Sunday, May 04, 2008

Hahh…Fuad Hassan Meninggal?


A

ku sedikit banyak kaget membaca iklan keluarga Fuad Hassan di Harian KOMPAS (Sabtu, 3/5). Di harian itu disebutkan bahwa Fuad Hassan telah meninggal tanggal 7 Desember 2007 setelah dirawat di rumah sakit Cipto Mangonkusumo, Jakarta dan National University Hospital, Singapura. Haahhh? Benar, Beliau sudah meninggal dunia dan aku belum mendengar beritanya?!

Aku mengenal nama Fuad Hassan saat berada di Sidoarjo. Pada waktu itu aku punya penyakit aneh: “mencuri” Koran pondok dan buku-buku yang entah siapa pemiliknya. Aku menemukan sebuah buku yang tertera seorang pengarang bernama Fuad Hassan. Kalau tidak salah judul buku itu “Mengenal Eksistensialisme”. Sebuah buku tentang filsafat eksistensialisme yang sedang (saat buku itu ditulis) menjadi perdebatan di kalangan akademisi dan budayawan. Dalam buku itu juga disebutkan beberapa tokoh filosofis-pemikir eksistensialisme seperti Sarte dan beberapa pengikutnya.

Aku pada waktu itu belum banyak tahu tentang apa itu eksistensialisme. Maklum anak desa yang baru kenal dengan buku dan merasakan betapa buku itu mengandung sebuah sihir yang maha dahsyat: dunia berubah karena buku. Dan itulah yang terjadi pada diri ini.

Aku merasa telah terlahir kembali, menjadi manusia baru setelah membaca buku yang begitu kuat ditulis oleh seorang yang penuh perjuangan dan pengabdian pada peradaban. Aku merasa bahwa setelah membaca buku yang bermutu sepertinya diri ini semakin sakti. Tangan menjadi semakin jauh jangkuannya. Kaki terasa melangkah ke negeri-negeri jauh yang tidak pernah ada di dunia ini, tapi ia benar-benar ada. Ia memberikan punggung ini sayap-sayap Jibril untuk terbang ke negeri hayali dan dunia pikir. Jauh, menantang, eksotik, penuh petualangan…

Ya, terlahir kembali karena untuk mencipta sebuah buku bermutu tidak cukup kita Cuma seperti membuat seorang bayi mungil semalam bahkan beribu-ribu bayi dengan penuh birahi menggebu-gebu! Kita butuh referensi, waktu, uang, dan tentu saja semangat yang ditopang oleh otak jenius yang terasah bertahun-tahun…Dan aku merasa terlahir dari proses itu.

Aku merasa orang yang bisa membaca tapi emoh membaca adalah semacam manusia buta tapi sebenarnya di punya dua mata fres yang bisa menikmati beraneka pemandangan, warna-warni alam, pikiran-pikiran manusia zaman dulu-sekarang,…Ya, dia manusia yang tidak mau membuka matanya kalau perlu untuk selamanya. Tidur dan mati sekaligus!

Aku merasa hidup beberapa tahun jauh lebih lama dengan mengarungi dunia yang penuh dengan pemikiran, pemandangan, kebudayaan, sejarah, keanehan ciptaan Tuhan…Bayangkan kita bisa membaca tulisan yang dikarang beberapa abad bahkan beberapa millenium yang lalu oleh orang yang paling jenius pada zamannya dan zaman kita sekarang! Semua dengan harga murah: membaca. Dan aku tidak perlu memperpanjang umur seratus millennium untuk membaca karya master piece-nya Plato, Aristoteles, Imam Bukhori, Newton, Imam Syafi’I, Ibnu Khaldun, dan lain-lain.

Aku merasa itulah arti eksistensialisme. Penafsiran serampangan dari sebuah buku yang aku “curi” dan dikarang oleh Fuad Hassan. Aku yakin dia telah menjalankan pemikiran “eksistensialisme”, dengan penafsiranku tentunya, dan lebih eksis dari manusia yang tidak pernah membaca dan menulis!

Selamat tinggal Bapak Hassan. Aku merasa Indonesia telah kehilangan salah satu seorang pemikirnya. Aku menyesal karena jauh lebih sulit seribu juta kali melahirkan pemikir dari pada orang yang ogah mikir, seperti aku. Dan negeri dikenal berabad bahkan bermilenium karena para pemikirnya…[]

Surakarta, 3 Mei 2008

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home