Monday, November 10, 2008

Narasi Ekologi

“Adalah kehadiran manusia,
yang menaruh kepentingan atas adanya makhluk yang lain”
—Dennis Diderot

—1
Narasi ekologi adalah interupsi. Ia hadir dalam kehidupan manusia yang sibuk dengan diri manusia. Manusia yang sibuk mempertanyakan diri sendiri. Manusia yang sibuk mengatur diri manusia. Manusia yang sibuk mengurus perut manusia. Manusia yang sibuk memandang manusia. Dan hutan, pohon-pohon yang ditumbangkan? Siapa peduli!?
Narasi ekologi adalah interupsi sejenak dari pemikiran panjang manusia tentang manusia, oleh manusia, untuk manusia. Sejak manusia bisa berpikir, hal pertama yang dipikirkannya adalah kenapa dia bisa berpikir, bagaimana dia berpikir, untuk apa dia berpikir dan apa yang seharusnya di peikirkannya. Untuk membuktikannya, tidak perlu dengan mendatangkan Rene Descartes untuk mencetuskan slogan filosofis terbesar, tercanggir dan termashur: cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada. Tidak perlu mendatangkan Martin Heidegger untuk mendekonstruksi besar-besaran sejarah pemikirna manusia: aku ada maka aku berpikir. Semua sama: berpikir tentang manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Bukankah itu yang selalu dan selalu kita pikirkan? Dan hutan, pohon-pohon yang dibakar dan dirobohkan? Siapa peduli!
Kita mendengar pengumuman besar, maklumat akbar, seakan ia adalah tiupan terompet penanda kiamat: Akhir Sejarah, dari Francis Fukuyama . Semua terperangah, kaget dan geregetan, kok!, dan semua pemikir sama-sama membantah dengan sedikit pengecualian. Kata Fukuyama, kini akhir sejarah, yang ditandai dengan kemenangan ide-ide barat: liberalisme, demokrasi, dan pasar bebasnya. Mereka dan kita manusia, tentu saja, takut akan kehilangan lahan subur spekulasi dinamika perpikiran mereka-kita. Mereka-kita, para manusia, sepertinya, ada semacam kesengajaan umum untuk tidak berpikir, seandainya pohon-pohon tumbang satu-satu, hutan-hutan menyusut dan menghilang, air lautan meningkat, lalu hendak berkata: inikah barangkali akhir sejarah yang kita abai atasnya semala ini.
Narasi ekologi adalah interupsi sejenak dari, seperti kata Samuel P Huntington, konflik-konflik besar, benturan peradaban (Clash of Civilization). Inti semua ini adalah manusia, yang ditunggangi oleh kebudayaan yang berbeda, melawan manusia, homo homini lupus. Mereka-kita tidak akan pernah berpikir untuk melawan alam, atau alam akan melawan kita semua. Tidak. Pikiran seperti itu, pada zaman sekarang, adalah masih pikiran naïf seorang pemimpi di siang bolong yang masih perlu menyalakan lampu berjuta watt untuk membangunkannya.
Narasi ekologi adalah interupsi dalam kesibukan manusia yang memandang dunia dengan alat pembesar ilmu pengetahuan dan yang dia temukan: kebesaran manusia. Lahirlah berbagai pemikiran yang tajam, gerakan kesenian patung, lukisan, sastra, teknologi, film dan sebagainya. Semua mengabsenkan diri dari alam, pohon-pohon. Dan kalaupun ada, seperti yang dilakukan oleh Thomas Maltu, yang manusia lihat adalah betapa hebatnya manusia menguasai alam, membuat patung-patung yang natural, menulis keindahan alam, melukiskannya, memfilmkannya…Dan hutan, pohon-pohon yang ditebang sembarangan? Siapa peduli!
Bagi Anda yang pernah pergi ke perpustakaan, maka Anda boleh menghitung seberapa banyak buku yang ditulis oleh manusia tentang alam dan untuk alam itu sendiri. Anda tidak akan mampu menghitung berapa banyak buku yang menceritakan tentang manusia, oleh manusia, dan untuk manusia. Tapi, sebaliknya, Anda tidak perlu menggunkan sepuluh jari untuk mencari buku tentang hutan-hutan, tentang pohon-pohon, tentang pelestarian alam. Pertanyaannya adalah kemana para cendekiawan-cendekiawan kita, kemana para professor-profesor kita, kemana para akademisi kita, kemana para penulis-penulis kita? Apalagi, buah pemikiran yang dipraktekkan oleh para pengambil kebijakan seperti para politisi? Atau, sebaliknya, perlukah pertanyaan ini diajukan di tengah hiruk pikuk narasi manusia?
Inikah hasil dari kebudayaan (dunia) kita, narasi peminggiran ekologi? Apakah ini yang kita sebut sebagai ekologi, sedang ekologi itu sendiri adalah pengharmonisasian antara system manusia dan alam semesta?

—2
Kenapa semua pengabaian ini bisa terjadi? Setidaknya ada dua alasan yang mendasari semua ini. Pertama, masuknya ilmu Alam dalam kesadaran manusia pada abad ke 17. seperti kita tahu, ilmu Alam adalah ketakjuban manusia akan akal budi manusia, bukan ketakjuban terhadapap rasionalitas alam. Alexander Pope, penyair Inggris termasyhur pada abad itu, menyatakan dengan sangat baik:

“Nature and Nature’s laws lay hid in night:
God said, Let Newton be! and all was light.”
—Alexander Pope

Alam yang semula gaib-mistik, penuh dengan aura yang menakjubkan bahkan menakutkan, ternyata tunduk dalam hukum alam yang rasional. Alam yang semula gelap laksana malam (hid in night) menjadi terang benderang. Bahkan Pope mengatakan, seraya seakan mewakili Tuhan (berhakkah dia?), biarkan Newton menjelaskan, maka alam beserta seluruh rahasianya akan menjadi terang benderang, laksana cahaya (light). Alam bukan lagi medan yang perlu dihadapi dengan gentar, penuh gemetar di hadapannya. Ia bukan lagi kegelapan; ia cahaya yang tertaklukan.
Dalam kehidupan kita, hal ini sangat jelas sekali teraplikasi. Orang tidak perlu lagi menundukkan muka saat dia berada di bawah pohon-pohon besar. Orang tidak perlu lagi meminta peruntungan pada pohon-pohon dengan menghidangkan sesajen. Orang tidak perlu lagi permisi dengan memberikan berkat saat hendak merobohkan sebatang pohon untuk pembangunan rumah tinggalnya. Orang-orang sadar bahwa dalam kehidupan mereka, mereka harus terus menerus menjaga system keseimbangan hidup antara kehidupan mereka dengan alam, dengan hewan, dengan manusia.
Bagi kita, orang-orang yang mengaku beriman, hal ini tentu saja menyalahi aturan, system keimanan. Maka mereka sering diserang dengan kata-kata keji: syirik, irrasional, mistik kuno, kufur, murtad, laknat…Hampir semua agama ibrahimi menyakini bahwa alam tercipta untuk manusia, sebagai mana Ralph Waldo Emerson mengatakannya, “The world exists for you…Built therefore your own world.”
Ilmu Alam juga membuka jalan untuk pembuatan teknologi oleh manusia. Sejak abad ke-17, perkembangan ilmu pengetahuan memasuki babak baru dengan ditemukanya berbagai mesin, terutama yang paling menonjol adalah ditemukannya mesin uap yang menghasil industri. Alam, mau tidak mau, menjadi bahan utama dari mesin-mesin industri yang berkembang dengan pesat. Pembanguna rel kereta api yang mengharuskan ditebang-dirobohkannya ribuan bahkan jutaan pohon. Juga, untuk menjalankan mesin kereta api dan kapal. Eksploitasi alam mulai tidak terkontrol. Bahkan di abad 21 ini, keadaan semakin menampakkan kebrutalan manusia terhadap alam. Manusia lebih memilih perut segelintir orang dari pada menyelamatkan alam. Dan eksploitasi alam menjadi keadaan (bukan pilihan) yang tak terhindarkan.
Ada ironi dengan datangnya ilmu Alam (Nature/Nature’s Law). Dengan datangnya ilmu Alam, bukan sebuah penghargaan yang alam dapatkan, tapi pengrusakan besar-besaran. Dengan semakin terungkapnya hukum-hukum alam, bukan keinsafan yang semakin mendalam, tapi keserakan yang merajalela. Dengan datangnya ilmu Alam, bukan melestarikan alam yang kita lakukan, tapi merusak alam.
Kedua, manusia adalah narasi yang tiada matinya. Tidak seperti alam yang dianggap sudah selesai, pembicaraan tentang manusia atau pendefinisian tentang manusia, berikut yang berkaitan dengan manusia, adalah sebagian masih misteri yang belum tersingkap. Timbulnya berbagai ideology dan berbagai cabang ilmu pengetahuan adalah bukti nyata terhadap kekurangan terhadap definisi manusia. Pendefinisian manusia yang beelum usai ini mau tidak mau akan mengembangkan berbagai spekulasi dan dinamika pemikiran tersendiri tentang manusia.
Pemikiran tentang manusia hanya selesai dalam kaitannya dengan agama. Atau, definisi manusia berdasarkan agama, petunjuk Tuhan dalam bentuk wahyu-wahyu. Namun, dalam kehidupan yang hampir semaunya tersekulerisasi ini, dimana agama sepertinya mengizinkan terhadap eksploitasi alam, ….
Tidak seperti alam, manusia adalah makhluk yang sangat dinamis dalam sejarah peradaban. Setiap manusia membuat gerak di siutlah terjadi berbagai pemikiran, interpretasi, spekulais, metodologisasi, teoritasasi, yang semuanya seakan tidak pernah berhenti dan selesai. Maka tidak mengherankan jika manuisa sibuk memikirkan tentang manusia itu sendiri. Bukakah ini sebuah lahan yang sangat manis untuk menumbuhkan berbagai pemikiran? Tidak ada topik yang pailing banyak ditulis, dibicarakan, difilmkan, dilukis, atau entah apalgi, selain manusia itu sendiri.
Tentang masalah alam, sejauh itu tidak berkaitan dengan ihwal manusia, sangat sedikit kita menemukan hal ini menjadi perhatian manusia. Maka tidak mengherankan jika alam sepertinya adalah bahan diskusi yang sangat membosankan, bahan pemikiran tanpa spekulatif, tidak dinamis, dan, tentu saja, tanpa tujuan dalam alam itu sendiri. Tujuan adalah mengenai manusia, untuk manusia, dan sedikit tentang dan untuk Tuhan.

—3
Narasi ekologi, sebagai kebalikan dari narasi manusia, memang akan terus dibawah baying-bayang manusia. Ia cuma sekadar interupsi. Tapi,separah itukah narasi ekologi, bahkan seperti akan menemukan jalan buntu selama manusia masih berkuasa? Manusia, meski menjadi penyebab kerusakan alam, mau tidak mau tetap juga harus manusia yang memperbaiki. Manusia, saya yakin, tetap akan menjadi factor penyelamat alam.
Maka mau tidak mau kita harus mengangkat narasi ekologi, paling tidak sebagai sebuah kesimbangan. Di sini kita membutuhkan sebuah kerangka kerja atau landasan pemikiran. Pemikiran yang pernah ditulis dan bahkan sekarang cukup menjadi sorotan memang cukup memberikan kita harapan. Tapi, yang menkadi kendala selama ini adalah kepemimpinan ekologis lokal dan nasional.
Harus diakui bahwa kepemimpinan ekologis lokal (daerah) adalah catatan-catatan kegagalan. Bahkan, targisnya. bisa dikatakan bahwa kepemimpinan lokal dengan visi-misi ekologis tidak (pernah) ada. Sejak era reformasi bergulir, kita terpaku pada peralihan kekuasaan dari pusat ke daerah dalam porsi yang tidak wajar sehingga masalah ekologis menjadi terabaikan. Hal ini tampak jelas sekali dalam masalah pembalakan liar (kenapa media tidak menggunakan kata penghancuaran hutan?).
Yang terjadi adalah banyak pemimpin daerah yang terjerat kourpsi terkait masalah ekologis (hutan), baik dengan para cukong atau bahkan dengan para anggota dewan yang berada di senayan. Contoh kasus terbaru dan sangat menghebohkan adalah Al Amin Nasution yang tertangkap basah di sebuah hotal sedang transaksi pembayaran atas pemberian izin pengalih fungsian hutan lindung untuk kawasan industri.
Harus diakui bahwa kampanye yang mengedepankan masalah ekologis sudah dapat dipastikan tidak akan laku dijual kepada masyarakat. Pendidikan gratis, pelayanan kesehatan gratis, dan penyediaan lapangan kerja, adalah komoditas politik yang sangat laku sekali di masyarakat kita. Praktis isu-isu pembalakan hutan, penanaman pohon, penanganan kebakaran hutan, dan seterusnya, adalah komoditas poitk yang terpinggirkan dari hiruk pikuk pemilihan pemimpin daerah.
Di tengah mahalnya biaa pendidikan, naiknya BBM, kesulitan mencari kerja, isu-isu ekologis adalah sebuah ilusi bahkan sekadar untuk dipikirkan. Masalah-masalah keseharian tentu saja lebih nyata dan membutuhkan penyelesaia yang segera.
Memang tidak semua daerah memiliki kekayaan alam yang melimpah. Bahkan daerah yang memiliki kekayaan yang melimpah, gizi buruk malah menjadi keseharian. Hal ini semakin meminggirkan masalah ekologi.
Tapi seperti dikatakan oleh Aldous Huxley, “Hanya kalau setiap dari kita sadar bahwa masalah utama yang sedang kita hadapi [sekarang] ini adalah masalah-masalah ekologis, kehidupan politik kita akan menjadi lebih baik dan lebih realistik.” Terutama di daerah-daerah yang sangat melimpah dengan kekayaan alam seperti Kalimantan, Irian Jaya, Sumatra dan sebagai, tentu sangat membutuhkan pemimpin yang bervisi-misi ekologis. Pemimpin ekologis yang revolusioner yang berani tidak popular.
Terkahir semoga nyanyia seperti yang dibawakan oleh Iwan Fals ini tidak akan pernah lagi kita dengarkan:

Lestarikan alam hanya celoteh belaka
Lestarikan alam mengapa tidak dari dulu
Oh mengapa…
Oooo…. Jelas kami kecewa
Menatap rimba yang dulu perkasa
Kini tinggal cerita
Pengantar lelap si buyung

Bencana erosi slalu datang menghantui
Tanah kering kerontan banjir datang itu pasti
Isi rimba tak ada tempat berpijak lagi
Punah dengan sendirinya akibat rakus manusia

Surakarta, 31 October 2008

0 Comments:

Post a Comment

<< Home