Monday, April 28, 2008

Kota Budaya: Mencipta Budaya-budaya

Membangun kota adalah obsesi besar komunitas manusia. Sejarah kota adalah bukti obsesi itu, dan belum selesai. Saat ini kita tengah memasuk sejarah kota metropolitan dan akan beranjak menuju kota megapolitan yang baru-baru ini sering kita dengar.

Sekilas, membangun kota sebagai kota budaya tampak janggal dibandingkan dengan membangun kota metropolitan apalagi megapolitan. Lalu apa yang kita harapkan dari pembentukan Solo (untuk tidak mengatakan atau mengklaim, “sebagai”) kota budaya? Menjadi manusia berbudaya dan membangun tempat, kota, yang berbudaya.

Kota budaya secara sederhana, saya kira, merupakan sebentuk wadah untuk proses penciptaan-penciptaan. Hal ini bisa dipahami, kalau kita memakai definisi kebudayaan yang pernah dipopulerkan oleh bapak pendidikan kita, Ki Hajar Dewantoro: “cipta, rasa, karsa.”

Dalam definisi yang sangat padat-singkat ini, kita akan menemukan sebuah kausalitas (penyebab-ke-akibat) yang berujung pada penciptaan. Cipta adalah olah pikir dari manusia. Hal ini adalah usaha pertama yang akan dilalui oleh manuisa untuk mencipta. Sedang yang kedua adalah rasa, bentuk batinah dari hasil pemikiran yang termanisfestasi dalam bentuk sikap budaya. Dan pada ujung prosesnya adalah ketarampilan mencipta, karsa.

Disinilah, dari tiga bagian proses berbudaya, bentuk-bentuk budaya diproyeksikan dalam kehidupan sehari-hari dalam tiga hal: mantifek, sosifek, dan artefak. Mantifek adalah produk budaya yang berbentuk ide atau pemikiran yang masih abstrak. Sosifek adalah hasil dari pemikiran dalam bentuk perilaku, sikap budaya. Sedang artefak adalah produk konkrit berbudaya yang bisa berupa batik, wayang, gamelan, candi dan sebagainya. Pada yang terakhir ini berbudaya menjadi kegiatan yang konkrit, kasat mata, yang bisa dirasakan oleh seluruh komunitas.

Namun selama ini sering kali kita terjebak pada satu bentuk pengejawantahan berbudaya yang khusus pada seni saja. Maka yang berkembang dalam kehidupan komunitas kota kita cenderung berorientasi pada seni saja.

Kerancuan ini disebabkan oleh pendangkalan penghayatan kita terhadap budaya itu sendiri dan sikap berbudaya kita. Hal ini, barangkali, muncul dari istilah budaya itu sendiri yang dipersempit dalam arti bahwa, setiap sesuatu yang bernilai tinggi dan eksotik (nyeni) maka dengan sendirinya kita menganggapnya sebagai budaya. Atau, bisa juga karena kegiatan berbudaya kita selama ini kebanyakan berbentuk seni saja tanpa melihat cakupan budaya itu sendiri.

Maka, disinilah tantangannya, saat kita memproyeksikan wadah komunitas kita sebagai kota budaya. Kota budaya secara harfiah tentu adalah sekadar wadah. Tidak lebih. Pada akhirnya, dengan sikap kebudayaan yang eksklusif (seni saja), kita akan terjebak pada hal-hal yang bersifat seni yang nampak antik dan eksotik.

Kita menganggap kota budaya adalah sebentuk kota yang dipenuhi oleh bangunan-bangunan kuno, peningggalan-penggalan kuno, barang-barang antik. Kita lupa bahwa kebudayaan itu harus dimulai dari pemikiran, membentuk sikap budaya, dan pada akhrinya adalah sebuah penciptaan budaya-budaya.

Proses berbudaya harus melalui tiga tahapan tersebut yang sekaligus mencipta produk-produk budaya pada tiap jenjangnya. Bahkan jika salah satunya tidak ada maka bisa dipastikan produk budaya yang tercipta sudah tidak berbudaya lagi. Kita akan terjebak pada budaya jiplak-menjiplak yang tidak kreatif-inovatif dan bahkan rendahan. Kalau hal ini terjadi maka kita sebenarnya telah beranjak dari fitrah kota yang berbudaya: mencipta budaya-budaya sebagaimana nenek moyang kita.

Kalau kita bisa menggunakan tiga kemampuan berbudaya tersebut, maka kita sangat laik untuk menyebut diri kita, komunitas kita, pada akhirnya kota kita, sebagai kota budaya. Disini kita akan menemukan berbagai aktivitas berbudaya yang terus menerus terjadi dalam ranah penciptaan-penciptaan. Kita akan menyaksikan tidak hanya Solo Batik Carnival, Solo International Ethnic Music, dan sebagainya, kita bisa menyaksikan hik festival, parade seni wayang yang ditampilkan di jalan-jalan utama, kita bisa menyaksikan berbagai perhelatan budaya personal atau komunal yang lainnya. Dan hal ini jika dilakukan terus-menerus akan menjadi sikap berbudaya kita, tradisi berbudaya.

Kita tidak akan terus menerus mengandalkan sisa-sisa kejayaan nenek moyang kita pada dunia bahwa kita adalah komunitas (kota) berbudaya. Kita akan membuat budaya kita sendiri yang akan kita wariskan (world heritage) pada dunia sebagaimana nenek moyang kita mewariskannya pada kita dan dunia.

Yang perlu kita lakukan adalah menyelami keberbudayaan kita. Memulai dari cipta; cipta menghasilkan rasa; rasa pada akhirnya akan membuahkan karsa. Dan itu kita lakukan dalam kota ini yang akan menjadikannya kota budaya.

Tentu, semua ini harus sesuai dengan proporsi posisi kita masing-masing mulai dari pemerintah sampai ibu-ibu yang di pinggir desa.Terakhir saya ingin mengutip pemantik polemik kebudayaan, Sutan Takhir Alisjahbana:

Jangan tanggung, jangan kepalang

Bercita mencipta

Bekerja memuja,

Berangan mengawan,

Berperang berjuang

Solo, 25 April 2008

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home