Thursday, July 03, 2008
Hantu-hantu Mahasiswa
Kematian, dalam pandangan beberapa mahasiswa, justru semangat yang tak pernah mati. Aku membayangkan, jika seorang mahasiswa mati (Maftuh Fauzi, sekadar contoh yang mendapatkan tempat di hati sebagian mahasiswa baru-baru ini dan dimaklumkan dalam sepanduk[di UNS]), ketika atau setelah berdemo, saat itu juga ia sudah tidak mati lagi. Ia seakan kekal, menjadi hantu-hantu yang akan bergentayangan memompa semangat kawan-kawannya yang lain. Sang kawan lalu berseru lirih dan dalam, “Perjuanganmu akan kami teruskan, kawan!”
Kematian mahasiswa lebih menyentuh jiwa manusia (setidaknya bagi mahasiswa), lebih bergemuruh dalam benturan-benturan beribu kematian lainnya, bahkan lebih mengehentak dari pada maklumat Nitetzsche di pasar-pasar, “Tuhan telah mati.” Di Indonesia, penguasa terpelanting dari kursinya yang kokoh.
Ada semangat yang dikobarkan oleh nilai-nilai dalam kematian. Namun justru ketika kematian membawa nilai, saat itu juga kematian seakan membentangkan keangkuhan dan kekuasaannya kepada kita.
Kematian menjadi pintu menuju ke situ. Orang yang mati, jasadnya memang tidak akan pernah memberikan semangat dengan verbal, seraya berorasi menyemangati kawan-kawanya dengan lantang. Ia sudah tiada, tapi bukan tidak ada. Kematian menjadi pintu yang, mungkin, sangat dibutuhkan oleh manusia, para mahasiswa. Di sini si mayit menapaki eksistensinya: ia sungguh ada dan menggugah. Sumung ning isi. Ia persis seperti pintu untuk ruang-ruang memompa semangat bagi perjuangan berikutnya: dan ia halte, sekaligus. Dan untuk itu perlu ceremonial yang mewah, mungkin, seperti adat orang Toraja.
Di situ kematian menjadi tragedy yang manis dan orang tidak perlu bersikap sinis. Puluhan mahasiswa mati setelah berteriak “Hidup Revolusi!”, “Tuntaskan Reformasi!” Namun bukan kata-kata itu yang melambungkan semangat muda mereka, melainkan kematian kawan-kawan mereka. Soekarno dan Soeharto turun terpelanting dari kursinya. Puluhan media dan jutaan manusia merayakannya.
Adakah kematian semacam kurban (berarti “dekat” kepada Tuhan dari bahasa Arab, yang ada dalam tradisi agama Ibrahimi seperti dalam Islam) dan saat sang penguasa lalim maka ia diperlukan bahkan kewajiban seperti yang tidak bisa dihindari dalam revolusi? Atau jangan-jangan selama ini yang terjadi hanya ritual yang menghendaki tumbal, semacam pendekatan terhadap iblis dan setan di atas altar yang kita anggap suci?
Di sini kurban dan tumbal sulit dibedakan karena keduanya meniscayakannya sebentuk korban yang harus mati. Kurban memang sudah diganti dengan domba, lembu dan onta, tapi apakah Ibrahim dulu akan mengelak hendak mengkorbankan anaknya, dan bukan seekor domba?Labels: Expresi Muda
1 Comments:
kematian adalah hingar yang jauh dari bahasa. sebab itu simbol dipecahkan oleh yang hidup. pun kematian maftuh fauzi, mahasiswa sastra inggris itu, kini jadi bola liar, meski mereka menyebutnya 'simbol perlawanan'.
Post a Comment
<< Home