Monday, October 06, 2008

Catatan Kuliah Perempuan Amerika (1)

Pembebasan wanita dalam bingkai feminisme pada perang dunia pertama dan kedua memang banyak perbedaan, terutama dalam hal keberpendidikan wanita. Wanita pada perang dunia pertama masih banyak yang tidak berpendidikan dibandingkan wanita setelah perang dunia kedua. Berdasarkan kesimpulanku yang sederhana, hal ini disebabkan oleh kebutuhan akan tenaga kerja wanita berpendidikan dalam berbagai sector untuk menggantikan pria yang pergi berperang, terutama sector perekonomian dan kedokteran.

(Jadi bisa dibilang bukan karena factor kesadaran kesetaraan antara wanita dan pria!)

Apakah pendidikan cukup banyak berperan dalam perubahan yang mengarah pada kesetaraan wanita setelah perang dunia kedua? Pendidikan sebagai jawaban, untuk berkata iya, menurut saya masih langkah awal.

Pembebasan wanita secara umum mengalami dua hambatan. Pertama, hambatan kultural. Wanita sudah terkonstruksi secara cultural selama ribuan tahun. Hal ini karena, kedua, kultur budaya patriarki sudah menjadi permasalahan structural yang timpang dan banyak dianggap wajar dan alami. Sehingga kedua hambatan ini menjadi simbiosis yang saling mengukuhkan satu dengan yang lainnya.

Maka dua pemecahan harus dilakukan, yaitu pemahaman berbasis kultural dan pengikisan struktur yang partriarkis. Yang pertama memberikan justifikasi akan kesetaraan wanita dan pria. Hal ini bisa dilakukan dengan pendidikan yang membebaskan. Sedang untuk yang kedua, setelah yang pertama berjalan, adalah pemberian kesempatan kepada wanita dalam ranah public sebagai langkah pengikisan rintangan struktural, seperti pemberian kuota 30 % (kenapa Cuma 30 %?) kursi parlemen (DPR/DPRD) pada sektor pemerintah, dan pemberian kesempatan kepada wanita untuk menduduki jabatan ketua atau jajaran direksi dalam ranah swasta.

Kembali pada wanita setelah perang dunia kedua. Menarik untuk dicermati dan mempertanyakan, terutama berkaitan dengan pendidikan yang menjustifikasi ke arah naiknya wanita secara structural: bukankah pada akhirnya yang menjabat posisi atas adalah wanita-wanita berpendidikan? Lalu bagaimana dengan wanita yang tidak pernah mengenyam pendidikan yang jumlahnya jauh lebih banyak?

Kesimpulan sementara saya: feminisme model di atas adalah feminisme borjuis yang memihak wanita-wanita yang memiliki uang (modal) dan memiliki akses structural seperti anak pejabat saja untuk bebas. (Kartini menurut saya masih terjebak dalam kerangka modal dan structural ini; sehingga untuk dikatakan bahwa dia adalah pejuang feminis masih diragukan karena dia bergerak dan dibesarkan oleh struktur patriarkis; kecuali kita memasukannya dalam pejuang feminis borjuis.) Sedang jutaan wanita yang tidak berpendidikan Cuma sekadar melihat. Kita barangkali banyak mendengar wanita menjadi menteri dan CEO, tapi seberapa banyak wanita menjadi kepala desa (selama aku hidup, aku belum mendengar wanita menjadi kepala desa)?

Apakah ini “visi-misi” feminisme?

Bahkan yang lebih parah adalah, jika wanita yang naik adalah bukan karena factor kesadaran-kesetaran, tapi karena factor pencitraan. Mereka yang menaikkan (para patriarki baik wanita atau pria) Cuma ingin menyampaikan pesan secara simbolik-visual bahwa sekarang wanita sudah memiliki kesetaran dengan pria, meski Cuma satu wanita saja dan di-perintah bukan memerintah. Hal ini sangat kentara pada saat Megawati menjadi presiden. Dengan kata sederhana, Cuma untuk memberikan mimpi pada jutaan wanita yang malang di pelosok-pelosok desa, baik di Amerika ataupun di Indonesia, saya kira.

Di sini pada akhirnya, menurut saya, pertarungan bukan lagi pembebasan wanita terhadap struktur dan kultur yang patriarki yang mendominasi nan hegemonik, tapi juga pembebasan wanita terhadap wanita, antara yang berpendidikan dan bermodal dengan yang miskin dan terlantar.

Tapi sayang sebelum aku akhirnya bertanya, jam kuliah sudah selesai.

Catatan: saya lebih suka menggunakan kata perempuan dalam konteks Indonesia dari pada kata wanita; perempuan lebih berkonotasi dan bertendensi sosio-politis seperti prasa etos politik perempuan, wanita lebih cenderung sosio-ekonomik yang structural seperti dalam prasa wanita karir. Tapi dua kata ini sering bertukar tempat. So, maaf kalau ada konotasi yang kurang pas.)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home