"Here's to the crazy ones. The misfits. The rebels. The troublemakers. The round pegs in the square hole. The ones who see things differently. They're not fond of rules. And they have no respect for the status quo. You can quote them, disagree with them, glorify or vilify them. About the only thing you can't do is ignore them. Because they change things. They push the human race forward. And while some may see them as the crazy ones, we see genius. Because the people who are crazy enough to think they can change the world, are the ones who do."
Apple Computer Inc.
Lelucon, banyulan, komedi, dan sejenisnya, bagi sebagian besar kita, barangkali adalah pemantik tawa yang kita nikmati bersama, meski pada saat yang bersamaan para pemain berlaku diskriminatif berbasis tubuh.
Diskriminasi lelucon berbasis tubuh memang berbeda dengan beberapa diskriminasi berbasis gender, ras, ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam diskriminasi lelucon perbedaan tubuh ganteng-jelek, cantik-buruk rupa, sebagai dasar dalam diskriminasi, lebih sebagai sebuah pemantik tawa. Tubuh, dalam lelucon ini, dijadikan sebagai bahan sekaligus arena yang bersifat merendahkan lawan main.
Hal ini bisa kita lihat pada beberapa acara televisi swasta yang menyiarkan tayangan komedi (situasi). Sepanjang pengamatan saya pada beberapa tayangan komedi tersebut banyak terjadi pendiskreminasian pada pemain yang memiliki tubuh tidak proporsional untuk ukuran masyarakat umumnya: muka kotak, hidung tidak mancung, gigi tidak rapi dan “menonjol”, kulit tidak putih atau kecoklatan dan kehitam-hitaman, badan tidak tinggi, yang mengarah pada paras ketidaktampanan. Bisa dibilang sebentuk tubuh yang sangat “Indonesia”.
Biasanya pemain yang buruk rupa akan menjadi objek bulan-bulan dan bahan olok-olokan, dari lawan main yang lebih tampan atau lebih cantik seperti “muka lu kayak monyet!” , “mana ada cewek/cowok yang mau sama lu, muka babak belur en ancur kayak gitu!” dan seterusnya. Biasanya ucapan dibarengi tindakan pemukulan fisik atau pengambilan gambar close up pada bagian muka yang diejek. Bahkan sering pemain yang buruk rupa tidak mendapatkan pelayanan yang selayaknya dan keberadaannya dianggap tidak ada.
Dalam beberapa komedi yang kita saksikan di layar kaca, para pemain yang bertampang “minim” biasanya menjadi pihak yang kalah, tersingkir, sial dan apes. Demikian juga nama mereka seakan harus mencerminkan muka mereka, maka kita bisa menyebut nama seperti Budi Anduk yang terus membawa anduk untuk menyeka mukanya yang berkeringat, Udin Penyok, dan sebagainya. Bahkan komedian Budi Anduk tidak boleh mengganti namanya dengan yang “khusus” untuk orang ganteng seperti nama Andre oleh temen-temen.
Pengecualian mungkin hanya pada acara parodi politik. Memang parodi politik sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tayangan komedi lainnya mulai dari Didin Miing dalam kelompok Bagito, Republik BBM dan Republik Mimpi yang dipopulerkan oleh Efendi Ghazali, sampai pada Democrazy.
Tayangan komedi kita sebenarnya tidak beranjak jauh sejak kemunculan komidian Ateng, Srimulat, trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), bahkan yang terbaru angkatan API (Akademi Pelawak Indonesia), dan presenter kondang Tukul Arwana. Masih dengan bahan diskriminasi berbasis tubuh.
Diskriminasi Estetik
Kita adalah bangsa yang sudah dari dulu akrab dengan lelucon. Lelucon bisa kita telusuir jejaknya mulai dari cerita wayang dalam segmen gara-gara dan tokoh Cangik dan Limbuk, seorang ibu yang kecil dan anak perempuan yang bongsor dan tentunya para punakawan. Ikonografi dalam pewayangan memang tidak bisa dengan sendiri dianggap diskriminatif. Dalam pewayangan ikonografi Semar, pimpinan sekaligus ayah para punakawan, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah diskriminasi karena memiliki pemaknaan tersendiri terutama dari bentuk badan dan tatapan mata yang sayu.
Ditambah, para dalang jarang yang menonjolkan lelucon dari bentuk tubuh, lebih pada isi ucapan dan petuah-petuah yang bijak dan terkadang menyentil para penonton.
Namun secara umum, ikonografi para tokoh gara-gara adalah sebuah bentuk diskrimianasi estetetik. Sebuah diskriminasi yang seakan tabu untuk melucu kalau mukanya bagus dan sebab itu para tokoh gara-gara layak melakukannya dan menertawakan diri sendiri dan juga tuan-tuan mereka. Maka kita tidak pernah menonton adegan melucu dari para kesatria dan dewa. Sebuah diskrimanasi yang tidak kita anggap. Diskrimanasi ini, sebagaimana dikatakan oleh Anthony Synnott (1993), “tersebar begitu luas, seakan-akan telah menjadi sebuah norma budaya sendiri; dan diskriminasi ini diterima begitu saja seakan-akan tidak ada”.
Maka, bukan hanya dalam bahasa, laku tawa menghilangkan subjek seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad (2008), “Aku tertawa, maka aku nyaris tidak ada”, tapi juga dalam laku sosial. Namun ada beda jauh antara dua laku ini. Yang pertama menghilangkan subjek dan merayakan keterpelantingan bahasa, sedangkan yang kedua menghilangkan ketidakbertanggungjawaban subjek dalam perilaku diskriminatif dalam ranah sosial. Yang pertama hendak tidak mengacu pada apapun, yang kedua jelas mengacu pada objek muka (tubuh) yang buruk, namun masih menyisakan subjek yang berperilaku diskriminatif tanpa sadar.
Maka kita tidak pernah menyadari apalagi memberontak melawan sikap diskriminasi ini. Kita seringkali menikmati diskriminasi, dan kita tertawa, lalu nyaris tidak ada.
Batu Ponari sakti bukan karena “berpetir”, tapi karena kesaktian media. Sebuah majalah nasional GATRA memberitakan seorang kakek, Maschan Incok Sunarya, berumur 69, yang mengantri selama tiga hari. Dia harus mengantri bersama sekitar 10.000 orang. Kenapa dia berani nekat pergi ke dukun cilik Ponari?
“Surya tertarik datang berobat ke Jombang setelah menonton berita di televise tentang “kesaktian” Ponari. Ribuan orang mengantre setiap hari untuk mendapatkan kesembuhan dari bocah ini. Panitia yang berjumlah 500 personel, terdiri dari aparat Polsek Megaluk, Polres Jombang, koramil, satpol PP, serta aparat desa sempat, kewalahan mengatur jalannnya pengobatan.” Judul tulisan itu:
"Dukun Cilik Sugesti Batu Sakti Ponari”. Dan ajaibnya: semua televisi memberitakan Ponari, dan media cetak, dan media elektronik seperti internet!
Coba perhatikan penggalan kutipan langsung tersebut, terutama kalimat pertama. Di situ jelas tertulis bahwa yang “memaksa” sang kakek adalah sebuah perantaraan yaitu media televisi. Kalau dirasionalisasi kejadian batu sakti ponari tersebut akan seperti ini: pada mulanya adalah sebuah keanehan, “the unusual is news”, “what’s the different is news” (baca buku Dasar-Dasar Jurnalistik Radio Dan Televisi yang ditulis oleh J. B. Wahyudi terbitan Grafiti), coba-coba hal yang baru (batu berpetir! Satu dalam satu melenium!) mengakibatkan beberapa orang berkumpul, dan kemudian media menciumnya, sampai di sini sudah layak diberitakan (keanehan dan human interest plus magnitude), maka menjadi saktilah Batu Berpetir Ponari tanpa pernah media memberitakan orang yang pernah disembuhkan oleh batu tersebut (ini berdasarkan pembacaanku, kamu punya berita lain yang membukti bahwa ada juga orang yang sembuh secara ajaib dan diberitakan oleh wartawan?).
Dan memang permasalahannya bukan pernah dan mampu menyembuhkan atau memang terbukti sakti, tapi lebih karena media telah memberitakannya. Kalau kita berbicara media, kita sudah harus melepaskan beberapa unsur rasional, apalagi jika itu adalah media televisi. Kita tahu bahwa tayangan televisi kita hampir semuanya adalah irasional mulai dari iklan komersial produk, serial sinetron, bombardier infotaimen bahkan sampai iklan politik. Pemirsa kita sudah diindoktrinasi dan dijadikan sebagai penonton tanpa perlu mereka harus berpikir. Maka saat media memberitakan, sekali memberitakan dalam tayangan berita, pemirsa sudah langsung mendapatkan suatu pembenaran oleh tayangan berita.
Apa boleh buat, media, bagi kita, hampir tanpa kecuali, adalah “nabi-nabi” yang membawa risalah kebenaran. Media adalah penghubung dan sekaligus pembawa risalah kehidupan kita saat ini dan beberapa tahun bahkan beberapa abad ke depan. Media menjadi sumber informasi dari sekian banyak tangan reporter; kita tidak bisa langsung mengecek sumber utama berita. Kita tidak bisa bertanya kepada Ponari dan membuktikan bahwa batu itu benar-benar terkena petir secara ilmiah. Apalgi kalau harus bertanya satu persatu pada setiap pasien Ponari untuk membuktikan keampuhan Batu Berpetir. Dan sayangnya lagi, atau tragisnya lagi, para dokter kita pasti akan langsung memvonis tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau sebongkah batu bisa menyembuhkan (maklum berpendidikan ala dokter barat bukan dokter jebolan gunung Slamet!). Kita terpaksa dan dipaksa menerima berita tanpa pernah bisa mengecek (memverifikasi) sendiri. (Tentu saja kita kita tidak terpaksa percaya bukan?).
Padahal, seperti dikatakan oleh David (??? Sori lupa namanya) dalam bukunya Berita Di Balik Berita bahwa berita koran yang jatuh di depan pintu kita, adalah berita yang dikerjakan secara terburu-buru. Ini masih koran yang notabene mempunyai waktu sampai sore bahkan sampai malam hari. Lalu bagaimana dengan televisi yang, seperti menjadi sifat dasarnya, ingin lekas-lekas memberitakan secara ekslusif dan langsung dari tempat kejadian. Tentu saja hal ini bisa mengurangi kedalaman dan proses verifikasi berita.
Memverifikasi berita adalah perbuatan dan laku yang tidak masuk akal alias irasional bagi masyarakat informasi. Belum lagi, psikologi pasien tentu saja adalah sebuah keadaan jiwa-mencoba, berikhtiar, nothing to lose, toh belum ada seorang pun yang mati setelah berobat ke Ponari. Bandingkan dengan orang yang mati setelah berobat ke dokter dengan pendidikan ala Barat itu, jumlahlah tidak kehitung! Malpratekteklah, ini-itulah! Belum lagi mahal dan mengerikan: jarum tajam, bau tempat dan obatnya seperti mayat beberapa bulan dan memang beberapa obat dibuat dari mayat! Klop sudah.
Maka berbondong-bondonglah mereka, ngalap berkah Batu Berpetir Ponari. Bukan, tapi kotak ajaib televisi!
Surakarta, 13 Maret, 2009