Wednesday, November 05, 2008
Buku, Kata, dan Kita
“Asal mula adalah kataJagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi”
—“Kata” oleh Subagio Sastrowardoyo, penyair Indonesia
“Buku bisa menjadi harta karun yang ditinggalkan oleh para jenius besar bagi umat manusia, yang diwariskan dari generasi ke generasi sebagai hadiah bagi mereka yang belum lahir.”
—Joseph Addison, penyair dan sastrawan Jerman
“Generasi 1942-2006 adalah generasi nol buku, rabun membaca, pincang mengarang, sungguh tragis.”
—Taufiq Ismail, penyair Indonesia
—Buku: Harta Karun Para Jenius
Orang-orang Eropa tersentak membaca buku tentang sebuah negeri lumbung padi tapi penduduknya kelaparan, tertindas, dan dipekerjakan secara paksa tanpa upah dengan cambuk yang terus mendera dari belakang, sebuah negeri yang dipimpin oleh kerajaan-kerajaan boneka dari sebuah kerajaan kecil di benua Eropa. Penulisnya, Multatuli, dalam buku Max Havelaar banyak menginspirasi dan menjadi buku bacaan wajib pendiri sebuah repubrik yang kelak pada 17 Agustus 1945 memproklamirkan kemerdekaannya, yaitu Indonesia .
Apa hendak dikata: surat-surat Kartini terbaca juga oleh masyarakat umum Indonesia bahkan dia tidak akan menyangka surat yang ditujukan pada sehabat penanya yang terpisah benua tersebar tetap dibaca sampai sekarang. Dia pada masa hidupnya tidak banyak dikenal. Cuma dibaca oleh beberapa temannya.
Apa boleh buat: “Aku ingin hidup seribu tahun lagi!” teriak kuat Chairil. Dan siapa bilang Chairil telah mati, sedang kata-katanya masih tetap dibaca, diapresiasi, dan terus mengalirkan beragam tulisan ?
Apa lacur, buku-buku Pram dilarang beredar di negerinya sendiri oleh rezim Orde Baru yang menginginkan ketenangan, yang hendak mengusir semua brisik. Pram dan Soeharto memang sudah mati, dan larangan buku-buku Pram tetap berlaku. Namun kita tahu: buku adalah ”cerita setan” yang tetap hidup mengikuti seluruh perjakanan manusia. Buku Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, dan beberapa bukunya tetap dibaca pada masa Orde Baru secara sembunyi-sembunyi oleh mahasiswa Indonesia. Mereka mendengar kebesaran gaung buku Pram di dalam dan apalagi di luar negeri. Buku-buku Pram tetap hidup.
Anak Madura krempeng dan cukup jelek itu, Ahmad Wahib, mencatat pengalaman kegagalan berpacaran, kemiskinan yang terus membuntutinya pada masa kuliah, kritik terhadap lingkungannya, keinginan kuliah yang tak sampai karena keburu meninggal, …Catatannya tidak dikenal selama masa hidupnya. Tapi temannya, Johan Effendy, menemukan di kontrakan Wahib dan menerbitkannya. Catatan-catatannya yang dijadikan buku itu, terutama kritik-kritik keagamaan yang tajam, menuai protes keras. Kalangan agamawan meminta buku itu dilarang beredar. Tapi toh buku itu, Pergolakan Pemikiran: Catatan Ahmad Wahib, terus dibaca hingga saat ini.
Hal yang hampir sama terjadi pada mahasiswa UI yang suka naik gunung dengan temen-temennya, kemudian memberi nama Mapala (kelak semua universitas meniru nama ini), nonton film dan menulis catatan. Dia Soe Hok Gie. Kemudian, catatannya diterbitkan menjadi buku, Catatan Seorang Demontran. Gie meninggal karena kecelakan pada saat naik gunung tapi catatannya terus dibaca.
—Kata: Scripta Manent
Apa istimewannya sebuah kata yang termaktub dalam buku dan malah Cuma sekadar catatan harian yang sepele, mampu memberikan inspirasi, menimbukan protes keras dan sebagainya? Dan bagaimana mereka bisa menulis hal-hal ”sepele” seperti itu?
Adalah sangat menarik dan barang kali akan sedikit kontroversial bagi sebagian orang Indonesia, apabila kita menilik perkataan pemikir Prancis Jean Paul Sartre: “Telah ku temukan agamaku; tak ada yang lebih penting dari buku! Aku memandang perpustakaan sebagai tempat ibadahku!” Pengakuan tersebut menyiratkan secara eksplisit betapa sebuah catatan, dalam bentuk buku sampai catatan harian baik manual atau elektrik, akan menjadi sangat penting.
Sartre barang kali sadar betapa pentingnnya sebuah buku. Buku nilainya sama besar dan pentingnya dengan agama itu sendiri. Namun maksudnya, saya kira, adalah sebuah pembacaan atas berbagai hal, dulu, sekarang, dan yang akan datang. Semua ini memang tertera dalam berbagai kitab-kitab suci agama-agama manusia.
Dengan berbagai catatan itu manusia bisa meringkas-melipat berbagai fiksasi, keterbatasan-keterbatasan, yang diakibatkan oleh ingatan yang lemah-terbatas, waktu, juga ruang. Buku membuat kesalahan yang pernah terjadi tidak usah lagi diulangi oleh manusia pembaca. Dalam pembacaan (ulang)-nya terhadap berbagai hal, ia telah bergerak pada penyelamatan diri, kolektif, bahkan sebuah dunia. Inilah inti dari berbagai agama, saya kira. Sebuah penyelamatan terhadap hakekat kemanusiaan Manusia.
Namun untuk sampai ke sana adalah sebuah keniscayaan bagi manusia untuk mulai menulis sambil membaca: sebuah ibadah pertama dalam kehidupan manusia modern dan klasik. Keduanya harus menjadi sebuah kebudayaan yang mengakar dalam tradisi, mulai dari ”tradisi” diri pribadi, tenntunya. Inilah yang seharusnya menjadi inti sebuah gerakan kemanusiaan, termasuk gerakan mahasiswa sebagai kaum muda (calon) intelektual.
Dan gerakan ini akan menjadi lengkap jika ditambahkan kata ”pemebelajaran”: Gerakan Pembelajaran. Sebuah gerakan yang mengandaikan bahwa manusia adalah entitas-yang-menjadi, dengan terus menerus belajar. Dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak dewasa menjadi dewasa dan sebagainya. Untuk itu ia membutuhkan sebuah alat untuk berevaluasi: tulisan, baik dari diri sendiri atau orang lain.
Pada tahap pembelajaran ini, manusia akan terus bergulat dengan berbagai permasalahan dari yang sepele sampai kompleks-filosofis. Dua-duanya memiliki ruang tersendiri. Manusia, juga pada tahapan ini, akan terus bergelisah, resah, galau, atas pelbagai ketimpangan, ketidakadilan, keculasan, kegilaan, dan sebagainya. Semua ini akan menjadi proses kreatifnya dalam belajar, seperti halnya Gie, Wahib, Frank sampai yang terbaru anak-anak SMA mbeling di Amerika, para Freedom Writers .
Dan sebagai produk terakhir sekaligus tujuannya adalah pencerahan-penyelamatan atas berbagai permasalahan yang menimpa diri kita atau, kalau bisa, dunia tempat kita menginjakkan kaki. Pertanyaannya kemudian adalah beranikah kita membuat catatan-catatan, meski kecil-kecilan? Permasalahannya adalah bukan kita tidak bisa, tapi sering kali kita tidak menyadari betapa pentingnya catatan-catatan tersebut. Sekali lagi beranikah dan maukah kita melakukannya?
—Kita: Generasi Nol Buku?
Manusia terlahir dari seorang ibu. Ini sudah pasti. Namun bisa juga, sebagai kepastian yang lain, manusia terlahir dari sebuah buku. Yang pertama menjadikan manusia sebagai seorang anak secara genetik; yang kedua menjadikan manusia sebagai manusia yang utuh secara intelektual. Manusia, yang terlahir dari buku secara intelektual, terkadang bisa hidup melebihi waktu yang diberikan oleh Tuhan. Ini karena yang pertama bersifat duniawi, materialistik; yang kedua bersifat surgawi, immaterialistik, yang ‘mengekalkan’.
Pada proses penjadian diri, kita pasti akan memerlukan sebuah kata untuk mengidentifikasi siapa kita dengan kata. Aku adalah manusia; aku adalah mahasiswa; aku adalah seorang pembelajar dan sebagainya. Di sini kita membutuhkan kata sebagai pengkodean, identifikasi diri dengan memakai kata. Maka memori kita memerlukan banyak kata dalam proses penjadian diri.
Pada saat kita dalam proses penjadian diri kita mau tidak mau akan menjadi kolektor kata; kita secara naluriah akan menjadi penggila kata (word-maniac) sebagai software otak dan emosi. Penggila kata bisa diklasifikasikan menjadi dua. Pertama, mereka yang hobi mengoleksi kata dengan cara menghafal dan membaca (belajar). Dan kedua, juga sekaligus mereka yang sudah pada taraf pengoreksi kata; mencari kebenaran suatu kata atau ilmu. Pada dua tahapan ini hanya satu yang membedakan yaitu alat perespon yang mereka gunakan: emotif atau logis?
Yang pertama adalah mereka yang cuma sekedar menghobi-mengoleksi kata (emotif), sedangkan yang kedua adalah mereka yang menghobi, mengoleksi dan sekaligus mengoreksi kata dengan pikiran (logis). Yang pertama banyak disandang oleh mereka para pelajar dan mahasiswa. Yang kedua sering disandang oleh mereka yang mendapatkan gelar profesor atau ilmuan dengan melihat kemampuannya tentunya— bukan karena sudah tua dalam bergelut di bidangnya, atau mengajar tapi masih taraf kolektor secara emotif bukan secara logis. Karena banyak juga mereka yang mendapat gelar ini, tapi bukan karena kemampuan.
Kolektor kata yang emotif cenderung menghentikan diri pada tahap kolektor kata saja tanpa terbebani untuk menjadi pengoreksi kata. Tapi biasanya mereka yang koleksinya paling banyak adalah, tentu saja, mereka yang menjadi pengoreksi yang sesungguhnya. Dia bisa menjelaskan keunikan suatu kata, baik secara historis, secara sosiologis bahkan (sering harus) secara filosofis.
Untuk menjadi orang pada posisi kedua, setidaknya seseorang harus mempunyai dua mata kepekaan: kepekaan tekstual dan kepekaan kontekstual. Yang pertama sangat erat kaitannya pada masalah kebiasaan membaca yang disertai kepekaan akan bacaan yang dia baca. Kedua, kepekaan kontekstual, sebagai pengejawantahan dari yang pertama atau yang menjadi mediator kepekaan tekstual. Sulit sekali mencari seseorang yang peka secara kontekstual tanpa memiliki kepekaan tekstual.
Kepekaan tekstual akan menjiwa dalam diri seseorang, jika seseorang sudah masuk dalam areal golongan penggila kata (word-maniac). Dan penggilaan kata akan menjiwa jika dia menganggap bahwa dunia kata adalah sebentuk kebutuhan hidup (sebagai makanan) dan yakin bahwa di sanalah surga kesenangan dan surga kebenaran berada (baca sajaknya Subagio Sastrowardoyo).
Sedang untuk sampai pada makna kebutuhan hidup dan dua surga tadi, sesorang tidak cukup menjadi kolektor kata tapi juga sekaligus harus menjadi pengoreksi kata. Pada saat itulah dia akan benar-benar menjadi word-maniac sejati. Dan untuk itu membutuhkan sebuah proses kontinuitas: membaca-menulis, membaca-menulis, membaca-menulis, secara kontemplatif dan harus dimulai dari satu haruf ( membaca dan menulis harus dimulai dari satu huruf).
Jika dua hal tersebut belum ada dalam diri kita, maka tidak bombastis apa yang dikatan oleh Taufik Ismail. Juga, tidak sekadar penilaian yang mengada-ada tanpa dasar.
Terakhir, “Siapa yang tidak menulis akan dilupakan oleh sejarah!” kata sastrawan kita, Pramoedya Ananta Toer. Scripta manent: yang tertulis akan abadi, sebuah pepatah latin. []
Labels: esai
0 Comments:
Post a Comment
<< Home