Monday, April 21, 2008
Malena: Cantik Itu Derita
Wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan jeritan;
dada segar yang mengentalkan darah dan jeritan;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni rumput berduri.
—Joko Pinurbo, “Gadis Malam Di Tembok Kota.”
Hei, cewek-cewek, gadis-gadis, perempuan-perempuan, wanita-wanita, apakah Anda semua sungguh ingin cantik, menjadi cantik, hendak cantik, bahkan tercipta cantik? Uh…pertanyaan super bodoh, dan juga jawabannya hiper bodoh jika ada di antara Anda semua mengatakan, “TIDAK.”
Bukti? Ah kayak tidak pernah menonton iklan-iklan saja: betapa banyak produk kecantikan di bumi ini yang memakai wanita-gadis-cewek-perempuan cantik. Dan betapa menjamurnya salon-salon kecantikan beberapa dekade ini. Betapa banyak majalah, tabloid, koran, televisi, internet mempropagandakan isu-isu kecantikan. Dan di sana-sini kita dibombardir dengan billboard iklan (ke)cantik(an) nun menawan plus menggiurkan.
Merasa, ingin, hendak, dan butuh cantik itu universal —sama universalnya dengan tampan, barangkali (belum?). Meski, orang-orang terus saja memperdebatkannya sepanjang hanyat, apa itu cantik, apa kriterianya. Banyak perbedaan di sana-sini—bukan hanya kriteria cantik itu sendiri. Tapi fakta universalitas ingin merasa, hendak, dan butuh cantik tidak terbantahkan. Bukankah Anda termasuk pengguna salah satu produk kecantikan? Sudah, jangan bohong terhadap diri sendiri!
***
Ironisnya, ada fakta universal yang tidak terbantahkan juga tentang (ke)cantik(an): cantik itu derita. Kesimpulan ini tergambar jelas dalam film Malena. Sebuah film epik besutan sutradara Giuseppe Tornatore tentang kekerasan atas dalih “cantik”, setidaknya itulah kesimpulan subjektif aku.
Adalah Malena Scordia (Monica Bellucci) si cantik yang berderita itu dan sekaligus sasaran dari kelukaan yang diderita oleh orang lain. Seorang perempuan paling cantik di kota Calkutta, Italia, yang ditinggal pergi oleh suaminya, Nino Scordia, seorang jenderal yang berperang di Afrika—film ini mengambil seting perang dunia ke-2 saat Italia dengan kekuasaan Fasis mulai memasuki perang dunia dan Jerman menduduki Itali.
Maka jadilah dia seorang perempuan yang berada di sarang penyamun. Semua orang siap-sedia menerkamnya hidup-hidup, tidak terkecuali perempuan dan bahkan anak laki-laki. Kita mulai dari kekerasan yang dilakukan oleh anak laki-laki enam bersahabat. Dan yang paling unik dari enam orang ini adalah Renato. Dia adalah seorang secret admirer terberat Malena di antara teman-temannya.
Dimulia dari keinginannya untuk menjadi anggota “Geng Lelaki Dewasa” di antara temannya yang masih berumur 12 tahunan. Dia sendiri sudah berumur 12 tahun saat dia mempunyai sepeda, sebuah persyaratan untuk bisa diterima di “Geng Lelaki Dewasa”.
Mereka setiap hari menunggu mangsa mereka yang sangat masyhur di seantero Calkuta sebagai wanita berbokonng paling seksi. Renato terhipnotis oleh bokongnya, oleh buah dadanya, oleh garis wajah yang siap ia terkam.
Tentu dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan hasratnya itu. Dan untuk itu segala imajinasinya mulai menjadi liar untuk disalurkan dan pada akhirnya dia sampai pada kekerasan imajiner terhadap perempuan yang hanya tinggal sendiri itu.
Dia sangat mencitai Malena, tentunya. Tapi di balik cinta itu ada sesuatu yang sangat liar dalam hasrat-hasrat yang membuncah. Maka terjadilah setiap adegan kekerasan imajiner yang dilakukan oleh seorang anak berumur 12 tahun. Mulai dari kekerasan pembunuhan atas nama cantik terhadap temannya di arena Coluseum. Dia membayangkan dirinyasebagai gladiator yang menang dan menunggu perintah untuk membunuh temannya. bahkan dia bertengkar dengan temannya karena temannya mengijek Malena.
Dia melakukan semua yang perlu dan harus dilukakan oleh tuntutan hasrat-hasrat cinta terhadap yang cantik: dia menyetubuhi Malena, mencumbui bibir Malena yang tipis sensual, dia meraba-raba buah dada Malena tanpa ampun dalam buaian manis tangan anak berumur 12, dia memakai celana dalam Malena sebagai topi agar dia bisa tidur nyenyak, dan sebagainya. Semuanya terjadi dalam alam imajiner yang dia ciptakan dengan sempurnya di atas ranjang reot berderit-derit saat dia melakukan “aksi” yang sebenarnya dengan bantuan “tangan-tangan hasrat”. Sampai dia harus membubuhi oli pada bagian pegas-pegas ranjang tuanya karena mengganggu orang tidur.
Pada akhirnya dunia imajiner tidak cukup baginya. Dia sakit, terobsesi akan percintaan yang nyata. Ibunya menduga dia dirasuki setan. Dia memanggil pendeta untuk menyembuhkan. Gagal. Ayahnya yang tahu dia terobsesi akan percintaan yang nyata membawanya ke pusat lokalisasi. Dia sembuh.
***
Kekerasan yang berikutnya tentu saja dilakukan oleh semua lelaki Calkuta, kecuali ayahnya sendiri. Ayahnya adalah seorang professor tapi mengajar anak-anak SD, termasuk gengnya Renato. Di kelas, setiap murid secara terang-terangan memohon ijin untuk memperkosa anaknya, Malena. Untung, si ayah tuli sehingga dia mengiyakan setiap permohonan murid-muridnya, yang dia sangka mau ke kamar mandi.
Hal ini jelas berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh para lelaki. Tapi, aku menduga semua lelaki pernah melakukan kekerasan imajiner terhadap Malena sebagaimana Renato. Si sutradara Tornatore menggunakan Renato bocah berumur 12 tahun cuma untuk menggambarkan satu hal: kalau anak sekecil Reanto sampai sebegitu parahnya apalagi seorang dewasa!
Gambaran hal ini bisa kita lihat pada saat Malena memotong rambutnya dan mencat merah tua menyala dengan gelombang-gelombang. Dia melangkah menyusuri pelataran kota Calkuta dengan rok pendek dan tas dikepit di pinggang. Semua mata mahklu hidup saat itu menatap tajam padanya. Setiap langkahnya seakan sebuah busur yang menyerbu seluruh penduduk kota untuk menjadikan mereka mati dengan mata terbuka dan mulut menganga. Semuanya, termasuk anak-anak dan ibu yang cemburu karena suaminya molotot.
Sampai di tengah kerumuan penduduk Calkuta, dia menduduki sebidang kursi dan mengeluarkan sebatang rokok lalu ditempelkan pada bibir merah merekahnya. Sejurus kemudian puluhan tangan sudah berada di depan bibirnya dengan berbagai model dan merek korek api yang menyala-nyala. Korek-korek itu menunggu penghargaan dan kehormatan dari premepuan idaman seluruh laki-laki.
Anehnya, Malena tidak melihat kepada siapapun. Dia cuma melirik ke kiri dengan ekspresi dingin. Entah siapa yang mendapatkan kehornmatannya. Aku merasakan dia seakan-akan berkata: “akulah perempuan yang kalian semua tunggu-tunggu untuk menjadi tumbal dari hasrat-hasrat kelelakian kalian. Aku adalah seonggok tumbal di atas altar yang siap kalian korbankan demi keserakahan hasrat percintaan. Silahkan puaskan nafsu-nafsu setan kalian terhadap perempuan. Akulah tumbal. Aku tahu itu. Oleh karena itu aku tidak perlu mengatakan apapun. Tidak perlu kalian tahu bahwa aku menderita.” Korek api itu seakan menandakan nafsu yang sedang menyala-nyala panas siap membakar.
Malena diam tanpa suara.
Dia dipaksa menjadi PSK oleh seorang pengacara yang telah memenangkan perkaranya dan juga oleh seorang jendral Jerman yang dengan kelicikannya Cuma memberikan makan pokok atas pemerkosaannya.
Dan Malena hanya diam. Kalah.
Kita tahu, sepanjang scene Malena hampir tidak pernah berbicara. Tapi seluruh ekspresi mukanya seakan mengatakan semuanya: aku adalah derita. Semakin aku mengatakan bahwa aku menderita maka hal itu akan tambah melukai. Bahkan setelah dia bertemu kembali dengan suaminya, ekspresi Malena tetap sebentuk ekspresi derita perempuan cantik.
Yang lebih tragis lagi adalah saat tentara Jerman hengkang dari Calkuta karena kalah perang. Pada saat itu ibu-ibu yang tidak pernah mendapat kesempatan mengkerasi Malena sontak mendadak beringas. Mereka mempreteli Malena dari ujung rambut sampai ujung kaki lalu mengusir Malena dari rumahnya. Dia pergi dengan pakian yang tercabik-cabik oleh gunting dan cakaran keji tangan-tangan perempuan dan ibu-ibu.
Barang kali benar kalau Eka Kurniawan mengatakan “cantik itu luka.” Dan setiap luka adalah derita. Jadi cantik adalah derita. []
0 Comments:
Post a Comment
<< Home