Sunday, May 04, 2008
Aku Kalah, Tak Terhitung Berapa…
A |
ku bertaruh dan sebelum bertaruh aku sudah kalah telak.
Aku melihat, mencoba menilai, dan memprediksi sebuah “gambar” tepatnya, bukan poster. Meski seharusnya yang dibuat adalah sebentuk poster. Indah oleh seekor ikan lumba-lumba abu-abu yang sedang berenang naik ke permukaan melewati perahu Pinisi megah mengarungi samudra, entah di mana. Tapi sepertinya di-setting di samudra Hindia, karena di pinggir atas dan bawah, nanti, ada tulisan, “Nenek moyangku orang pelaut…” dan di bawahnya, “Bukan sekadar impian, tapi wujudkan.”
AKu tahu akan kalah.
Tapi, aku akan terus bertaruh. Saat aku melihat dan saat itu ada kreatornya, aku ngomong, “kayaknya, poster ini akan menang. Dari segi konsep sebenarnya poster itu sederhana dan klise karena meniru sebuah souvenir. Tapi kalau kita melihatnya sebagai sebuah gambar maka akan tampak auranya: ia hidup. Meski menempati sebuah kahyangan. Dan inilah menurut aku letak kekuatannya. Ya, Cuma tempat kahyangan yang entah di mana, yang berarti juga sebuah sindiran jika dipadukan dengan tulisannya.”
Gara-gara ucapan itu, aku bertaruh dengan sang kreator. Menurutku, gambar itu kemungkinan untuk menang sekitar 50% ke atas. Dan aku tahu prediksiku itu membabi buta tanpa melihat kompetitor yang lain. Sekadar feeling, tidak lebih.
Taruhannya: kalau aku benar, yang berarti gambar itu menang, maka aku akan mendapatkan dua hadiah. Sedang kalau prediksiku keliru, yang berarti gambar itu kalah, maka aku akan mendapatkan satu hadiah.
Sampai di sini, sepertinya aku berada pada posisi yang “pasti” akan mendapatkan hadiah atau “menang”. Tapi di sinilah letak kekalahanku. Aku kalah sebelum bertaruh, kalah telak. Bukan saja, nanti, gambar itu memang kalah, tapi aku kalah dalam hal yang “lain”.
Rasionalisasinya begini, si kreator telah memenangkan sebuah tiket untuk temannya mengarungi Indonesia bagian timur di antaranya Sulawesi, Ternate-Tidore, Makassar dan bebrapa bagian lainnya. Aku? Kalah telak. Dan inilah letak kekalahanku yang paling dramatis-dilematis. Jadi, sebelum taruhan itu dimulai aku sudah kalah duluan. Dia lebih berjiwa besar dari pada aku, yang tentu saja pecundang dalam hal ini.
Kejadian ini mengingatkan aku pada sebuah “kisah untuk masa depan”. Saat itu, ibuku datang setelah sekian puluh tahun tidak bertemu. Aku masih duduk di bangku SMP dan semua anak sepertinya punya mimpi, cita-cita meski tidak semuanya aku dengar sendiri. Aku bingung mau menjadi apa dan belum ada profesi yang sreg dengan hatiku.
Maka, aku bertanya pada ibu, “Ibu pengin aku menjadi apa?” “Terserah kamu,” jawab ibuku yakin, dan tentu dengan pertanyaan dan jawaban dalam bahasa Madura. Aku terpukul. Tidak mungkin (ke)hidup(an) tanpa cita-cita dan impian. Aku masih ragu atas keyakinannya, karena ibuku tidak bisa membaca Latin, Cuma Bahasa Arab. Tapi aku tahu setiap ibu punya cita-cita pada setiap anaknya.
Aku bingung, padahal aku sudah memikirkannya lama sebelum aku bertanya pada ibu. Dan aku terus berpikir tentang dunia masa depan, dunia setelah saat itu (kecuali sekarang). Tentang cita-cita dan impian. Aku ragu dan bingun, maka aku terus terpikir dan berpikir.
Akhirnya, aku tidak pernah bercita-cita untuk diriku sendiri. Tidak akan. Aku, sejak saat itu dan sejak aku mulai berpikir, tidak pernah bercita-cita untuk diriku.
Aku berbelok dari cita-cita dan impian. Tapi aku tidak mau menjadi manusia kalah. Bukan tanpa apapun. Aku mau menjadi manusia sederhana, tidak terlalu besar untuk sebuah mimpi. Aku sekadar mau mewujudkan mimpi, cita, keinginan mulia yang dimiliki oleh manusia, meski tidak semua manusia.
Dan temanku, si kreator, telah melakukannya dengan sempurnya. Aku kalah, entah berapa..Aku tidak bisa menghitungnya dan aku tidak tahu kapan aku akan menang…[]
Surakarta, 3 Mei 2008
Labels: esai
1 Comments:
Q tahu siapa yg dimaksud disini,tahu tidak,q bahkan tidak memikirkan soal menang kalah. Dad,dia sudah melakukan hal terbaik yg bisa dilakukannya,dan q hanya bisa membalasnya dg sebuah replika dari Phinisi yg ia buat. Memang,q tak memenangkan kompetisi itu,tp menang bsama kelompok Cengkeh q. Terlebih,bisa memenangkan hati teman-teman,its the biggest goal. Do u think so?
Post a Comment
<< Home