Monday, December 15, 2008

Kurban: Saat Manusia Kepepet


KURBAN, barang kali, adalah sebuah pengakuan yang ajaib, bukan mukjizat, saat semua ilmu dan semua usaha manusia tidak memadai. Pada saat itu manusia kepepet dengan nasibnya sedang segala perlengkapannya, rasionalitas, intuisi, dan hati tidak memungkinkan dan tak berguna. Dan yang tertinggal hanya korban (kurban) dalam balutan keyakinan bahwa itu perintah Tuhan, tidak lebih.


Kurban bisa terjadi saat yang tersisa adalah yang tercinta sekaligus penghabisan, yang dijadikan taruhan, media pencapaian. Di sini, kurban-kurban seperti unta, sapi, atau kambing, yang dilakukan oleh orang kaya, sepertinya tidak akan menyentuh momentum ketidakberdayaan manusia untuk berusaha dan yang dia punya hanya kurban. Kurban, sesuatu yang pada dasarnya tidak masuk akal, di luar jangkuan manusia, tapi harus dilakukan karena adanya keyakinan bahwa itu adalah perintah Tuhan. Dan kita dengan segala perlengkapan kemanusiannya , sepertinya, tidak boleh untuk menggunakannya.


Pada peristiwa kurban pertama yang dilakukan oleh Ibrahim terhadap anaknya yang tercinta, Ismail, semua peralatan dan pertimbangan manusia, etika, moral, rasionalitas, intuisi, dan sebagainya, tidak memadai. Bahkan, sebagaimana kita dengar dalam ceramah dan khotbah, sepertinya, manusia dilarang berpikir tentang tugas yang tidak masuk akal manusia itu. Tapi toh, Ibrahim tetap dengan niatnya untuk mematuhi Tuhan. Dia memberitahu anaknya perihal mimpi (wahyu)-nya dan menanyakan pertimbangan Ismail sendiri. Di sini, dalam dialog terkenal itu, kita seperti menyaksikan sesuatu yang demokratis. Ibrahim tampak tidak memaksakan kehendaknya pada Ismail yang akan menjadi kurban dari ketaatannya. Ismail juga menerima dengan kesabaran dan kebesaran jiwa—suatu sikap yang melampui umurnya. Tapi, adakah perintah tuhan itu sesuatu yang demokratis, dalam arti Ibrahim dan Ismail berhak memiliki pertimbangan untuk menolak atau melaksanakan?


Aku belum menemukan atau mendengar pertimbangan Ibrahim dalam berbagai ceramah dan khotbah. Ibrahim dan Ismail toh tetap dengan pertimbangannya: mimpi itu wahyu Tuhan, dan, barangkali, adalah naïf mengukur pertimbangan Tuhan dengan perlengkapan manusia seperti nalar, moral dan sebagainya. Ibrahim dan Ismail berangkat pada altar pengurbanan hanya dengan mimpi yang mereka yakini tanpa keraguan sedikitpun.


Yang dipegang oleh Ibrahim untuk menyembelih (kalau ingin lebih halus mengkurbankan) anaknya yang tercinta, Ismail, hanya mimpi atau katakanlah wahyu. Kita tahu, dengan wahyu itu Ibrahim menghadapi krisis: sebagai seorang bapak yang mencintai tapi harus menyembelih, sebagai seorang manusia yang, sepertinya, melanggar semua pertimbangan kemanusiaan. Tapi bukan dari dirinya semacam karena dia tak mampu berpikir untuk mencari solusi lain, keterbatasan fisik, dan sebagainya. Krisis itu datang dari tuhan yang pernah dicari dan dipertanyakanya secara rasional. Kita mungkin akan maklum jika yang menjadi penyebab krisis adalah kemanusian Ibrahim, yang sering kita dengar bahwa manusia itu daif. Tapi yang menyebabkan krisis itu Tuhan. Dan Ibrahim Cuma sekadar mengikuti sekenario Tuhan yang di luar jangkuan nalar manusia.


Ibrahim tampaknya tidak segarang dan tidak serasional pada saat ia mencari-mempertanyakan Tuhan itu sendiri, atau pada saat ia tidak yakin bahwa Tuhan bisa menghidupkan orang mati yang dicacah menjadi kepingan-kepingan kecil dan disebar ke empat penjuru angin dan Tuhan tetap bisa menghidupkannya kembali. Yang terjadi adalah, seorang Ibrahim yang percaya penuh dengan mimpinya dan keyakinannya pada Tuhan, dalam kepasrahan total.


Dalam hal kurban, Ibrahim sepertinya sudah insaf karena berbagai peristiwa di atas telah membuktikan eksistensi Tuhan dan kekuasaan Tuhan, sehingga tidak timbul berbagai pertanyaan. Katakanlah pertanyaan seperti berikut ini: masuk akalkan perintah membunuh-mengurbankan anak yang sangat dia dambakan dan dicintanya? Bermoral, beretika, dan berakhlakkah (dalam ranah manusia dengan manusia, bukan manusia dengan tuhan) jika dia benar-benar melakukan perintah itu? Untuk apa pengorbanan Ismail dilakukan dan atas dasar apa? Untuk membuktikan keyakinan dan kepatuhan-ketaatan pada Tuhan—dalam balutan kefanatikan dan sikap apriori? Atau sekadar perlunya Ibrahim menyadari ketakmemadainya sebagai manusia, ciptaan Tuhan yang paling sempurna (meski tak secara otomatis yang paling mulia)?


Jika semua perlengkapan kemanusiaan manusia, rasio, intuisi, etika, moral, dan sebagainya tidak memadai, hingga kita menyerahkan semuanya pada wahyu sedang kita tidak lagi mempunyai seorang nabi dan rasul, juga bukan nabi atau rasul, dan saat korban adalah momentum titik zenith krisis manusia, lantas pada apa kita berpegang dalam kondisi seperti Ibrahim,? Menunggu mimpi atau wahyu?

.
Para agamawan-ulama barangkali dengan enteng akan mengatakan: semua sudah terwahyukan dan manusia tidak akan memasuki area krisis yang dialami oleh Ibrahim-Ismail, juga Tuhan tidak akan memerintahkan hal-hal “seperti” yang Ia pernah perintahkan pada Ibrahim. Yang perlu dilakukan oleh manusia adalah yakin-pasti pertolongan Tuhan, sepanjang kita, manusia, taat pada perintahnya dan menjauhi larangannya. Dan kalau toh Tuhan memerintahkan hal seperti itu pada manusia, tuhan punya sekenarionnya sendiri dan pasti ada hikmah di balik semua itu.


Jika masalahnya demikian, yang dirayakan dalam peristiwa kurban bukan suatu tragedy kemanusiaan, seburuk, seterkutuk, sejelek, dan setidakmasuk akalnya semua itu dalam pertimbangan manusia. Tapi sebuah optimisme akan adanya pertolongan Tuhan—meskipun wujudnya barangkali seperti bom bunuh diri. Ya, pengakuan yang ajaib tentang pertolongan Tuhan dan ketakmemadainya manusia. Maka, menjadi logis jika kita bertanya: siapa yang mau mengakui dua hal ini: kediktatoran tuhan vs kelemahan manusia?

Surakarta, December 12, 2008

0 Comments:

Post a Comment

<< Home