"Here's to the crazy ones. The misfits. The rebels. The troublemakers. The round pegs in the square hole. The ones who see things differently. They're not fond of rules. And they have no respect for the status quo. You can quote them, disagree with them, glorify or vilify them. About the only thing you can't do is ignore them. Because they change things. They push the human race forward. And while some may see them as the crazy ones, we see genius. Because the people who are crazy enough to think they can change the world, are the ones who do."
Apple Computer Inc.
Lelucon, banyulan, komedi, dan sejenisnya, bagi sebagian besar kita, barangkali adalah pemantik tawa yang kita nikmati bersama, meski pada saat yang bersamaan para pemain berlaku diskriminatif berbasis tubuh.
Diskriminasi lelucon berbasis tubuh memang berbeda dengan beberapa diskriminasi berbasis gender, ras, ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam diskriminasi lelucon perbedaan tubuh ganteng-jelek, cantik-buruk rupa, sebagai dasar dalam diskriminasi, lebih sebagai sebuah pemantik tawa. Tubuh, dalam lelucon ini, dijadikan sebagai bahan sekaligus arena yang bersifat merendahkan lawan main.
Hal ini bisa kita lihat pada beberapa acara televisi swasta yang menyiarkan tayangan komedi (situasi). Sepanjang pengamatan saya pada beberapa tayangan komedi tersebut banyak terjadi pendiskreminasian pada pemain yang memiliki tubuh tidak proporsional untuk ukuran masyarakat umumnya: muka kotak, hidung tidak mancung, gigi tidak rapi dan “menonjol”, kulit tidak putih atau kecoklatan dan kehitam-hitaman, badan tidak tinggi, yang mengarah pada paras ketidaktampanan. Bisa dibilang sebentuk tubuh yang sangat “Indonesia”.
Biasanya pemain yang buruk rupa akan menjadi objek bulan-bulan dan bahan olok-olokan, dari lawan main yang lebih tampan atau lebih cantik seperti “muka lu kayak monyet!” , “mana ada cewek/cowok yang mau sama lu, muka babak belur en ancur kayak gitu!” dan seterusnya. Biasanya ucapan dibarengi tindakan pemukulan fisik atau pengambilan gambar close up pada bagian muka yang diejek. Bahkan sering pemain yang buruk rupa tidak mendapatkan pelayanan yang selayaknya dan keberadaannya dianggap tidak ada.
Dalam beberapa komedi yang kita saksikan di layar kaca, para pemain yang bertampang “minim” biasanya menjadi pihak yang kalah, tersingkir, sial dan apes. Demikian juga nama mereka seakan harus mencerminkan muka mereka, maka kita bisa menyebut nama seperti Budi Anduk yang terus membawa anduk untuk menyeka mukanya yang berkeringat, Udin Penyok, dan sebagainya. Bahkan komedian Budi Anduk tidak boleh mengganti namanya dengan yang “khusus” untuk orang ganteng seperti nama Andre oleh temen-temen.
Pengecualian mungkin hanya pada acara parodi politik. Memang parodi politik sudah menunjukkan kemajuan dibandingkan dengan tayangan komedi lainnya mulai dari Didin Miing dalam kelompok Bagito, Republik BBM dan Republik Mimpi yang dipopulerkan oleh Efendi Ghazali, sampai pada Democrazy.
Tayangan komedi kita sebenarnya tidak beranjak jauh sejak kemunculan komidian Ateng, Srimulat, trio Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro), bahkan yang terbaru angkatan API (Akademi Pelawak Indonesia), dan presenter kondang Tukul Arwana. Masih dengan bahan diskriminasi berbasis tubuh.
Diskriminasi Estetik
Kita adalah bangsa yang sudah dari dulu akrab dengan lelucon. Lelucon bisa kita telusuir jejaknya mulai dari cerita wayang dalam segmen gara-gara dan tokoh Cangik dan Limbuk, seorang ibu yang kecil dan anak perempuan yang bongsor dan tentunya para punakawan. Ikonografi dalam pewayangan memang tidak bisa dengan sendiri dianggap diskriminatif. Dalam pewayangan ikonografi Semar, pimpinan sekaligus ayah para punakawan, tidak bisa dikatakan sebagai sebuah diskriminasi karena memiliki pemaknaan tersendiri terutama dari bentuk badan dan tatapan mata yang sayu.
Ditambah, para dalang jarang yang menonjolkan lelucon dari bentuk tubuh, lebih pada isi ucapan dan petuah-petuah yang bijak dan terkadang menyentil para penonton.
Namun secara umum, ikonografi para tokoh gara-gara adalah sebuah bentuk diskrimianasi estetetik. Sebuah diskriminasi yang seakan tabu untuk melucu kalau mukanya bagus dan sebab itu para tokoh gara-gara layak melakukannya dan menertawakan diri sendiri dan juga tuan-tuan mereka. Maka kita tidak pernah menonton adegan melucu dari para kesatria dan dewa. Sebuah diskrimanasi yang tidak kita anggap. Diskrimanasi ini, sebagaimana dikatakan oleh Anthony Synnott (1993), “tersebar begitu luas, seakan-akan telah menjadi sebuah norma budaya sendiri; dan diskriminasi ini diterima begitu saja seakan-akan tidak ada”.
Maka, bukan hanya dalam bahasa, laku tawa menghilangkan subjek seperti yang dikatakan oleh Goenawan Mohamad (2008), “Aku tertawa, maka aku nyaris tidak ada”, tapi juga dalam laku sosial. Namun ada beda jauh antara dua laku ini. Yang pertama menghilangkan subjek dan merayakan keterpelantingan bahasa, sedangkan yang kedua menghilangkan ketidakbertanggungjawaban subjek dalam perilaku diskriminatif dalam ranah sosial. Yang pertama hendak tidak mengacu pada apapun, yang kedua jelas mengacu pada objek muka (tubuh) yang buruk, namun masih menyisakan subjek yang berperilaku diskriminatif tanpa sadar.
Maka kita tidak pernah menyadari apalagi memberontak melawan sikap diskriminasi ini. Kita seringkali menikmati diskriminasi, dan kita tertawa, lalu nyaris tidak ada.
Batu Ponari sakti bukan karena “berpetir”, tapi karena kesaktian media. Sebuah majalah nasional GATRA memberitakan seorang kakek, Maschan Incok Sunarya, berumur 69, yang mengantri selama tiga hari. Dia harus mengantri bersama sekitar 10.000 orang. Kenapa dia berani nekat pergi ke dukun cilik Ponari?
“Surya tertarik datang berobat ke Jombang setelah menonton berita di televise tentang “kesaktian” Ponari. Ribuan orang mengantre setiap hari untuk mendapatkan kesembuhan dari bocah ini. Panitia yang berjumlah 500 personel, terdiri dari aparat Polsek Megaluk, Polres Jombang, koramil, satpol PP, serta aparat desa sempat, kewalahan mengatur jalannnya pengobatan.” Judul tulisan itu:
"Dukun Cilik Sugesti Batu Sakti Ponari”. Dan ajaibnya: semua televisi memberitakan Ponari, dan media cetak, dan media elektronik seperti internet!
Coba perhatikan penggalan kutipan langsung tersebut, terutama kalimat pertama. Di situ jelas tertulis bahwa yang “memaksa” sang kakek adalah sebuah perantaraan yaitu media televisi. Kalau dirasionalisasi kejadian batu sakti ponari tersebut akan seperti ini: pada mulanya adalah sebuah keanehan, “the unusual is news”, “what’s the different is news” (baca buku Dasar-Dasar Jurnalistik Radio Dan Televisi yang ditulis oleh J. B. Wahyudi terbitan Grafiti), coba-coba hal yang baru (batu berpetir! Satu dalam satu melenium!) mengakibatkan beberapa orang berkumpul, dan kemudian media menciumnya, sampai di sini sudah layak diberitakan (keanehan dan human interest plus magnitude), maka menjadi saktilah Batu Berpetir Ponari tanpa pernah media memberitakan orang yang pernah disembuhkan oleh batu tersebut (ini berdasarkan pembacaanku, kamu punya berita lain yang membukti bahwa ada juga orang yang sembuh secara ajaib dan diberitakan oleh wartawan?).
Dan memang permasalahannya bukan pernah dan mampu menyembuhkan atau memang terbukti sakti, tapi lebih karena media telah memberitakannya. Kalau kita berbicara media, kita sudah harus melepaskan beberapa unsur rasional, apalagi jika itu adalah media televisi. Kita tahu bahwa tayangan televisi kita hampir semuanya adalah irasional mulai dari iklan komersial produk, serial sinetron, bombardier infotaimen bahkan sampai iklan politik. Pemirsa kita sudah diindoktrinasi dan dijadikan sebagai penonton tanpa perlu mereka harus berpikir. Maka saat media memberitakan, sekali memberitakan dalam tayangan berita, pemirsa sudah langsung mendapatkan suatu pembenaran oleh tayangan berita.
Apa boleh buat, media, bagi kita, hampir tanpa kecuali, adalah “nabi-nabi” yang membawa risalah kebenaran. Media adalah penghubung dan sekaligus pembawa risalah kehidupan kita saat ini dan beberapa tahun bahkan beberapa abad ke depan. Media menjadi sumber informasi dari sekian banyak tangan reporter; kita tidak bisa langsung mengecek sumber utama berita. Kita tidak bisa bertanya kepada Ponari dan membuktikan bahwa batu itu benar-benar terkena petir secara ilmiah. Apalgi kalau harus bertanya satu persatu pada setiap pasien Ponari untuk membuktikan keampuhan Batu Berpetir. Dan sayangnya lagi, atau tragisnya lagi, para dokter kita pasti akan langsung memvonis tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau sebongkah batu bisa menyembuhkan (maklum berpendidikan ala dokter barat bukan dokter jebolan gunung Slamet!). Kita terpaksa dan dipaksa menerima berita tanpa pernah bisa mengecek (memverifikasi) sendiri. (Tentu saja kita kita tidak terpaksa percaya bukan?).
Padahal, seperti dikatakan oleh David (??? Sori lupa namanya) dalam bukunya Berita Di Balik Berita bahwa berita koran yang jatuh di depan pintu kita, adalah berita yang dikerjakan secara terburu-buru. Ini masih koran yang notabene mempunyai waktu sampai sore bahkan sampai malam hari. Lalu bagaimana dengan televisi yang, seperti menjadi sifat dasarnya, ingin lekas-lekas memberitakan secara ekslusif dan langsung dari tempat kejadian. Tentu saja hal ini bisa mengurangi kedalaman dan proses verifikasi berita.
Memverifikasi berita adalah perbuatan dan laku yang tidak masuk akal alias irasional bagi masyarakat informasi. Belum lagi, psikologi pasien tentu saja adalah sebuah keadaan jiwa-mencoba, berikhtiar, nothing to lose, toh belum ada seorang pun yang mati setelah berobat ke Ponari. Bandingkan dengan orang yang mati setelah berobat ke dokter dengan pendidikan ala Barat itu, jumlahlah tidak kehitung! Malpratekteklah, ini-itulah! Belum lagi mahal dan mengerikan: jarum tajam, bau tempat dan obatnya seperti mayat beberapa bulan dan memang beberapa obat dibuat dari mayat! Klop sudah.
Maka berbondong-bondonglah mereka, ngalap berkah Batu Berpetir Ponari. Bukan, tapi kotak ajaib televisi!
Surakarta, 13 Maret, 2009
Dalam suasana gundah, cemas dan merasa penuh dosa, Leo (Lev) Nikolayevich Tolstoy (1828-1910) melalui toko utamanya dalam novel Kebangkitan, Nekhlyudov, mengecam sekaligus menitahkan dirinya sendiri: “Akan kurobek-robek kebohongan yang menjerat diriku berapapun susahnya, dan akan kuakui segalanya, dan kepada semua orang akan kunyatakan kebenaran dan akan kuciptakan kebenaran itu.”
Aku risau dengan pernyataan itu, terutama pada anak kalimta terakhir “akan kuciptakan kebenaran itu.” Seorang bisa saja membongkar kedok kebohongan dan menyampaikannya. Tapi menciptakan kebenaran? Adakah kebenaran itu ciptaan? Atau, kebenaran adalah sesuatu yang sudah ada, ada, dan akan ada sebagaimana ia adanya? Saat Copernicus mengatakan bumi bulat, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebelumnya bumi tidak bulat. Bumi tidak pernah tidak bulat sebelum Copernicus mengatakannya bulat. Jadi, bisa dikatakan Copernicus tidak bisa menciptakan bumi menjadi bulat, ia hanya sekadar mengungkapkan.
Dengan kata lain, kebenaran itu mewaktu yang merambat menjalar melalui saluran-saluran sejarah, peristiwa penemuan ilmiah, atau semacam kejadian keterbukaan (ketersingkapan) yang mengejutkan.
Yang aku maksud dengan saluran-saluran sejarah adalah “keberanran” yang pemegang pembenarannya adalah para penguasa. Oleh karena itu bisa salah-dan-benar, atau juga, dengan kata lain, yang-dibenarkan atas suatu wewenang (otoritas) baik melalui lembaga atau suatu otoritas keilmuan (meski monopilistik) tertentu yang melekat pada seseorang tapi masih di bawah kekuasaan.
Sedangkan persistwa penemuan ilmiah adalah kejadian berualang-ulang yang diformulasikan pertama kali, yang biasanya menghinggapi seorang pada saat memikirkan sesuatu (ilmu) fenomena tertentu, seperti yang dialami oleh Galileo, Einstein, dan sebagainya.
Sedangkan yang terakhir, kejadian ketersingkapan, adalah kejadian yang mengejutkan dan mendadak yang menimpa seseorang , bisa nabi atau orang biasa, semacam mukjizat.
Pembenaran ketiga kebenaran ini berbeda. Yang pertama melalui kekuasaan; yang kedua melalui percobaan dan metodologi; dan yang terakhir melalui kejadian.
Dari tiga hal ini, kita mau tidak mau membicarakan pembenaran. Kebenaran tidak bisa tampil sendiri tanpa adanya pembenaran. Dari tiga pandangan ini, aku kira tidak ada satupun yang hendak menciptakan kebenaran. Yang pertama lebih menghendaki dampak dari pembenaran, yang kedua memfokuskan pada mencari dan menelusuri kebenaran dan yang ketiga bersifat menerima atau membuka diri pada kebenaran.
Sampai di sini, aku tidak tahu apa itu kebenaran. Yang sedikit banyak aku tahu adalah cara-cara menerima dan menuju ke sana, seperti berbagai metodologi atau epistemology. Maka menjadi menarik untuk menanyakan ini: bisakah aku sampai pada kebenaran melalui jalan-jalannya tanpa mengetahu lebih dahulu apa itu kebenaran.
Dengan mengatakan demikian, sebenarnya aku sudah masuk dalam pemikiran yang menyatakan bahwa kebenaran itu tidak diciptakan tapi sudah ada, ada, dan akan ada, yang akan dicari. Lalu bisakah menciptakan kebenaran? Entahlah. Menurut G.M. dalam bukunya Tuhan Dan Hal-hal Yang Tak Selesai, kebenaran adalah momen ketersingkapan, yang bukan sebuah percobaan atas sebuah pengulangan fenomena seperti dalm ilmu pengetahuan. Apakah memang demikian adanya? Aku juga tidak bisa tahu apalagi yakin.
Apa itu kebenaran, cara-cara mencari kebenaran dan penemuan kebenaran atau penerimaan-kesiapan terhadap kebenaran, tidak begitu merisaukan aku, barangkali (meski terkadang menghantui). Tapi yang satu ini: Adakah kita belajar sejak TK sampai kuliah S1, S2, S3 dan belajar seterusnya untuk kebenaran dan mencari kebenaran, atau bahkan untuk mencipatakan kebenaran? Sekali lagi, benarkah kita mencari (dan mempelajari) kebenaran, meski untuk diri sendiri (tidak sebagaimana Galileo yang harus dihukum mati)? Sungguh sulit untuk mengatakan iya, pada zaman kita sekarang ini.
Toh, kalau kita berani dan nekat menjalaninya, maka kita harus terlebih dulu berhadapan dengan berikut ini: perlukah kebenaran? Ya, apa boleh buat, zaman manusia, sejak manusia berpikir, berkuasa, dan bermimpi, di luar Tuhan, adalah zaman pencarian pembenaran-pembenaran sehingga lupa pada kebenaran itu sendiri, dan efeknya begitu besar di tangan kekuasaan manapun.
Dan kita, yang di kampus dan lupa kebenaran, terkadang menikmatinya. Begitu juga aku.
Surakarta, 18 February 2009
Jika semuanya berdasarkan hukum tarik menarik dengan bantuan (alat) pemikiran yang distimulus oleh perasaan, lalu dimana posisi atau peran Tuhan beserta takdirnya? Atau, memakai alternative penalaran, Tuhan “bekerja” dengan instrument pemikiran sebagaimana dikatakan oleh Rhonda Byrne? Jika semuanya adalah kepastian lalu di mana ketidakpastian, di mana misteri juga rahasia, dimana hukum negativitas alam (hitam-putih, juga abu-abu)?
Entah apa maksudnya, Nidji pada ulang tahunnya yang entah ke berapa (ke-7?) mengusung tema “Pelangi Cinta”. Barangkali sederhana alasannya, sebagaimana banyak dipahami orang: “cinta berjuta rasanya”. Benarkah?
Aku punya sedikit pengalaman yang berarti tentang pelangi. Pernahkah kamu benar-benar melihat pelangi yang melengkung dengan pendaran warna-warnanya, dengan kedua kornea matamu? Orang yang tinggal di kota, juga kamu, jarang melihat pelangi secara langsung. Paling-paling melalui gambar, yang diperlihatkan oleh guru TK-nya dulu atau melihat gambar pelangi entah di mana.
Dan aku cukup beruntung tentang hal ini, aku dulu sering melihat pelangi pada waktu kecil, karena aku anak yang pernah tinggal di desa. Desa dengan pohon-pohon dan sawah yang luas membentang adalah tempat dimana setiap kali hujan datang dan matahari menyusul butir-butir hujan yang bening nan jernih, yang kebanyakan sudah menyentuh tanah-tanah dan menjadikan tanah memiliki kekuatan ajaib Tuhan untuk menghidupkan rerumputan, mengairi tanaman para petani, juga pada akhirnya memberi makan sapi-sapi, kerbau, dan kambing…
Pelangi, bagi aku pada waktu itu, tidak ubahnya sebuah keajaiban dunia yang belum tercipta oleh manusia. Sesuatu yang tidak akan manusia gapai meski manusia pernah menginjak bulan. Pelangi ada untuk menghibur anak-anak desa setelah mereka berhujan-hujanan menantang butir-butir bening sampai menggigil kedinginan. Di depan beranda rumah, setelah hujan mereda, datanglah pelangi ciptaan alam di atas langit untuk menghibur mereka.
Imajinasiku pada waktu itu terbatas, juga penafsiranku tentang pelangi. Orang-orang di kota barangkali bisa lebih fasih menguraikan hal ini dengan tafsir-tafsir ilmiahnya.
Tapi sejak aku sedikit berani berpikir dan berkhayal, juga dibantu oleh Isaac Newton dengan teori Cincin Newton tentang pelangi dan warna, walau sudah dipatahkan oleh sang jenius abad ke-20 Albert Einstein, yang sampai sekarang otaknya masih ada —karena dia menghibahkan pada sebuah lab di Amerika—, diteliti, dan jadi mitos, ada perihal lain pada pelangi.
Aku agak lupa tentang kedua teori dua orang itu. Mereka menurutku adalah makhluk yang penuh dengan daya imajinasi, yang bekerja mendahului otak kiri mereka. Tapi satu hal yang aku tahu tentang pelangi: ia datang setelah badai. Ya, pelangi datang setelah badai hujan (mungkin juga salju) dan matahari menyentuh butir-butir air bening yang beterbangan di langit yang masih diselimuti awan kelabu. Pada pertemuan antara matahari dan butir-butir air bening tercipta pelangi yang memantulkan beraneka spectrum warna matahari. Dan, kita menyebutnya pelangi dengan perasaan bahagia, yang melekat di hati.
Dalam melihat pelangi di alam raya kita sering melupakan badai, sang pembawa butir-butir air, yang menjadi medium pengejawantahan spectrum warna matahari. Kita terfokus melihat warna-warni pelangi. Dalam kehidupan, terutama cinta, kita juga hanya melihat warna-warna tapi sebagai sebentuk badai:
“akh...hidup...lima menit yang lalu biru, sekarang abu, dan sedetik kemudian mungkin hitam...kelam...sekelam malam....
begitu pula gejolak perasaan ku....sepuluh menit lalu haru biru, setelah itu kuning tanda perasaan mulai kering, lalu hijau kacau, merah marah, ungu nafsu...”(D.A.)
Dan sering, penglihatan kita berakhir dengan dikotomis: sedih dan bahagia. Adakah yang salah dengan cara kita melihat pelangi yang berpendaran di alam hati? Manusia, sepanjang yang aku ketahui sejak aku lahir sampai sekarang, adalah makhluk yang tahu —tapi tak hendak mau berpenyadaran— tentang pelangi rasa di hatinya, yang berpendar melengkung seperti pelangi alam. Tapi sering-sering mereka pada akhirnya buta warna: yang mereka temui adalah sering hitam dan putih, sedih dan bahagia, benar dan salah…
Adakah yang keliru dengan semua ini? Entahlah. Orang arab barangkali sudah tahu dari dulu, maka dari itu, untuk medium perpendaran cahaya jiwa, layaknya butir-butir air di langit yang menjadi medium spectrum warna matahari, mereka menyebutnya qolbu, yang-berubah-ubah warna. Dan kita menyebutnya hati, yang jika diucapkan atau ditulis berulang, akan berbentuk peringatan, kewaspadaan, dan penunjuk kesehatan: hati-hati!
Surakarta, Hotel Fortuna, February 22, 2009
“Menurut catatan dua teman saya, Rokib pencatat segala kebaikan manusia and Atib pencatat segala keburukan manusia, kamu sudah ditasbihkan sebagai manusia paling jenius. Terjenius. Terpintar di antara yang pintar. Emhm…” Malakait Munkar dan Nakir nampak bimbang terhadap pertanyaan yang hendak diajaukan, pada manusia terjenius itu.
Einstein tampak lugu di hadapan makhluk aneh ini.
Munkar dan Nakir, penegak keadilan dan penghukum di alam kubur, agak trauma berhadapan dengan manusia jenius. Pernah, entah suatu siang atau malam, mereka berhadapan dengan sang jenius pemberontak-ahli bahasa Imam Sibaweh. Mereka kewalahan saat menanyakan beberapa pertanyaan. Belum apa-apa mereka berdua malah diinterogasi balik tentang tata bahasa yang mereka gunakan dalam bertanya. Maka bingunglah kedua malaikat itu dan balik ke langit, bertanya kepada Allah: siapa sebenarnya manusia yang satu itu. Allah malah menyuruh membiarkan sang Imam.
“Pertanyaan apa yang sebaiknya kita tanyakan pada manusia jenius itu?” Munkar dan Nakir berembuk. Munkar mengusulkan untuk menanyakan pertanyaan seperti biasa: masalah tuhan, kitab suci, Nabi, dan seterusnya. Nakir agak keberatan dengan pertanyaan biasa itu. Orang jenius sudah hampir pasti bisa menjawab semua pertanyaan itu. Jangan-jangan malah kita yang diinterogasi seperti dulu, kata Nakir.
“Bagaimana kalau kita tanyai aja masalah-masalah ilmiah, kayak hitung-hitungan? Itukan masalah yang sulit?” usul Munkar. “Jangan. Jangan. Dia ahli fisika kawakan di abad ke-20,” jawab Nakir sambil membolak-balik buku catatan Rokib dan Atib tentang Einstein.
Einstein bingung di depan dua makhluk udik itu, dengan dua pentongan besar di pundak.
“Bagaimana kalau kita tanyakan saja tentang masalah-masalah kemanusiaan. Bukankah dari dulu, berdasarkan catatan Rokib dan Atib, masalah kemanusiaan menjadi masalah semua bibir manusia dengan bahasa yang berbeda? Pasti membingungkan dan menyulitkan si jenius ini,” usul Munkar, sekali lagi. “Oke,” jawab Nakir.
Einstein masih diam. Dan tidak tampak berpikir.
“Hei, si jenius!” dengan nada keras dan menggelegar, Munkar menggertak Eistein. “Apa yang kamu lakukan dan apa yang kamu pikrikan pada waktu Perang Dunia II? Apa yang ada dalam perasaanmu saat membuat bom nuklir? Apa yang ada dalam pikiranmu saat melihat ribuan korban mati seketika dan mati perlahan-lahan? Apakah ada setitik penyesalan dalam hatimu?” Tanya Munkar hampir tanpa jeda.
Einstein diam, dan tak tampak hendak menjawab.
“Cepat jawab semua pertanyaan kami, sebelum kami menghancur-leburkan seluruh ragamu itu. Menghancurkan. Menghancur. Menghancurkan,” tampak nada geram, “Lagi. Lagi dan lagi. Menghancurkan otakmu! Ayo cepat!” Nakir mulai tidak sabar setelah Munkar mengulang-mengulang pertanyaannya dan tak tambak akan ada jawaban dari sang jenius.
Diam. Einstein hanya diam.
“Mungkin kita salah orang. Bukan ini orang yang dijuluki si jenius abad ke-20. Masak tidak bisa menjawab pertanyaan kita sama sekali,” Munkar tampak gelisah. Nakir tidak menjawab, dia membuka buku catatan Rokib dan Atib, “Tidak mungkin salah! Malah si Rokib dan Atib juga mencatatan salah satu gambarnya dengan pose tersenyum sambil menjulurkan lidah. Iya, dia orangnya.”
Mereka membentak dan mengancam Einstein. Sekali lagi. Dan berulangkali. Tak ada jawaban dari si jenius.
Akhirnya mereka menghadap Allah, hendak mengadukan manusia yang bernama Einstein, yang terkenal sebagai si jenius abad ke-20, otak di balik pembuatan bom nuklir dan pencetus toeri relativitas mengalahkan sang jenius abad ke-19 Isaac Newton. Dalam perjalanan mereka bingung sekaligus takut menghadap Allah, jangan-jangan malah mereka yang dimarahi seperti yang terjadi pada Imam Sibaweh, sang linguis. Mereka tidak akan menyiksa Einstein tanpa ada interogasi terlebih dulu. Mereka mau tidak mau harus menghadap Allah.
Sesampai di haribaan Allah, mereka memasang muka takut, takjub sekaligus takdim. Allah sudah tahu kenapa gerangan mereka menghadap. “Aku tahu apa yang kalian hendak tanyakan. Dia memang makhluk yang jenius. Tapi dia belum mengggunakan seluruh otaknya seperti yang pernah dikatakan beberapa ahki otak di bumi. Dia baru menggunakan 5% kekuatan otaknya. Kalian tidak usah menanyakannnya lagi. Dia tidak punya otak sekarang. Otaknya tertinggal di Bumi. Lebih tepatnya dia hibahkan pada sebuah lap penelitian. Sebagai Tuhan dan pencipta otak, barang tercanggir teruntuk manusia, Aku sangat menghargainya, karena dia mau dan berani menggunakan otaknya. Itu lebih baik dari pada sebuah negeri yang tidak pernah mendapatkan hadiah nobel dari Manusia apalagi dari Aku.” Ada jeda beberapa detik, dan nampak nada menyesal. “Kalian kerjakan saja urusan berikutnya.”
“Kami mendengar dan patuh,” sembah kedua malaikat itu. Mereka memeriksa orang mati berikutnya dan membiarkan Einstein.