berarti gambar itu menang, maka aku akan mendapatkan dua hadiah. Sedang kalau prediksiku keliru, yang berarti gambar itu kalah, maka aku akan mendapatkan satu hadiah.
Sampai di sini, sepertinya aku berada pada posisi yang “pasti” akan mendapatkan hadiah atau “menang”. Tapi di sinilah letak kekalahanku. Aku kalah sebelum bertaruh, kalah telak. Bukan saja, nanti, gambar itu memang kalah, tapi aku kalah dalam hal yang “lain”.
Rasionalisasinya begini, si kreator telah memenangkan sebuah tiket untuk temannya mengarungi Indonesia bagian timur di antaranya Sulawesi, Ternate-Tidore, Makassar dan bebrapa bagian lainnya. Aku? Kalah telak. Dan inilah letak kekalahanku yang paling dramatis-dilematis. Jadi, sebelum taruhan itu dimulai aku sudah kalah duluan. Dia lebih berjiwa besar dari pada aku, yang tentu saja pecundang dalam hal ini.
Kejadian ini mengingatkan aku pada sebuah “kisah untuk masa depan”. Saat itu, ibuku datang setelah sekian puluh tahun tidak bertemu. Aku masih duduk di bangku SMP dan semua anak sepertinya punya mimpi, cita-cita meski tidak semuanya aku dengar sendiri. Aku bingung mau menjadi apa dan belum ada profesi yang sreg dengan hatiku.
Maka, aku bertanya pada ibu, “Ibu pengin aku menjadi apa?” “Terserah kamu,” jawab ibuku yakin, dan tentu dengan pertanyaan dan jawaban dalam bahasa Madura. Aku terpukul. Tidak mungkin (ke)hidup(an) tanpa cita-cita dan impian. Aku masih ragu atas keyakinannya, karena ibuku tidak bisa membaca Latin, Cuma Bahasa Arab. Tapi aku tahu setiap ibu punya cita-cita pada setiap anaknya.
Aku bingung, padahal aku sudah memikirkannya lama sebelum aku bertanya pada ibu. Dan aku terus berpikir tentang dunia masa depan, dunia setelah saat itu (kecuali sekarang). Tentang cita-cita dan impian. Aku ragu dan bingun, maka aku terus terpikir dan berpikir.
Akhirnya, aku tidak pernah bercita-cita untuk diriku sendiri. Tidak akan. Aku, sejak saat itu dan sejak aku mulai berpikir, tidak pernah bercita-cita untuk diriku.
Aku berbelok dari cita-cita dan impian. Tapi aku tidak mau menjadi manusia kalah. Bukan tanpa apapun. Aku mau menjadi manusia sederhana, tidak terlalu besar untuk sebuah mimpi. Aku sekadar mau mewujudkan mimpi, cita, keinginan mulia yang dimiliki oleh manusia, meski tidak semua manusia.
Dan temanku, si kreator, telah melakukannya dengan sempurnya. Aku kalah, entah berapa..Aku tidak bisa menghitungnya dan aku tidak tahu kapan aku akan menang…[]
Surakarta, 3 Mei 2008
Labels: esai
ku sedikit banyak kaget membaca iklan keluarga Fuad Hassan di Harian KOMPAS (Sabtu, 3/5). Di harian itu disebutkan bahwa Fuad Hassan telah meninggal tanggal 7 Desember 2007 setelah dirawat di rumah sakit Cipto Mangonkusumo, Jakarta dan National University Hospital, Singapura. Haahhh? Benar, Beliau sudah meninggal dunia dan aku belum mendengar beritanya?!
Aku mengenal nama Fuad Hassan saat berada di Sidoarjo. Pada waktu itu aku punya penyakit aneh: “mencuri” Koran pondok dan buku-buku yang entah siapa pemiliknya. Aku menemukan sebuah buku yang tertera seorang pengarang bernama Fuad Hassan. Kalau tidak salah judul buku itu “Mengenal Eksistensialisme”. Sebuah buku tentang filsafat eksistensialisme yang sedang (saat buku itu ditulis) menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan budayawan. Dalam buku itu juga disebutkan beberapa tokoh filosofis-pemikir eksistensialisme seperti Sarte dan beberapa pengikutnya.
Aku pada waktu itu belum banyak tahu tentang apa itu eksistensialisme. Maklum anak desa yang baru kenal dengan buku dan merasakan betapa buku itu mengandung sebuah sihir yang maha dahsyat: dunia berubah karena buku. Dan itulah yang terjadi pada diri ini.
Aku merasa telah terlahir kembali, menjadi manusia baru setelah membaca buku yang begitu kuat ditulis oleh seorang yang penuh perjuangan dan pengabdian pada peradaban. Aku merasa bahwa setelah membaca buku yang bermutu sepertinya diri ini semakin sakti. Tangan menjadi semakin jauh jangkuannya. Kaki terasa melangkah ke negeri-negeri jauh yang tidak pernah ada di dunia ini, tapi ia benar-benar ada. Ia memberikan punggung ini sayap-sayap Jibril untuk terbang ke negeri hayali dan dunia pikir. Jauh, menantang, eksotik, penuh petualangan…
Ya, terlahir kembali karena untuk mencipta sebuah buku bermutu tidak cukup kita Cuma seperti membuat seorang bayi mungil semalam bahkan beribu-ribu bayi dengan penuh birahi menggebu-gebu! Kita butuh referensi, waktu, uang, dan tentu saja semangat yang ditopang oleh otak jenius yang terasah bertahun-tahun…Dan aku merasa terlahir dari proses itu.
Aku merasa orang yang bisa membaca tapi emoh membaca adalah semacam manusia buta tapi sebenarnya di punya dua mata fres yang bisa menikmati beraneka pemandangan, warna-warni alam, pikiran-pikiran manusia zaman dulu-sekarang,…Ya, dia manusia yang tidak mau membuka matanya kalau perlu untuk selamanya. Tidur dan mati sekaligus!
Aku merasa hidup beberapa tahun jauh lebih lama dengan mengarungi dunia yang penuh dengan pemikiran, pemandangan, kebudayaan, sejarah, keanehan ciptaan Tuhan…Bayangkan kita bisa membaca tulisan yang dikarang beberapa abad bahkan beberapa millenium yang lalu oleh orang yang paling jenius pada zamannya dan zaman kita sekarang! Semua dengan harga murah: membaca. Dan aku tidak perlu memperpanjang umur seratus millennium untuk membaca karya master piece-nya Plato, Aristoteles, Imam Bukhori, Newton, Imam Syafi’I, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.
Aku merasa itulah arti eksistensialisme. Penafsiran serampangan dari sebuah buku yang aku “curi” dan dikarang oleh Fuad Hassan. Aku yakin dia telah menjalankan pemikiran “eksistensialisme”, dengan penafsiranku tentunya, dan lebih eksis dari manusia yang tidak pernah membaca dan menulis!
Selamat tinggal Bapak Hassan. Aku merasa Indonesia telah kehilangan salah satu seorang pemikirnya. Aku menyesal karena jauh lebih sulit seribu juta kali melahirkan pemikir dari pada orang yang ogah mikir, seperti aku. Dan negeri dikenal berabad bahkan bermilenium karena para pemikirnya…[]
Surakarta, 3 Mei 2008
Labels: tokoh
uiiihhh, Cuihhh, Cuiiihhhhhh, aku benci sekali. Benci. Coba deh, temen-temen baca Koran beberapa tahun ini (nggak Cuma beberapa hari ini) terutama menjelang Hari Pendidikan Nasional. Isi semua Koran, majalah dan beberapa siaran televisi dan beberapa situs berita internet tidak lain kecuali kekecewaan, umpatan, tangisan, komplain, dan entah apa lagi bahasanya. Semua negatif, menyedihkan dan sangat tragis-ironis karena itu terjadi pada dunia pendidikan.
Sekadar contoh, aku ambilkan beberpa judul tulisan berita feature dan opini yang dimuat Harian KOMPAS sejak akhir April dan awal Mei 2008: “UN Harus Dihentikan,” “Sindrom Penghukuman,” (keduanya opini) “Peserta UN Kecewa, berita feature (KOMPAS, 30/4). “Hari Pendidikan Nasional Robohnya “Sekolah” Kami, (berita feature), “Pendidikan yang Menyesatkan,” “Pendidikan Ademokratis,” “UN, Berhala Pendidikan Nasional,” (keduanya opini) “Hardiknas Diwarnai Unjuk Rasa, berita feature (KOMPAS, 3/5). “Indonesia Butuh Guru Bangsa,” tulisan feature, dan “Sekolah Gartis, Pepesan Kosong” (KOMPAS, 28/4). Itu Cuma satu Koran. Belum Koran yang lain, majalah, televise, dan berita di internet.
Aku gamang dan buta: apa sebenarnya yang terjadi dengan dunia orang-orang pinter, akademis, Doktor, dan Profesor ini. Aku tidak sampai habis pikir, sepertinya, mereka yang pinter-pinter itu suaaaangat BODOH sekali. Tak berkutik. Diam satu bahasa: Emoh! Menyerah-kalah (?).
Apa semua berita itu Cuma isapan jempol belaka, bukan fakta, bukan realita, bukan sebuah cemoohan, bukan sebentuk kegagalan…Benar, ada beberapa berita dunia pendidikan yang sempat membesarkan hati kita, seperti beberapa anak bangsa yang merah piala olimpiade fisika internasioan. Tapi terus terang harus, sekali lagi harus, diakui itu bukan hasil dari system pendidikan yang dipakai. Tapi dari sebuah pencarian bibit unggul dan pelatihan tersendiri, yang dilatih secara khusus. Bukan hasil dari system pendidikan kita. Bukan.
Setidaknya itulah kesimpulanku yang didapat dari beberapa buku, tulisan artikel opini dan beberapa laporan berita.
Jangan pernah bertanya: kapan kita bisa menciptakan peraih nobel fisika-ekonomi-kedokteran-dll, peraih nobel perdamaian, peraih nobel sastra, penemu teori A, pencetus ide B,…? Sekali-kali JANGAN. Bukan maksud hati untuk HOPELESS, putus asa, ngggak ada harapan. Bukan. Tapi, coba kita pikir, selama ini kita berkutat dengan masalah dana, dana, dana, uang, uang, uang, kesejahteraa, kesejahteraan, kesejahteraan, inkompetensi guru-dosen, inkompetensi ini-itu, kekurangan peralatan, robohnya fasilitas C…Uh, stop, udah diperpanjang aja sendiri.
Menurut aku harus ada ide mendasar untuk membereskan dunia pendidikan. Katakanlah semacam “revolusi pendidikan”.
Aku heran kenapa ide atau teori revolusi lahir dari dan untuk (?) dunia sosial-politik. Menurut aku teori itu seharusnya terlahir dan teruntuk dunia pendidikan. Kita tahu, semua perubahan menuju yang baik tidak akan pernah berjalan dengan baik tanpa ilmu pengetahuan!
Uuuhhh. Aku benci membaca opini dan berita dunia pendidikan kita. Cuuiiihhhh!!![]
Surakarta, 3 Mei 2008
Labels: pendidikan