Sunday, April 13, 2008
Maaf, Mahasiswa Malas
P |
erasaan. Aku mau bercerita tentang perasaan yang mengganjal dalam dalam setiap pembacaanku akan beberapa buku yang menceritakan tentang wajah budaya belajar. Dan ini Cuma sekadar catatan seorang yang paling malas di dunia. Catatan Malas Seorang Mahasiswa.
Dalam beberapa buku dikatakan bahwa hampir setiap mahasiswa Indonesia yang belajar ke luar negeri merasakan shocked culture yang mengguncang tapi terasa begitu enak, lezat, membuncah, melumat. Aku ingin menamakannya sebagai shocked culture of study.
Aku baru saja membaca buku Edensor, fiksi+fakta barangkali. Dalam salah satu bagian disebutkan bahwa ada beberapa tipikal mahasiswa yang sangat kental terkait dengan budaya belajar yang sudah menjiwai mereka karena system budaya belajar yang mereka gunakan. Diceritakan bahwa mahasiswa dari Inggris, sering dipanggir The Brits, memilki tipikal belajar yang suka berdebat, dari Amerika suka berdebat juga namun penuh dengan provokasi dan pada akhirnya mereka akan mencari alibi atau berkoalisi untuk mendukung pendirian mereka. Tipikal belajar mahasiswa dari Jerman adalah seorang mahaiswa yang sistematis, metodis dan well prepared. Sedang dari Belanda, mereka tipikal mahasiswa yang pendiam, namun analitis handal. Dari cina digambarkan sebagai seorang akuntan yang akurat dan komunal. Dari Indoensia? Rasakan sendiri, bayangkan sendirilah. Atau baca saja kesimpulan Andrea Hirata.
Yang mengusik saraf-saraf kejengkelanku adalah kenapa mereka bisa memiliki tipikal yang demikan? Apa yang salah dengan system budaya pembelajaran kita? Ya, ini bukan pertanyaan yang logis, barangkali. Ini pertanyaan konyol yang emotif yang tidak akan pernah ditanyaakn oleh para pendidik kita, oleh para guru TK, para guru SD, oleh para guru SMP, oleh para guru SMA, bahkan oleh para guru (dosen) di pereguruan tinggi S1, S2, S3, lebih gawatnya lagi oleh para birokrat yang berjejer di DIKTI! Bodoh sekali diri ini.
Ya, bodoh karena itu Cuma ada dalam buku-buku fiksi yang sangat mungkin sekali dimanipulasi. Tapi anehnya, setiap guru yang pernah belajar di luar negeri dan sedikit mempelajari bagaimana mereka bisa mengalami shocked culture of study, sepertinya ini bukan perkara fiktif. Dan saat mereka menulis tentang system budaya pembelajaran kita, aku merasakan, sekali lagi merasakan, ada nada getir yang penuh kuatir: kita bangsa malas belajar. Itulah kesimpulan mereka, tentu dengan diksiku yang barang kali sedikit berlebihan.
Tapi anehnya, seorang Ignas Kleden pada tahun 1988 pernah menuliskan (baca buku yang sudah klasik namun asyik Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Diterbitkan oleh LP3ES. Hlm. xlv) rasa malunya saat ditanya oleh temannya yang seorang professor Jerman, kenapa di Indonesia tidak ada budaya berdebat, diskusi, dan polemik? Dia menjawab bukan pada professor itu tapi pada seluruh jajaran intelektaul Indonesia bahwa kita masih berbudaya ngobrol ngalor ngidul doang!!! Sangat parahnya lagi, ini berlaku sampai sekarang! Sudah berapa tahun samapai sekarang? Kita ngapain aja selama ini? Huhhh, barang kali aku yang sangat bodoh yang tidak mengikuti perkembangan terkini (?).
Dan sangat anehnya lagi, Penerbit Kanisius menerbitkan buku dengan judul yang sangat provokatif, miris, liris, emotif, penuh dengki (?), dan tentu bukan berdasarkan prasangka: “Pendidikan: Hanya Melahirkan Air Mata”. Buku itu adalah kumpulan tulisan para orang peduli pendidikan yang diselenggarakan oleh KOMPAS dalam sebuah seminar refklesi pendidiakan kita. Dan dieditori oleh Sindhunata. Kebetulannya, hampir semua penulisnya pernah belajar keluar negeri! Aku sungguh malu saat mau membaca buku dengan judul yang sangat-sangat…
Seandainya aku diperbolehkan memberikan sedikit makalah aneh dalam seminar yang bergengsi itu maka aku akan memberikan judul makalah singkatku: Maaf, Mahasiswa Malas. Aku tidak akan memberikan sebuah makalah ilmiah yang analitis, penuh data-data kebobrokan system budaya pendidiakn Indoensia. Aku hanya mau bercerita tentang mahkluk aneh dari luar angkasa yang masih bayi dan seumur hidupnya tetap mau mengukuhkan diri menjadi bayi. Forever baby.
Saat masuk sekolah puaaaling dasar, TK, katakanlah begitu, dia sudah didulang oleh seorang ibu yang sangat welas asih. Dia sering kali masih nangis-nangis plus masih penuh ingus bergentayangan di sudut-sudut mukanya yang lugu. Ini berlanjut sampai lulus. Masuk SD, dengan sedikit kenakalan yang mulai menyusahkan, dia tetap disuapi dengan baik. Saat SMP dan SMA keadaan tidak jauh berbeda. Mereka disuapi dengan penuh perhatian meski mereka, waktu disuapi, sedang asik mengggunakan HP baru yang sedang gandrung-gandrungnya. Tangan kanan mereka sedang asyik menekan tombol-tombol angka-angka dan huruf-huruf saat sedang disuapi. Mereka masih duduk dengan tegap.
Keadaan ini mulai berlanjut pada waktu mereka berada dibangku kuliah. Bahkan lebih parah. Mereka dengan posisi duduk yang lebih santai, selain menekan tombol huruf mau ngirim sms ke pacar, sedang membuka friendster, email,…Sedang dosennya pada ngomong tanpa henti tidak perduli mau didengar atau tidak. Tapi mereka senang sekali karena masih saja disuapi.
Aku jadi ingat sebuah cerita tentang seorang ibu yang mengajarkan anaknya cara makan. Pada waktu masih bayi, dia menyusuinya dengan penuh kasih sayang. Waktu anaknya memasuki usia anak-anak, dia mulai menyuapinya makan yang agak susah dikunyah. Pada saat remaja, dia Cuma memberikannya nasi lengkap dengan sayurannya. Si anak disuruh makan sendiri. Dia juga mengajaknya pergi ke sawah dan kebun yang mereka miliki untuk sedikit membantunya. Pada waktu dewasa, si anak disuruh menanam sendiri segalanya untuk apapun yang dia inginkan tidak cuma makan.
Aku jadi ingat Andrea Hirata, dalam Edensor, yang menceritakan supervisornya Professor Turnbull yang sangat emoh dan marah mengurusi hal-hal dasar dari riset yang dilakukan oleh Si Ikal. Aku merasakan adanya shocked culture of study pada si Ikal. Kasihan sekali dia karena sudah dibesarkan dalam budaya yang… Tapi untungnya dia bukan MAHAsiswa yang malas. Meski terseok-seok dan terbirit-birit mengejar teman-temannya, dia berhasil.
Aku jadi miris: ternyata aku malasan. Tapi aku ingin merasakan shock culture of study. Kamu?
©M. Fauzi.
1 Comments:
Tau tidak,q sedikit menduga,3 sks sejarah bahari Indonesia bs slesei dlm wkt 5 hari di Maluku Utara (ajari 3 q kmaren) lho ! Bandingkan jika qt kuliah di kampus??
Post a Comment
<< Home