Tuesday, October 07, 2008

Pemberontak Peradaban


“Lebih dari sekadar cinta, uang, kepercayaan, popularitas, ataupun sekadar rasa keadilan. Beri aku kebenaran,” jawab Christopher Johnson McCandles, mengutip perkataan Henry David Thoreau, seorang filosof asal Prancis yang banyak menulis tentang demokrasi Amerika, saat ditanya oleh teman sepetualangnya yang dia temui dalam pengembaraan.

McCandles (diperankan oleh Emily Hirsch), hidup dalam keluarga yang mapan secara ekonomi. Ayahnya adalah seorang staf ahli antena NASA; ibunya adalah seorang konsultan keuangan. Namun keduanya hendak bercerai saat ibunya tahu bahwa suaminya ternyata pernah menikah dan memiliki dua anak yang ditelantarkan. Setiap hari mereka bertengkar. McCandles merasa dirinya adalah seorang anak haram karena bapaknya belum menceraikan istri yang pertama.

McCandles dalam film Into the Wild, adalah anak yang sangat cerdas dan rajin. Suka membaca buku-buku filsafat dan sastra yang ditulis oleh Tolstoy, Thoreau, Jack London dan sebagainya. Dia lulus dengan nilai A plus atau minus untuk semua mata pelajaran di Emory College (sekolah persiapan masuk universitas di Amerika, semacam D3). Namun saat perayaan kelulusannya di sebuah bar, konflik keluarga semakin membuatnya mantap untuk menjadi pengembara. Orangtuanya bermaksud membelikannya mobil Cadillac baru. Namun McCandles menolaknya dan terjadi pertengkaran.

Sejak saat itu, keinginan McCandles untuk mengambil jurusan hukum di Yale University dibatalkan. Dia pergi dari rumahnya, menghilangkan indentitas, membakar semua kartu ATM, kartu kredit, karmas, dan menyumbangkan U$ 24.000 tabungan persiapan kuliah pada OXFAM America, lalu mengembara seorang diri. Di tengah perjalanan di membakar semua uang yang dipegangnya dan hanya berbekal ransel yang penuh dengan buku-buku dan beberapa perlengkapan perjalanan.

Lalu, dia “melahirkan” dirinya sendiri. “Aku butuh sebuah nama,” katanya saat ingin mengubah diri dan melahirkan diri sendiri, “Ya, Alexander Supertramp (Alexander sang pengembara super),” katanya sedikit berteriak, berpuas diri. Dalam buku catatannya dia menolak semua bentuk kebudayaan yang mengagung-agungkan materi. “Aku adalah seorang ekstrimis, pengelana estetik, yang rumahnya adalah jalanan. Tak lagi teracuni oleh peradaban,” katanya.

Saat sampai di Alaska McCandles berkata, “Uang, kekuasaan, hanyalah ilusi. Semua ada di sini. Freedom and simple beauty is too good to pass up (kebebasan dan kecantikan sederhana terlalu bagus untuk dilewatkan).”

Selama dua tahun pengembaraannya, (1990-1992), hidup nomaden, dia menemukan banyak hal tentang kehidupan dan bertemu dengan berbagai orang. Dari pasangan pengembara dengan bus pariwisata pribadi, seorang pasangan hippie yang ceweknya telanjang dada tanpa rasa risih dari Belanda, seorang cewek cantik di bawah umur yang pandai menyanyi tapi bersedia berhubungan suami istri, bekerja sebagai buruk tani murah…Tentang petualangannya sebagai seorang nomaden, dia berkata, “Jika kita mengakui bahwa kehidupan manusia bisa diatur oleh suatu alasan, kemungkinan untuk hidup akan musnah.”

Di Alaska McCandles tinggal dalam sebuah bus (Voks Wagon) ronsok yang tergeletak dipinggir sungai. Dalam bus itu semua peralatan makan, tidur, dan beburu sudah tersedia. Setiap hari dia makan daging hasil buruan dan memasak sedikit nasi, beras hasil kerja sebagai petani, yang dia kurangi setiap minggu untuk menghemat perbekalan.

Setelah tujuh minggu hidup dalam bus, di Alaska seorang diri, perbekalannya habis dan musim sudah berganti musim dingin. Dia hendak meninggalkan Alaska, tetapi tidak menemukan jalan: sungai yang dulu dilewatinya berarus deras dan tidak bisa dilewati. Dia kembali ke bus tanpa persediaan makanan. Lapar yang ditahan; mencoba bertahan. Pada musim dingin yang mulai disinari panas matahari dan salju sedikit mulai meleleh, dia bangun dalam keadaan tanpa kekuatan.

Dia tahu, hidupnya tinggal beberapa menit saja. Dia memakai baju dan memandang matahari bersinar keluar. Terbaring lemah. Semua membayang: pelukan ayah-ibu yang hangat yang dipenuhi senyuman bahagia: dia sudah tahu tentang satu hal. “Happiness only real when shared. I have had a happy life and thank the Lord. Good bye and may God bless all.”

Matanya mengalirkan butir-butir airmata kebahagian, lalu dia bernafas untuk yang terakhirnya.

Sampai disini, samapi saat kematiannya yang masih membayangkan kedua orangtuanya, perjalanan-petualangan McCandles sebagai pengelana estetik yang hendak anti perdaban peradaban materi, digambarkan tidak mengalami kehidupan yang tragis atau utopis, sebagimana sering dijumpai pada film-film barat. Namun Sean Penn tidak terjebak pada pemenuhan pada nilai-nilai atau kata-kata petuah disepanjang film. Kata-kata puistis baik dari para filosof ataupun dari McCandle sendiri tersebar sepanjang perjalanannya.

Into the Wild, disutradarai oleh Sean Penn, adalah sebuah film tentang pencarian kebenaran dan eksistensi. Sebauh film adaptasi dari tulisan Jon Krakauer atas petualangan-pengembaraan Christopher Johnson McCandles yang meninggal di Hutan Alaska , Amerika Serikat, dan ditemukan dua minggu kemudian setelah kematiaanya oleh seorang pemburu tikus hutan. Pembuatan film ini cukup lama, lebih dari dua tahun, karena Sean Penn harus mengulang beberapa adegan yang sangat terkait dengan keadaan alam atau cuaca yang berbeda bulan dan tahun, tentunya. Kesabaran ini memang tidak sia-sia. Kita bisa menyaksikan pemandangan alam yang menakjubkan dan film ini memperoleh penghargaan, diantaranya, The Best Cinematography dalam ajang festifal Golden Globe.

Film yang wajib ditonton oleh mereka yang mencari jati diri, suka membaca buku-buku “berat”, dan pemberontak peradaban materialisme (Amerika).

0 Comments:

Post a Comment

<< Home